19

144 20 2
                                        

Flasback On. (Nino's POV)

"Kalo gitu jadi lah pembunuh, bersamaku." Mataku membelalak tak percaya. Sontak aku menggeleng keras.

"Nggak!" ucapku tegas. Disambut dengan tawa pria itu.

"Ayo lah, aku akan bayar kamu. Lagi pula kamu nggak punya arah tujuan kan sekarang? Lihat—berita ini." Pria itu menyodorkan ponselnya menampilkan berita pencarian pembunuh yang kabur—itu aku.

Aku meneteskan air mata tanpa sadar, masa depanku hancur sudah. Sekarang semuanya tampak masuk akal, aku dituduh menjadi seorang pembunuh. Semua bukti jelas mengarah padaku, sidik jariku yang menempel pada bekas cekikan di leher Wulan, beberapa saksi mata yang menangkap basah diriku yang terpaku saat Wulan terjatuh. Ya Tuhan, ini kah takdirku?

"Gak usah cengeng! Kamu ini cowok!" tukas pria itu. Aku sadar saat ini aku tidak sedang dalam posisi yang bisa meratapi nasib burukku. Aku mengusap air mataku kasar dan menetralkan diri.

"Gimana? Deal?" tawarnya lagi.

"Maaf, aku nggak bisa." Pria itu mendengus kesal.

"Aku bayar kamu. Aku janji kamu cuma perlu bunuh satu orang, setelah itu silakan pergi kemana pun. Kamu bebas." Ujar pria itu meyakinkan. Aku tampak berpikir keras, haruskah aku benar-benar menjadi pembunuh?

"Ayolah, kamu itu butuh uang untuk kabur dan meneruskan hidup!"

Aku masih saja diam mematung, sampai akhirnya aku membulatkan tekadku.

"Oke. Hanya sekali, dan aku mendapatkan gaji. Setelah itu urusan kita selesai." Ucapku dengan yakin. Aku tahu ini bodoh, tapi aku butuh uang untuk hidup. Membunuh satu orang mungkin tidak masalah, jika memang itu konsekuensinya demi mendapatkan uang.

"Deal. Sekarang panggil aku Juna, aku cuma lebih tua lima tahun dari kamu dan aku nggak mau kelihatan kayak om-om." Jawabnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku membalas uluran tangannya.

Setelah perjanjian itu, Juna mengajakku berkeliling gedung. Mengenalkanku pada anak buah lainnya dan pelatih baruku. Iya, aku akan dilatih selama satu bulan sebelum akhirnya aku benar-benar melakukan aksi pembunuhanku. Sebelum latihan, ada serangkaian tes untuk mengetahui apa keahlianku.

Dan dari sekian banyak senjata api seperti pistol, panah, bom rakit, samurai, dan lain-lainnya—aku lebih ahli menggunakan pisau. Hanya pisau. Aku berlatih sebulan penuh, mulai dari latihan fisik hingga percobaan membunuh hewan-hewan liar. Aku serius melakukannya, karena aku ingin segera pergi dari sini. Sangat diluar dugaan, Juna dan aku sekarang sangat akrab. Aku tidak menyangkal fakta bahwa Juna itu baik dan setia kawan, ia bahkan bersikap seolah aku adalah saudara dekatnya.

Lebih lagi sebenarnya aku merasa aman disini karena gangster Juna ini memiliki pertahanan yang sangat kuat, tapi tetap saja aku tak mau berlama-lama disini karena semakin aku terus berada disini maka semakin banyak pula nyawa yang akan ku bunuh.

"Memangnya siapa yang mau kamu minta untuk ku bunuh? Kalo cuma satu orang, kenapa bukan kamu sendiri yang membunuhnya? Bukankah itu hal kecil?" tanyaku pada Juna. Ngomong-ngomong aku baru saja selesai latihan dan seperti biasa Juna berdecak kagum melihat perkembanganku yang cepat.

"Kakakku." Jawabnya santai, membuatku melotot ke arahnya. Seakan paham akan reaksiku yang berlebih, Juna melanjutkan kalimatnya.

"Secara biologis dia memang kakakku, tapi dia itu iblis. Dia membuangku, mengusirku dari keluarga besar hanya karena ingin menguasai seluruh harta warisan." Aku mengangguk paham.

"Kamu nggak berusaha melawan?" tanyaku.

"Nggak bisa, melawan pun percuma. Kakakku akan tetap menang, karena aku ini cacat."

"Cacat?" aku mengulang kata itu seperti orang bodoh. Tapi Juna mengangguk.

"Aku buta warna total, pandanganku monokromatik. Selama ini duniaku abu-abu, dan itu nggak memungkinkan aku untuk merebut posisiku di perusahaan. Jadi akhirnya mereka mengusirku. Meski begitu, aku nggak sanggup membunuhnya dengan tanganku sendiri."

"Maaf ya. Aku janji aku akan menyelesaikan ini dengan cepat." Ujarku yang disambut oleh senyuman Juna. Ternyata dibalik sosok angkuh dan dingin Juna itu terdapat luka yang sangat dalam.

Baiklah, dari sini aku mengerti bahwa penderitaan dapat merubah seseorang.

Satu bulan berlalu, kini tiba saatnya aku melakukan aksiku. Seluruh informasi tentang kakak Juna sudah ku pelajari dengan baik dan aku mulai memata-matainya. Tidak ingin ku jelaskan bagaimana prosesku membunuhnya, terlalu mengerikan. Aku bahkan tak percaya bahwa itu aku—yang membunuhnya. Yang jelas setelah aku berhasil menghabisinya, ada dua anak buah Juna datang untuk mengurus mayatnya. Semua memang sudah direncanakan dan tiap orang memiliki divisi sesuai dengan keahlian masing-masing.

Kini Juna tersenyum ke arahku seraya melemparkan tas ransel yang ku yakini isinya penuh dengan uang. Aku membalas senyumannya dan hendak beranjak pergi sebelum ia mencekal tanganku.

"Tunggu." Ujarnya. Aku mengernyitkan dahi curiga. Juna meraih kertas di lacinya dan memberikannya padaku. Sebuah tiket kereta dan secarik kertas bertuliskan alamat suatu tempat.

"Pergilah kesitu, dan tinggal sementara di alamat itu sebelum akhirnya kamu menemukan tujuan hidupmu."

"Siapa yang tinggal disitu?" tanyaku masih dengan curiga.

"Saudaraku. Namanya Hyuck, blasteran Korea. Dia baik, tapi kamu harus tetap waspada. Jangan percayai siapapun." Aku tersentuh dengan sikap Juna yang masih saja peduli denganku meski aku sudah tidak bergabung dengan gengnya.

"Kenapa kamu baik sama aku?" tanyaku.

"Kalian sama, kamu dan Hyuck. Terjebak dalam tuduhan pembunuhan, bedanya Hyuck udah bebas. Mungkin di dekatnya kamu bisa termotivasi." Jelasnya. Membuatku semakin terharu pada sosok Juna. Aku mendekat dan memeluknya sebelum pergi.

Sesuai dengan saran Juna, aku tinggal di gedung tempat Hyuck sementara. Kami berkenalan dan tampak akrab, tapi entah mengapa aku merasa tidak aman jika terus berada disitu.

Aku tidak mau mempercayai orang dengan mudah, selain Juna. Sepertinya belum ada orang yang bisa menggantikan Juna saat ini, aku bahkan lebih sering bersembunyi di rooftop gedung itu daripada menumpang di kamar kos Hyuck. Sampai suatu hari aku memutuskan untuk bergerak, mencari tempat lain yang aman hingga aku menemukan rumah besar yang tampak nyaman untukku bersembunyi.

Flashback Off.

---

Bonus foto-foto Yuta wkwkwk

Galak amat si wk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Galak amat si wk

Nino is Nana | Jungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang