6. Bawa Perasaan

779 58 0
                                    

Lihat ke atas—ke langit di atas sana—ada banyak kata yang harus kamu ucapkan untuk-Nya.

Pagi hari yang cerah cukup untuk menjadi alasan Sami semangat berangkat pagi ini. Sebenarnya, ia malu juga sih. Setelah kesalahpahaman yang terjadi kemarin, dan sifat gegabahnya kemarin, Sami rasa ia tidak ingin ke sekolah. Karena saat ini, ia merasa malu untuk menatap Kiara.

Bahkan dari kemarin malam, setelah Sami mengetahui Gilang lah yang mematahkan jamnya, ia tidak berhenti berdoa supaya Kiara lupa ingatan akan kejadian kemarin. Permintaan tidak masuk akal, tetapi selalu diharapkan Sami untuk terjadi.

Seharusnya Sami tidak peduli, seperti biasanya. Seharusnya Sami tidak perlu repot-repot meminta pada Tuhan. Hanya saja, karena melihat bagaimana Ben menahannya kemarin, dan melihat Gilang menjelaskan kejadian jamnya yang patah kemarin, sepertinya Sami akan mempunyai masalah dengan kedua kakak kelas itu. Karena, sejak kapan dua kakak kelasnya itu peduli dengan apa yang ia lakukan pada anak angkatannya. Jadi pada intinya, Sami bukan takut Kiara, tetapi takut dengan Ben dan Gilang.

Sebenarnya aneh juga sih. Kenapa kedua kakak kelasnya itu harus peduli pada Kiara? Setahunya, nama Anandita pada nama Kiara tidak ada hubungannya dengan nama Anandita pada nama Gilang atau juga Ben. Lalu kenapa Gilang dan Ben harus bersikap seperti kemarin? Apa karena Kiara adalah perempuan? Ah, tapi biasanya ia melawan perempuan pun tidak ada masalah. Lagipula, tidak ada kontak fisik yang harus membuat Kiara dikhwatirkan. Malah seharusnya Sami yang dikhawatirkan, karena mendapat tinjuan keras yang mendarat mulus di pipinya kemarin. Untung saja Sami kebal, jadi tidak begitu sakit rasanya.

Pemandangan yang pertama ia dapat ketika memasuki kelas adalah Kiara yang sedang sibuk bermain ponselnya dan duduk dengan tenangnya di posisi yang sama seperti hari kemarin.

Oke, Sami merasa bersalah, jadi lebih bagus bila ia memulai awalan yang baik.

Dengan langkahnya yang lancar, ia membawa dirinya untuk menuju tempat dimana Kiara berada. Tetapi sepertinya, Kiara tidak peduli dengan kehadirannya.

"Ki?" Panggilnya.

Tidak ada jawaban. Kiara tetap fokus pada ponselnya.

Mampus, dikacangin gue, batin Sami berseru.

"Cuy!"

Kiara nengok.

Harus dipanggil Cuy dulu berarti. Sami menyimpulkan.

"Lo manggil gue?" Kiara bertanya dengan polosnya. Seolah-olah kejadian kemarin tidak pernah terjadi.

"Iya," balas Sami singkat. "Gue boleh duduk sini?"

Rasanya Sami ingin merutuki dirinya saat ini. Astaga, sejak kapan ia bertanya untuk persetujuan? Biasanya, ia tidak peduli dengan apa yang akan dikatakan orang. Lalu mengapa ia bertanya sekarang?

Kiara menautkan alisnya bingung. "Duduk aja. Gak ada yang ngelarang."

Baiklah. Setidaknya awalan bagus sudah berjalan dengan lancar. Sisanya? Biarkan mengalir sesuai arus yang membawa.

Di saat Sami berpikir Kiara akan kembali memainkan ponselnya, cewek itu malah mengubah posisi untuk tiduran di atas meja. Biasanya di Angkasa, cewek-cewek itu berisik, petakilan, yang pasti gak bisa diam. Lalu kenapa Kiara malah diam banget? Apa sifat cewek itu begitu? Atau Kiara hanya malas berbicara dengannya?

Belum sampai semenit Kiara tiduran, ia kembali mendudukkan tubuhnya dan menatap pada Sami yang masih memperhatikannya juga. Anjir, ini gue mau diomelin ya? Batin Sami lebih dulu menebak, karena melihat tatapan tidak bersahabat yang diberikan Kiara.

Senioritas (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang