15

154 21 3
                                    

Sudah pukul tujuh malam, Fana berdecak kesal menanti kehadiran Nino. Ia jadi sangat khawatir jika sesuatu terjadi pada cowok itu, ternyata berada jauh dari Nino selama beberapa jam saja sungguh sangat menyiksa. Seharusnya Fana memberikan ponsel Fana yang satunya untuk di pegang Nino. Jadi mereka bisa tetap saling berhubungan. Tidak seperti sekarang. Fana benar-benar tidak tenang dan terus mondar-mandir di kamarnya. Kebetulan kondisi Fana sudah jauh lebih baik jadi ia memiliki energi untuk sekedar mondar-mandir dari tadi.

Tiba-tiba Fana mendengar suara bel di pintu, membuatnya langsung berhambur ke ruang tamu. Penuh harap semoga itu Nino. Aneh memang, karena biasanya Nino hanya perlu menyelinap masuk tanpa membunyikan bel rumah. Tapi ia tak peduli, sudah telanjur penasaran dengan seseorang dibalik pintu sana. Begitu pintu terbuka, hati Fana mencelos mendapati bukan Nino yang dihadapannya. Tapi Edo. Edo memicingkan matanya curiga pada ekspresi kecewa Fana.

"Kenapa dek?" tanya Edo yang menatapnya curiga.

"Ngapain sih pake pencet bel segala?!" Fana mendecih kemudian berjalan hendak kembali ke kamarnya.

"Kan biar surprise deeeekk..." tangan Edo meraih badan kecil Fana dan memeluknya. Pelukan seorang kakak yang membuat Fana merasa dilindungi. Fana tahu, tidak seharusnya ia kecewa dengan kehadirann kakaknya. Hanya saja Fana memang sedang sangat khawatir dengan keberadaan Nino saat ini. Ia juga butuh Nino disini.

"Hei, kamu sakit kok nggak kabarin kakak sih?" omel Edo dengan khawatir. Meletakkan tas ranselnya ke shofa di ruang tengah dan beranjak ke dapur.

"Kakak tau dari mana? Ah, iya. Pasti Rendy kan?" Fana langsung bisa menebak. Rendy adalah tetangga sekaligus teman sekelas Fana. Jadi mudah saja jika kakaknya itu tau segala hal tentang Fana. Beruntung Rendy tidak ember dengan menambahkan informasi tentang pembullyan kemarin.

"Dasar stalker." Fana mencibir.

"Stalker apanya?! Wajar dong aku nanyain kabar kamu. Habisnya kemarin kamu aneh sih, ditelpon malah buru-buru matiin."

Fana menghela napas panjang. Duduk di kursi meja makan sambil mengamati kakaknya yang sibuk mengeluarkan beberapa bahan makanan di kulkas. "Mau ngapain sih?"

"Masakin kamu dong. Pasti kamu kebanyakan go-food ya makanya bisa sakit gitu." Sahut Edo sambil berjalan menuju wastafel. Mencuci sayur.

'Nino juga sering masakin aku...' ujar Fana dalam hati. Wajahnya tampak murung dengan tangan yang menopang dagu.

"Ada masalah apa sih? Pacar?" tanya Edo curiga. Kali ini ia melipat kedua tangannya ke depan menunggu jawaban Fana. Fana hanya mendengus kesal.

"Pacar apanya? Jomblo gini."

Edo terkekeh, "Makanya cari pacar."

"Kayak yang ngomong udah punya aja." Jawab Fana sarkastik.

"Loh emang punya kok."

"Punya apa?"

"Punya adek. Hehe." Edo nyengir sebentar ke arah Fana kemudian kembali fokus memotong sayuran. Ngomong-ngomong, Edo akan memasak sayur sawi dan sosis goreng kesukaan adiknya.

"Dih." Fana mencebik, "Kakak nggak gay kan?"

"Enggak lah ogeb!" bantahnya.

"Buktiin dong. Emang cewek di kampus nggak ada yang cantik?"

"Ada, banyak juga yang seksi."

"Apaan dih!"

"Eh dek..."

"Apa?" sahut Fana malas-malasan.

"Bibi udah nggak kerja disini lagi. Dia mau cari kerja di sekitar rumahnya buat jaga anaknya yang sakit-sakitan." Hati Fana mencelos mendengarnya, kehilangan Bibi yang sudah bertahun-tahun mengasuhnya bahkan sejak ia kecil.

Nino is Nana | Jungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang