22. Kenyataan

717 41 1
                                    

Bahagiaku itu sederhana. Cukup melihat senyummu walau alasannya bukan aku.

Daffa melirik sinis ke arah Sami yang masih setia berdiri tidak jauh darinya dengan Kiara. Dalam hal ini, Daffa jelas tidak bisa disalahkan. Ia meminta Ben yang datang, bukan Sami. Jadi, tidak masalah bukan, kalau ia meminta Sami menjaga jarak sebentar dengannya dan Kiara?

Tidak jauh berbeda dengan dirinya, cowok yang masih memakai jaket hitam itu juga sedang menatapnya. Bisa diartikan oleh Daffa, itu adalah tatapan tajam yang menandakan ketidaksukaan Sami padanya. Kalau begini, ia jadi heran, sudah terang tidak suka padanya, mengapa pula Sami malah mengantarkan Kiara padanya? Kenapa cowok itu tidak duduk manis saja di kelasnya.

"Kenapa?" Kiara bertanya untuk kesekian kalinya.

Bila diingat, sejak lima menit lalu Kiara berdiri di depan gerbang itu, Daffa belum juga memberi alasan mengapa cowok itu berada di sekolahnya. Seragam Daffa yang memberitahu secara jelas ia anak Panca, membuat banyak orang yang melempari tatapan tidak suka padanya.

"Gak kenapa-napa." Daffa membalas dengan santainya, kemudian tersenyum menatap pada Kiara. "Kangen aja sama lo tiba-tiba," lanjutnya, dengan senyumannya yang lebih lebar.

Kiara mendengus. "Emang gue sebego itu, sampai percaya sama apa yang lo omongin!?" Kiara sewot.

Mendengar jawaban kesal Kiara, Daffa tertawa. Tawa yang membuat Sami di tempatnya bertanya-tanya, apa yang sedang dibicarakan kedua orang di sana. Lagi pula, kenapa juga sih ia mau menemani Kiara? Bahkan, setelah diusir pun, ia tetap memilih menunggu Kiara di tempatnya sekarang.

"Sebenernya Araya yang minta gue ke sini sih," ujar Daffa, kemudian menempelkan dagunya pada helm yang berada di atas tangki motornya itu. "Mau nolak..." Daffa menggantungkan ucapannya, kemudian menatap lurus ke depan. "Tapi gak bisa."

"Geli banget deh, Daf." Kiara memprotes lebih dulu. "Terus, sejak kapan lo temenan sama Ben?"

Daffa kembali menegakkan badannya, kemudian menggeleng cepat. "Siapa yang temenan!"

"Ya, lo ngapain nyariin dia?"

Daffa terdiam, tetapi kedua matanya tak lepas menatap pada Kiara yang melakukan hal sama padanya.

"Ada yang mau gue omongin. Tapi gak ada Ben. Gue takut lo jadi takut sendiri."

Kiara mendelik. Masih pagi, tetapi sudah dua orang yang membuatnya pusing dan heran sendiri akan kalimat-kalimat yang dikeluarkan dua cowok aneh itu. Sepintar apapun Kiara, ia tetap bukan seorang peramal, ataupun seorang pemecah teka-teki. Mana mungkin Kiara dapat berpikir cepat untuk kalimat-kalkmat aneh seperti saat ini.

"Ya terus, kalau Bennya gak ada, lo mau ngapain sekarang?" Kiara bertanya dengan nadanya yang malas itu.

Daffa tersenyum. "Mau ngeliat lo aja. Kali aja lo bisa jadi penyemangat gue hari ini," balasnya dengan senyuman jahilnya.

Kiara berdecak. "Gue liat-liat abis sakit hati, lo jadi makin aneh, Daf."

"Ya udah, gue cabut deh. Lo juga bentar lagi masuk." Daffa berujar.

"Ben gimana?"

Daffa menggeleng dengan senyuman. "Gak penting kok."

"Gak penting, tapi lo kesini!"

"Karena emang mau ketemu lo doang!"

Senioritas (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang