CERITA DARI TAHUN 2011, BELUM DIREVISI
"Sorry ya Pak Tua, meskipun profesi kita sama-sama penjahat disini, tapi kali ini aku nggak mau ada penyusup di rumah ini selain aku!" ucapnya pada pria yang sudah tak sadarkan diri itu dengan suara nyaring lay...
Membayangkan jika seorang buronan akan tinggal bersamanya, satu atap dengannya, membuat Fana ingin menangis saja. Matanya memanas menahan air mata yang hendak tumpah. Ia tidak mau terjebak dengan pria ini, tapi saat ini Fana juga tak mampu berbuat apa-apa.
Melihat nyali Fana yang kian menciut, Nino dengan sengaja mengeluarkan pisau lipat di saku dalam jaketnya kemudian memainkan pisau itu ditangan kanannya. Jarinya dengan lihai memutar dan membolak-balikkan pisau itu sambil terus menunggu jawaban Fana. Saat ini bahkan Fana tak mampu menatap pria itu, ia hanya tertunduk sambil terus merapalkan doa supaya pisau itu tidak terlempar ke tubuhnya.
"Hei—" panggil Nino mendekati Fana, memangkas jarak diantara mereka. Fana terus mundur hingga tubuhnya terkunci di dinding. Nino dengan tatapan tajamnya itu perlahan mendekatkan pisau lipat itu tepat didepan wajah Fana. Kemudian ia mengangkat tangan kirinya yang terkepal, menampilkan kuku-kuku jarinya yang panjang dan mulai mengiris ujung kuku panjang di jempolnya dengan tenang—tepat di depan mata Fana—hanya berjarak sekitar 5 cm. Nino seolah tahu bahwa Fana sudah ketakutan setengah mati, ia justru tertawa hambar.
"Ups, sorry." Ujarnya sambil menurunkan pisau itu. "Jadi gimana? Kamu setuju kalo aku tinggal disini?"
Menghela napas panjang, Fana mulai membuka mulutnya.
"Tapi seandainya kamu tinggal disini, gimana kalo Bibi atau Kak Edo tahu? Nanti pasti mereka ngadu ke Papa terus justru aku yang dituduh dan di penjara dan kamu kabur gitu aja ngeliat aku kayak gini dan—dan..." Fana terus meracau, matanya menerawang membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika ia membiarkan buronan ini tinggal dirumahnya.
"Aku bisa sembunyi. Kamu tenang aja, buat sembunyi dari polisi aja aku bisa apa lagi buat sembunyi dari keluargamu?" kata Nino dengan angkuh.
"Nggak! Aku ngggak percaya. Jangan-jangan sebenarnya kamu punya niat jahat buat ngebunuh aku, terus kakakku, terus bibi, terus papa, terus kamu bakal menguasai rumahku dengan tenang dan kamu—" belum sempat Fana menyelesaikan perkataannya, Nino sudah menempelkan jari telunjuknya ke bibir Fana. Membuat bulu kuduk Fana semakin merinding.
"Diem! Ambilin aku handuk sekarang juga!" perintah Nino kepada Fana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seharusnya saat ini Fana berteriak dan menolak perintah Nino begitu saja, tapi entah mengapa sesuatu menahannya. Ia justru menunduk patuh dan meraih handuk kecil berwarna merah ke Nino yang sedang berjalan memasuki kamar mandi Fana. Fana ingin mencegahnya namun ia merasa takut jika ia melakukannya, mungkin saja nyawanya langsung melayang di tangan Nino. Akhirnya dibiarkannya Nino mandi dengan berisik karena beberapa lagu norak yang tak dikenal itu telah keluar dari mulut Nino, terdengar jelas dari luar kamar mandi Fana.
Fana sedikit geli mendengar suara Nino yang bersenandung di kamar mandi seolah melupakan sejenak jati diri Nino yang sebenarnya. Suaranya lembut seperti perempuan, agak cempreng dan nyaring. Mendengar nyanyian Nino benar-benar menghipnotis Fana, membuatnya lupa bahwa rumahnya sekarang telah dimasuki oleh seorang pembunuh, tetapi beberapa saat kemudian Fana kembali sadar, mengingat keberadaan Nino yang sangat mengancam hidupnya dan keluarganya.
Fana masih terus berpikir bagaimana cara untuk mengeluarkan Nino dari rumahnya, pikirannya terus bercabang kemana-mana sebelum tiba-tiba sebuah kepala kecil yang basah muncul dari sudut pintu kamar mandi. Fana terkejut melihat pemandangan yang mau tidak mau tampak sexy baginya, melihat rambut di kepalanya yang basah itu meneteskan titik-titik air yang jatuh mengalir ke pundak kiri Nino yang telanjang.
Iya, Nino saat ini hanya mengenakan handuk merah kecil yang melilit di pinggulnya hingga ke atas lutut. Suatu pemandangan yang diyakini oleh para gadis sebagai hal bagus namun tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Tidak mau mengelak, Nino memang tampan. Badannya jauh lebih bersih sekarang dan kulit putihnya terlihat mengkilap, tidak seperti tampilannya beberapa jam yang lalu.
"Pinjemin aku baju dan celana sekarang juga!" perintah Nino seenaknya. Fana mengernyitkan dahi melihat tingkah semena-mena pria itu, 'Kamu pikir aku ini pembantumu apa? Pake nyuruh-nyuruh segala!' keluh Fana dalam hati.
"Woi, cepetan!" desak Nino dengan tegas.
"Tapi bajuku kan cewek semua, emang kamu mau?" tanya Fana dengan sedikit geli. Matanya menerawang membayangkan Nino mengenakan baju miliknya yang kurang kain. Nino berpikir sebentar kemudian dengan cepat menghentikan khayalan Fana yang semakin menjadi-jadi.
"Kamu kan tadi bilang punya kakak, ambil aja kaos kakakmu." jawab Nino menyeringai.
Berusaha menahan diri untuk tidak merotasikan bola mata, Fana memilih diam berusaha menutupi perasaan sengitnya lalu mengendap-endap memasuki kamar kakaknya dan mengambil kaos serta celana pendek selutut. Fana segera kembali dan menyerahkan pakaian itu kepada Nino. Membiarkannya berganti di depannya tanpa ragu, tentunya Fana membuang muka. Berusaha menghindari pikiran-pikiran aneh dan mengabaikan tingkah bodoh Nino.
Dengan percaya diri, Nino menyalakan TV di kamar Fana. Fana semakin khawatir dan takut dengan kelakuan Nino yang semakin menjadi-jadi. Tapi apa yang bisa ia lakukan?
"Aku laper." kata Nino sambil menatap Fana dengan berkuasa layaknya majikan yang sedang menatap rendah pembantunya.
"Terus?" tanya Fana dengan ketus, memberanikan diri menatap balik tatapan tajam menyayat itu.
"Ya kamu ambilin aku makanan lah! Kamu mau aku mati kelaparan?"
"Ya terserah lah, emang kamu siapa? Yang jelas aku mau kamu secepatnya angkat kaki dari rumahku!"
Nino mengeraskan rahangnya melirik Fana, seolah tatapan matanya saja sudah mampu mengiris Fana kecil-kecil. Lagi-lagi Fana kalah dengan tatapan itu, tak mau membuang waktu lebih lama lagi, ia beranjak menuju dapur.
Nino tersenyum menang, ia tak menyangka ternyata Fana sepenurut itu. Hal itu tentu memudahkan Nino untuk terus memanfaatkan situasi ini. Beberapa menit kemudian Fana kembali dengan membawa dua buah pisang lalu mengulurkannya kepada Nino. Nino membuang muka tak mau menerima uluran itu.
"Kamu pikir aku ini monyet apa?" tanya Nino dengan kesal.
"Nggak ada makanan." jawab Fana singkat, menaruh dua buah pisang itu diatas karpet bulu tempat Nino duduk.
"Terus apa guna punya pembokat? Hah?!" tanya Nino kembali dengan nada marah.
"Jadi kamu berharap aku bakal kasih kamu makanan enak? Nggak bakal!"
"Oh, jadi sekarang kamu udah berani sama aku?!" Nino langsung saja beranjak mendekati Fana yangtengah berdiri kesal dihadapan Nino.
Fana tak mau melangkah mundur berusaha menunjukkan sisi beraninya, yang tentunya membuat seringaian Nino semakin lebar. Dirasakannya jarak Nino yang sangat dekat, merasakan hembusan hangat yang berasal dari deruan nafas Nino. Fana sudah hampir menutup matanya pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya selanjutnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.