Ada rasa khawatir yang mungkin tak bisa disampaikan dengan lisan maupun tulisan
Gilang memarkirkan motor miliknya tepat di samping mobil hitamnya. Rumahnya masih sepi, karena memang biasanya Simon dan Tiara akan pulang tepat pukul sebelas malam. Sedangkan sekarang masih jam delapan malam. Hebatnya, Gilang sudah sampai di rumah jam segini. Karena memang biasanya ia akan memilih untuk menghabiskan waktu bersama temannya, dan kembali pukul sepuluh malam, atau mungkin lebih malam dari Simon dan Tiara.
Hanya saja pembicaraan kali ini membuat hatinya sedikit terganggu. Selama berkumpul bersama teman-temannya, hampir semua pembicaraan berisi tentang Kiara dan Sami yang bertengkar di lapangan tadi. Gilang jadi merasa bersalah karena tidak bisa membela Kiara tadi. Dan rasa bersalahnya semakin bertambah ketika ia tahu, ternyata Sami marah karena jam miliknya patah. Dan yang tidak diketahui Sami tadi adalah, jam itu patah karena Gilang, bukan karena Kiara. Tetapi malah jadi Kiara yang kena batunya. Ia jadi menyesal karena menitipkan benda itu pada Kiara.
Langkah kakinya lebih dulu membawanya ke dapur, mencari Bi Asih, asisten rumah tangganya. Karena melihat keadaan Kiara di sekolah tadi cukup tidak mengenakkan mata, lebih baik ia bertanya-tanya terlebih dulu pada Bi Asih.
"Bibi?"
Gilang memanggil, di saat ia tetap tidak menemukan Bi Asih. Berarti tidak ada cara lain. Lebih baik ia pergi ke kamar Kiara saja.
"Tapi bentar. Cek ruang keluarga dulu." Gilang mengingat kebiasaan Kiara seketika.
Kosong. Ruang keluarga kosong, tidak ada Kiara disana. Berarti jawabannya, Kiara ada di kamarnya.
Entah kenapa, tidak ada alasan jelas, Gilang memilih untuk berlari menaiki anak tangga dan buru-buru menghampiri Kiara.
Benar kan. Kiara ada di kamarnya, bersama Bi Asih di sampingnya. Kedua orang itu membelakangi dirinya, seperti sedang mengerjakan sesuatu di meja belajar milik Kiara.
"Bukan gitu atuh, neng." Bi Asih bersuara pelan, namun terdengar nada gemas dalam bicaranya.
"Pada ngapain?" Gilang bertanya, mengejutkan kedua orang yang sedang sibuk itu.
Bi Asih dan Kiara sontak menengok. Keduanya sama-sama tahu itu suara Gilang. Tetapi, kehadiran Gilang cukup mengejutkan mereka berdua.
"Lah, tumben udah pulang." Kiara bersuara, kemudian kembali mengarahkan matanya pada benda yang berada di atas meja belajarnya itu.
Gilang mengangguk saja. Kemudian ia mendekat pada Kiara, ingin melihat apa yang sedang dikerjakan gadis itu.
"Bisa gak?" Gilang bertanya, setelah memperhatikan meja Kiara yang sudah berantakan dengan lem, namun benda itu tetap tidak berbentuk.
Kiara menggeleng. "Belum. Bentar lagi paling."
"Minggir, sama aku aja!" Gilang berujar pelan, namun bersirat paksaan.
"Bi Asih turun ya." Bi Asih berujar setelah Gilang dan Kiara sudah bertukar posisi.
Kiara mengangguk. "Makasih Bibi," balasnya dengan senyuman lebarnya.
Kiara kembali memperhatikan tangan Gilang yang mulai berkutat dengan kacamata miliknya, benda yang sedari tadi berusaha ia benarkan.
Senyuman tipis muncul di bibir Kiara. Gilang mungkin tidak peduli padanya di sekolah, tetapi ketika dia di rumah, lelaki itu sungguh penolong bagi kehidupannya. Bahkan, saat ini Gilang belum mengganti seragam SMAnya, dan malah memilih untuk membantu Kiara dan kacamatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senioritas (TAMAT)
Teen FictionSiapa sih yang menyukai sebuah perlakuan yang dinamakan Senioritas? Hampir satu Angkasa menyukainya. Perlakuan yang bisa dibilang berat sebelah dan tidak memikirkan banyak hal. Yang pasti, perlakuan yang membuat para senior bertindak sebebas mereka...