2. Perdebatan Pertama

1K 57 0
                                    

Semuanya itu perlu waktu untuk terbiasa, perlu mengikhlaskan untuk menerima.

Katanya Angkasa itu gila. Angkasa bukan sekolah, melainkan sebuah neraka dunia. Hanya orang-orang bodoh yang ingin masuk ke dalamnya. Tetapi sampai saat ini, Kiara masih berpikir, kalau semua hal itu masih 'katanya' bukan 'kenyataannya'. Yang Kiara pikirkan, apa mungkin ada sekolah yang sejahat itu? Senioritas yang selalu dijunjung tinggi.

Sudah lebih dari lima jam Kiara berada di neraka dunia ini, tetapi tidak ada hal aneh yang ia dapati. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Bahkan, dalam lima jam pun Kiara sudah bisa membedakan mana senior dan mana junior. Sedihnya, saat ini Kiara berada di kedua hal itu. Menjadi junior bagi kelas dua belas, dan menjadi senior bagi kelas sepuluh.

Kakinya melangkah santai menyusuri tiap sisi bangunan Sekolah Angkasa. Sangat luas. Berbeda jauh dari sekolah-sekolah yang pernah ia tempati untuk menuntut ilmu selama ini.

Matanya menatap pada laki-laki berseragam yang kemejanya keluar dari celananya, dengan balutan korsa hitam yang juga sedang menatapnya. Dia Ben, tepatnya Benjamin Anandita. Sayangnya, kesepakatan tetaplah kesepakatan. Maka Kiara tidak boleh mengenal siapapun disini. Atau bila ia tidak sengaja, maka ia yang harus mencari solusinya. Sebuah kesepakatan aneh yang diberikan Gilang dan yang dituruti oleh keluarga besar Anandita.

Tetapi tidak berlangsung lama Kiara menatap pada Ben. Karena kemudian, matanya beralih pada keributan yang terjadi tepat di dean ruangan dengan papan tergangung yang bertuliskan ' XI BAHASA 1'.

Bukan Kiara namanya, kalau gadis itu tidak penasaran. Karena setelahnya, ia membiarkan tatapan Ben dan malah berlari kecil menuju keributan itu.

"LAP SEPATU GUE!"

Suara teriakan yang begitu menggelegar dalam bangunan tertutup itu membuat Kiara sempat tercengang. Suara yang mampu mendiamkan keadaan dalam sedetik, dan meramaikan penonton dalam detik selanjutnya.

Kiara tertawa kecil. Jadi apa ini sebuah petunjuk dari senioritas yang dimaksud?

Dengan rasa semangatnya, Kiara melewati berbagai halangan orang yang menutupi pemandangan keributan itu. Ia harus tahu jelas siapa dalang keributannya.

"Seriously!?" Kiara bertanya hampir berteriak. Gadis itu benar-benar tidak sadar, kalau ia baru saja mengeluarkan kata yang mampu membuat orang-orang disana menatapnya.

Kiara melotot pada laki-laki berseragam berantakan yang ia yakini sebagai lelaki yang berteriak barusan. Sepatu laki-laki itu terlihat jelas terkena tumpahan sebuah cairan jus yang terlihat begitu menjijikkan bagi Kiara. Tetapi tidak, itu tidak penting. Karena yang lebih penting adalah lelaki itu Gilang. Gilang yang baru saja berteriak. Dan Gilang juga yang baru saja menunjukkan padanya sebuah senioritas di Angkasa.

Tidak jauh berbeda dari yang lain. Gilang sama terkejutnya. Ia pikir Kiara tidak semudah itu untuk menemukan kegiatan senioritas yang ia lakukan. Mengingat dirinya sekarang berada di koridor Bahasa, sedangkan Kiara adalah anak Mipa.

"Siapa lo?"

Itu bukan suara Gilang, tetapi suara lelaki yang berada di belakang Gilang. Lelaki yang memakai korsa hitam, mirip dengan yang dipakai oleh Ben tadi.

Tetapi Kiara tidak mengindahkan pertanyaan lelaki itu. Ia malah menatap bolak-balik pada Gilang, dan cewek yang sedang menunduk di hadapan Gilang. Kiara bingung, seriusan bingung. Ini maksudnya Gilang juga melakukan senioritas pada lawan jenis? Jahatnya.

"Jangan mau!" Kiara berujar santai dengan gelengan pastinya. Ia menarik lengan cewek itu untuk keluar dati kerumunan itu.

"WOI!"

Kiara berdesis. Kenapa suara laki-laki itu berat dan kencang sekali? Ia bisa sakit telinga kalau terus mendengarnya.

"Lo siapa sih? Mau jadi pahlawan?" Lagi, lelaki dengan korsa hitam itu berbicara. Ia menampilkan senyum sinis dengan alisnya yang terangkat satu dan menatap kesal pada Kiara.

Kiara berbalik dan berhenti tepat di depan lelaki itu. "Gue Kiara. Lo gak tau?" Kiara menjawab dengan polosnya. Tidak jauh berbeda dengan Aldo, lelaki dengan korsa hitam itu, Kiara juga menampilkan senyum sinisnya.

"Gue gak nanya nama lo, anj—"

"Nama gue Kiara, bukan anjing. Lo gak tau cara bedainnya?"

Oke, sepertinya Kiara tidak sadar apa yang baru saja ia katakan. Tetapi yang pasti, ia baru saja menguji kesabaran Aldo.

Aldo menatap kejam Kiara, kemudian melangkah maju dengan amarahnya. "Bang—"

"Tahan!"

Gilang lebih dulu mengangkat tangannya di udara, menahan dada Aldo yang sudah bergemuruh karena amarah.

Astaga. Apa Kiara tidak sadar, ia sama saja menjebak Gilang! Gilang tidak mungkin membela Kiara saat ini, tetapi tidak mungkin juga ia membiarkan Kiara menjadi santapan halus Aldo siang ini.

Kiara tersenyum tipis. Ternyata Gilang tidak bisa menjalankan kesepakatan mereka berdua, di mana satu sama lain harus berjuang sendiri. Nyatanya, Gilang baru saja memberikan bantuannya pada Kiara.

Ia mengalihkan kedua matanya menatap pada Gilang yang juga sedang memperhatikannya.

"Kalau sepatu lo basah, di lepas dong, dijemur. Kalau di lap, sepatu kain begitu mau sampai kapan keringnya? Mikir dong!"

Gilang sabar. Bukan keinginannya untuk sabar. Tetapi itu adalah keharusannya. Kalau biasanya yang ia pikir hanyalah ruang BK. Maka kalau berhadapan dengan Kiara, pikirannya hanyalah rencana Simon menggorengnya.

"Kenapa? Kok diem?" Kiara melotot. Bukan menantang. Tetapi ia lebih kepada bingung, kenapa Gilang diam saja. Ini bukan yang ia harapkan. Kalau begini, Kiara jadi canggung.

Gilang berdesis, kemudian kembali melempar tatapan kesalnya pada Kiara. "Lo anak baru?" tanya Gilang basa-basi. Bahkan tidak perlu ditanya pun Gilang sudah tahu jawabannya.

Kiara mengangguk semangat.

"Oh."

"Oh?" Kiara menautkan kedua alisnya bingung.

Sekarang gantian Gilang yang mengangguk. "Berarti lo gak tahu banyak tetang Angkasa," ucapnya pelan. Setelahnya Gilang menatap lembut Kiara. "Banyak-banyak cari tahu ya." Gilang melanjutkan.

Setelahnya, kakinya melangkah untuk berbalik meninggalkan Kiara dan segala keributan yang sempat ia buat tadi. Inilah masalahnya kenapa Gilang tidak mau Kiara satu sekolah dengannya. Kiara itu tidak bisa diatur. Bahkan aturan turun-temurun pun bisa hancur seketika karena Kiara.

"Lang, lo gila!?" Aldo menghentak kesal. Ia menarik bahu Gilang keras, membuat sang empunya tertarik ke belakang dengan gerakan terkejut.

Gilang melotot. "Apaan sih?" omelnya, sembari membenarkan posisi.

"Lo barusan ngalah sama cewek bengal yang gak ada sopannya itu? Lo sakit?" Aldo lagi-lagi berujar tidak terima.

Gilang hanya menghelas napas, kemudian kembali melangkah. Biarkan Gilang melatih otak dan hatinya untuk terbiasa dengan Kiara di sekolah.

Tetapi kalau dipikir-pikir, bila mengalah terus, maka balasannya adalah harga dirinya yang akan diinjak-injak. Bukan sebuah penghapusan senioritas, tapi yang bisa terjadi adalah penghapusan Gilang sebagai ketua angkatan akhir ini. Ia jelas tidak mau hal itu terjadi. Astaga Kiara, sadarlah, kamu baru saja membuat Gilang dalam ambang kebingungan.

5 Maret 2020

Senioritas (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang