Kejadian malam itu membuat Kanade menjadi sadar kalau teman-temannya akan selalu ada untuknya. Ia kembali ke mansion bersama Sebastian.Hinami yang melihat kalau sahabatnya kembali dan baik-baik saja tersenyum lega dan memeluk erat temannya itu. Begitupun dengan Ayato dan Tsukiyama.
"Syukurlah kau masih hidup!" Seru Ayato asal.
"Kau kira aku ini apa? Mayat? Sebegitu inginnyakah aku mati?" Sahut Kanade.
"Apa saja yang kau lakukan pada gadis itu?" Ciel bertanya pada pelayannya.
"Aku hanya menciumnya dan kepribadian yang lainnya langsung lenyap karena apa yang kulakukan." Ucap Sebastian.
Ciel memandangi wajah pelayannya itu lalu tersenyum. "Sepertinya kau memang ada rasa dengan gadis itu. Jarang sekali kau nekad melakukan hal itu..."
"Aku juga sudah biasa melakukannya, Bocchan. Apakah itu salah?" Sebastiab menyahut tanpa mau terpojokkan oleh niat usil Tuan Mudanya.
"Tidak... Tidak... Kali ini aku merasakan adanya perbedaan dalam dirimu ketika menghadapi gadis itu. Bahkan sekalipun kau pernah melakukan hal itu pada Beast namun aku tahu kali ini berbeda. Sebastian kita sudah bersama selama 3 tahun..."
Sebastian berdecih perlahan mendengar ocehan bocah di sebelahnya. "Begini-begini, Bocchan. Aku juga dulu pernah menjadi manusia."
Ciel tersenyum puas mendengarnya. Ia lalu berjalan menghampiri Kanade dan menatap wajah gadis itu dengan tatapan licik miliknya.
"Ada apa, Hakkushaku?"
"Kau tidak lupa dengan janjimu itu kan? Aku sudah mengantuk jadi kau juga harus ikut bersamaku." Ciel rupanya menagih janjinya pada Kanade.
Kanade tertegun mendengarnya dan baru mengingat kalau barusan ia telah menghancurkan pintu kamar Earl satu ini.
Dengan nada mengalah, Kanade menyetujuinya dan berpamitan dengan teman-temannya.
"Kalian juga. Kembalilah ke kamar kalian. Ini sudah sangat larut malam." Tukas Ciel.
"Siap, Hakkushaku.. Ciel-kun... Ciel-hakkushaku" Begitulah sahutan kompak dari anggota Aliansi Kanade dengan panggilan yang berbeda pada Ciel.
***
Kini tinggalah Kanade dan Ciel yang berada di sebuah kamar tanpa pintu disana. Ciel juga sudah menyuruh Sebastian untuk mengganti kusen pintunya malam ini atau kalau tidak ketiga pelayannya akan kebingungan dengan keadaan tidak menguntungkan itu.
Kanade pun memutuskan untuk bertanya lebih dulu pada Ciel. "Jadi... Kau sudah mendengar semuanya dari teman-temanku?"
Ciel menoleh dan mengangguk singkat. "Ya... Bahkan semuanya. Aku tak menyangka kalau kau memiliki kisah setragis itu."
Kanade tersenyum mendengarnya. "Aku selalu berusaha untuk melawan kepribadianku yang lain. Entah kenapa diriku yang itu belum bisa menerima diriku yang sekarang. Makanya, dia sering memberontak keluar dan membiarkan aku untuk membunuh semua orang yang aku sayangi..."
"Kenapa waktu itu kau berbohong?" Ciel kembali bertanya pada Kanade.
"Waktu itu kau memintaku sebuah saran dan aku memberikan saran itu padamu. Lalu, kau bertanya bagaimana dengan ceritaku sendiri dan aku menjawab baik-baik saja. Itu karena aku tidak ingin kau sebagai orang yang meminta saran juga harus menanggung beban ketika mendengar ceritaku yang sebenarnya. Maaf ya, Ciel-kun."
"Aku tidak masalah untuk saat ini. Tapi... Terimakasih."
Kanade menoleh dan menatap pemuda usia 13 tahun di depannya yang kini tersenyum. Senyuman yang sangat jarang dijumpai oleh orang manapun yang mengenal Ciel Phantomhive. Bahkan Elizabeth sekalipun.
"Senyuman itu... Pasti kau jarang melakukannya ya?"
Ciel tertegun sejenak kemudian anak itu mengiyakan pertanyaan Kanade. "Entahlah... Semenjak kejadian yang menimpa keluargaku, aku sedikit sulit untuk dapat tersenyum tulus dari lubuk hati ini. Tapi... Aku lega dapat kembali tersenyum seperti tadi."
Kanade tersenyum lega mendengarnya. Obrolan yang tidak berbobot namun penuh makna itu tak luput dari pendengaran Sebastian yang sebenarnya sudah semenjak tadi tiba di mansion. Ia menguping pembicaraan Tuan Mudanya dengan Kanade.
Yang membuat ia mengetahui satu hal. Bahwasanya Tuan Mudanya tidak pernah sehangat itu ketika bertemu dengan orang lain semenjak tragedi pembunuhan atas keluarganya.
"Anda memang hebat, Kanade-sama."
"Ciel-kun. Apa kau belum mengantuk?" Kanade bertanya pada Ciel yang terlihat masih sibuk dengan buku-bukunya yang berserakan di atas kasurnya.
"Kanade-san. Ada satu hal yang ingin kutanyakan..." Ciel menggantung ucapannya membuat gadis yang menjadi lawan bicaranya menunggu.
"Mengapa kau tidak membunuh Kakekmu waktu itu? Kenapa kau malah membiarkannya?"
Kanade nampak berpikir dan tak lama ia tersenyum. "Karena dia Kakekku. Satu-satunya keluarga satu darahku yang tersisa di dunia ini setelah Ayah dan Ibu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi jika dia mati. Meski aku berbohong jika aku tidak membencinya. Aku membencinya, tapi sebisa mungkin aku hanya ingin perasaanku ini tersampaikan padanya. Sesederhana itu. Tapi, aku tak yakin bisa mempertahankannya. Aku yang lain, sangat ingin membunuhnya...."
"Dirimu yang lain itu? Apakah yang tadi pagi kami saksikan? Juga sesaat setelah kejadian kemunculan Kakekmu itu?" Tanya Ciel.
Kanade mengangguk. "Itu benar. Diriku yang satu ini sangat agresif dan kejam. Setiap kali dia muncul hanyalah kekacauan. Makanya aku selalu menolak keberadaannya dan berusaha menahannya agar tidak lepas kendali."
Ciel tertegun mendengar penjelasan gadis itu. "Waktu itu kau bilang kalau aku ini hebat. Tapi sebenarnya, dirimulah yang hebat, Kanade."
"Mereka yang mampu menahan rasa sakit juga penyesalan adalah yang hebat, Ciel-kun."
"Ah... Itu benar."
Ciel sudah mulai membaringkan tubuhnya di atas kasurnya. "Aku penasaran kenapa aku begitu sekali merasa nyaman dengan kehadiranmu."
Kanade tersenyum mendengarnya. "Kalau begitu syukurlah, Ciel-kun. Aku merasa senang mendengarnya." Ungkap Kanade. Ia menoleh pada Ciel dan mendapati anak itu sudah terlelap dengan tenang di posisinya.
Kanade kembali tersenyum. Ia lalu membereskan buku-buku yang berserakan di atas ranjang milik Ciel dan menaruhnya rapih di atas meja samping kasur. Ia lalu menyelimuti anak itu dan perlahan mencium kening Ciel.
"Entah apa hubungannya tapi aku sudah menganggapmu sebagai Adikku. Mungkin orangtuamu hanya menginginkan seseorang yang nyata yang dapat kau percaya selain Sebastian. Orangtuamu sangat menyayangimu, Ciel Phantomhive."
Kanade kembali ke posisi ranjangnya dan ia juga ikut tertidur di samping Ciel. Tanpa ia sadari Ciel kembali membuka matanya. Ada rona merah di wajahnya. Hangat. Itulah yang ada di pikirannya saat itu. Untuk sekian menit berikutnya dirinya menyadari kalau Kanade berharga baginya untuk saat ini.
Pukul 2 pagi, Sebastian tiba untuk mengecek keadaan kedua orang yang kini tertidur dengan nyenyaknya. Ia sedikit tersenyum memandangi wajah Tuan Mudanya yang terlihat nyaman tidur di sebelah Kanade.
"Kalian berdua... Akrab sekali..." Ucapnya pelan. Setelahnya, barulah Sebastian memulai pekerjaan memasang kusen pintu kembali hingga pagi menjelang. Tidur malam bukanlah pekerjaannya dan iblis tidak memerlukan waktu itu tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
The War Begins: TOKYO GHOUL X BLACK BUTLER
FanfictionMerupakan percampuran dan adaptasi dari anime Tokyo Ghoul dan Black Butler yang akan menceritakan sebuah tragedi besar yang mengancam perdamaian dunia antara manusia dan ghoul. Karena peperangan besar yang sebenarnya baru saja akan dimulai! Semua ka...