1. Kesepakatan

1.4K 67 1
                                    

Yang dibutuhkan adalah pelukan dan rasa terjaga. Bukan kutukan dan rasa ketakutan.

Suasana ruang keluarga milik keluarga Anandita jelas tidak senyaman biasanya. Karena lagi-lagi, satu di antara mereka kembali terjerat masalah. Sebenarnya, masalah itu tidak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan hanyalah meringankannya dan berlapang dada untuk menyelesaikannya. Tetapi rasanya, ketiga dari empat orang yang berada di sana sudah cukup lelah, mengingat yang terjerat masalah selalu lah si perempuan.

Padahal sedari dulu yang berada di pikiran mereka adalah si laki-laki yang akan menjadi pembuat onar. Ternyata keduanya sama saja. Malah yang laki-laki jauh lebih bisa mengurus masalahnya sendiri.

"Pokoknya Rara mau pindah ke tempat Abang!"

"Enak aja! Gak ada yang namanya pindah ke Angkasa!"

Kiara tertawa kecil sembari menatap Gilang penuh kemenangan. Akhirnya, setelah hampir bertahun-tahun ia mencoba berbagai cara, kali ini ia berhasil.

"Mama sama Papa jangan ada yang berani masukkin Rara ke tempat aku!" ancam Gilang dengan tatapan kejamnya.

Mana mungkin Gilang siap berhadapan dengan Kiara di sekolah nantinya. Bahkan ia sudah bisa memprediksi dengan jelas apa yang nantinya akan terjadi karena kehadiran Kiara di sekolahnya.

Si pemberontak itu tidak mungkin akan diam saja disana. Apa lagi melihat dirinya nantinya.

Bayangkan saja, Kiara baru dikeluarkan dari sekolah karena meninju habis ketua geng di sekolah lamanya. Sudah tidak ada skors baginya, mengingat itu bukan lah yang pertama bagi Kiara. Masa iya, nantinya Gilang harus bertengkar juga dengan Kiara? Mana Gilang mau!

"Ya udah. Rara gak mau sekolah kalau gitu. Biarin aja Rara jadi gelandangan!"

Gilang berdecih kesal. "Gak ada yang peduli kamu mau jadi apa!"

Kedua mata Gilang kembali mengarah pada Simon—Papanya—yang menyenderkan tubuhnya santai. Lelaki itu terlihat biasa saja, tidak setegang saat awal ia masuk ke ruangan ini. Dimana rasanya lelaki itu sudah siap menelan habis Kiara. Tetapi nyatanya, sekarang Simon paling santai. Mungkin, adu mulut antara Gilang dan Kiara sudah cukup menghibur dirinya. Sampai-sampai ia lupa untuk marah.

"Bayangin aja dong Papa, hampir semua keluarga Anandita sekolah di Angkasa, sekolah milik keluarga Anandita. Masa aku gak boleh sekolah di tempat sendiri!?" Kiara ikut melemparkan tatapan tajamnya pada Simon. "Rara bisa menuntut hal ini ke KPAI atas tuduhan perbedaan hak anak loh!"

Kiara tidak bohong. Di saat sepupunya yang lain bersekolah di Sekolah Angkasa, maka Kiara adalah satu-satunya orang dari keluarga Anandita yang tidak pernah menjabat status murid disana. Maka dari itu, Kiara harus semangat untuk merasakan sekolah di tempat sendiri.

"Ya sudah." Simon bersuara. Singkat, padat, tetapi tidak jelas.

Gilang melotot. "Ya sudah apa!?"

"Ya sudah, kalian berdua berunding dulu. Nanti kalau udah ketemu jawabannya bilang Papa. Tinggal Papa urus deh. Ya 'kan?" Simon berujar santai, kemudian mengambil gawainya yang berada di meja, dan bangkit meninggalkan ruang keluarga.

"Astaga!" Gilang menggerutu kesal.

Kiara tersenyum lebar. Ia beralih menatap pada Tiara—Mamanya—yang hanya diam saja sembari tersenyum manis.

"Mama juga terserah," ucapnya, kemudian pergi meninggalkan dua kakak-beradik yang masih menunjukkan mereka akan kembali beradu mulut, sampai menemukan sebuah kesepakatan yang sama-sama menguntungkan keduanya.

"Apa liat-liat!?" Gilang protes. Lelaki itu mengangkat kedua kakinya untuk ia taruh di atas meja, dan kembali mempersiapkan diri untuk beradu mulut dengan Kiara.

"Boleh ya Abang, please! Abang 'kan tinggal setahun lagi disitu, bahkan gak sampai setahun juga!" Kiara memelas.

Gilang berdesis. Kiara sepertinya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Angkasa. Mungkin Kiara berpikir, Angkasa sama saja dengan sekolah-sekolah lain.

"Angkasa itu gila, Ra. Senioritas. Kamu gak akan mungkin betah."

"NAH!" Kiara malah kegirangan. "Bagus dong! Jadi aku punya misi kalau di sana, yaitu menghapuskan senioritas! Ya gak?" Kiara meminta persetujuan.

Tetapi yang didapatinya adalah gelengan pasti dari Gilang. "Kamu mau ngelawan aku?" tanyanya.

Kiara diam seperti berpikir. "Memang tujuan aku itu sih," jawabnya santai tanpa beban.

Gilang memutar bola matanya malas. Kiara tidak bercanda akan kata-katanya, Gilang yakin itu. Tetapi maksudnya, harus sekali kah melawan Gilang nantinya? Mana mungkin ia bisa melawan adiknya sendiri. Bisa-bisa ia digoreng sampai gosong oleh Simon.

"Oke, deal?" Kiara kembali bertanya dengan matanya yang berbinar.

Helaan napas dari Gilang sempat membuat Kiara takut-takut sendiri. Tetapi Kiara yakin, Gilang tidak akan mengecewakannya.

"Asalkan masalah sekolah jangan dibawa ke rumah, dan kamu harus berjuang sendiri, tanpa ada keluarga Adinanta di belakangnya."

Kiara terdiam. Gilang baru saja menantangnya. Dan ia pikir, Gilang tidak akan berkata seperti itu padanya. Kiara benar bukan, maksud Gilang adalah nama Adinanta di dalam namanya harus dihapuskan sementara?

"Kita sama-sama berjuang sebagai senior dan junior. Bukan sebagai kakak-adik. Jadi, kamu gak boleh marah ataupun ngambek sama aku di rumah, gara-gara aku akan kejam ke kamu nantinya."

Kiara menggigit bibirnya pelan. Seriously? Pikirnya. Ini sama saja Kiara baru meminta dirinya untuk masuk ke kandang harimau.

Takut sih jelas takut. Tetapi mendengar selama ini nama Angkasa terkenal akan senioritas dan ketidakadilannya itu jelas menantang diri Kiara.

"Cuma itu?" tanyanya seolah menantang Gilang. Padahal kenyataanya, Kiara hanya bertanya-tanya tentang kesepakatan lain yang mungkin akan keluar dari bibir Gilang.

Gilang mengangguk. "Kamu juga boleh kasih aku kesepakatan. Setidaknya jangan membuat aku merasa bersalah banget gitu."

Kiara tertawa. Gilang masih sempat-sempatnya khawatir dengan dirinya karena ancaman yang diberikan oleh cowok itu sendiri.

"Kalau dari aku adalah, Abang gak boleh takut untuk mukul aku atau apapun itu. Kita bersaing layaknya junior dan senior, sesuai yang Abang bil—"

"Enggak." Gilang lebih dulu memotong. "Aku gak akan melakukan kekerasan kali sama adik aku sendiri! Gila kamu!"

Kiara melotot. "Loh? Kita kan bertindak sebagai junior dan senior yang sama-sama memperjuangkan sebuah kehormatan juga harga diri!"

"Ra, gak ada sejarahnya ya Abang melakukan kekerasan terhadap Adiknya. Aku gak mau jadi yang pertama!" Gilang memprotes habis.

"Ah, banyak kok!"

"Maka aku bukan salah satu dari banyak itu. Tugas aku adalah ngejagain kamu, sesuai yang Papa sama Mama ajarin. Kalau kamu mau kita bersaing, kita bersaing dengan layak. Tanpa ada kekerasan. Karena aku gak mau, aku atau kamu nyesel nantinya, karena ada kesepakatan ini." Gilang bicara dengan nada seriusnya. "Kita bersaing dengan cara yang udah disepakati. Dan kita menjaga dengan cara masing-masing. Aku anggap kamu belum ngasih kesepakatan, jadi kamu boleh ngasih aku yang lain."

Dan pembicaraan hari itu selesai. Kiara tidak mau membantah lagi. Bisa-bisa nanti ia gagal lagi pindah sekolah. Jadi lebih baik terima saja.

3 Maret 2020

Senioritas (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang