Bab 4 – Orang Berharga
Terik mentari terus saja menyengat kulit mereka tanpa peduli keluhan-keluhan yang terus dilontarkan seorang gadis berponi pagar itu. Hal yang paling mengganggu untuk seorang cowok yang berjaket hitam itu bukanlah sengatan panas sang mentari melainkan ocehan-ocehan tak bermutu gadis yang bersamanya sejak tadi.
"Ih, panas banget sumpah. Gue jadi haus. Kita beli minum dulu yuk. Gue nggak konsen kalau gue lagi haus. Ntar ingatan gue menghilang." Pandu tak menanggapinya sama sekali. "Tuh, di sana ada warung. Yuk, ke sana bentar. Gue dehidrasi nih." Lagi-lagi Pandu menyepelekannya. "Woi! Lo punya kuping nggak sih?!" Ia sekarang kesal karena terus diabaikan.
"Sst, berisik."
Sudah kesekian kalinya ia mengatakan hal itu pada gadis yang berdiri di sampingnya dan lagi-lagi gadis itu hanya melontarkan death glare pada yang berkata.
"Rumahnya kelihatan nggak dari sini?" tanya Pandu sekilas.
"Huft!" Rhea mendengus kesal karena merasa dimanfaatkan oleh si detektif yang berdiri di sampingnya itu.
"Punya kuping nggak?" Pandu membalikkan pertanyaan Rhea tadi.
"Sialan! Itu tuh, rumah bercat kuning agak tua deket pos satpam. Rumah itu target kita."
Pandu —cowok berjaket hitam itu memicingkan matanya untuk memperjelas pandangannya. Ia mengikuti arah telunjuk Rhea yang tertuju pada sebuah rumah di seberang jalan. Sebuah rumah bercat kuning dekat pos satpam yang terlihat teduh karena ada beberapa pohon mangga yang tumbuh di halaman rumah.
"Ah! Udah lampu merah. Ayo! Gue mau beli minum dulu. Haus!"
Ngeeng!
"Awas!" dengan secepat kilat, Pandu langsung menarik tudung jaket Rhea hingga Rhea terpental ke belakang menghindari sebuah motor yang melaju cepat di sela-sela berhentinya mobil saat lampu merah. Ia mengeluarkan ponselnya dan langsung melaporkan kejadian itu ke polantas terdekat. "Motor matic berwarna merah hitam berplat nomor * 1929 HSE ke arah utara. Melanggar lalu lintas dan melanggar aturan kecepatan berkendara," setelah mematikan ponselnya, ia menengok ke belakang dan sudah mendapati gadis yang bersamanya itu menangis tersedu-sedu.
"Sakit," rengeknya sambil memperlihatkan luka kecil di dahinya akibat ditarik tadi dan kepalanya terbentur tiang listrik yang berada di belakangnya. "Darahnya keluar terus, hiks, ayo ke rumah sakit dulu, hiks. Kalau nggak dibawa ke rumah sakit, gue bisa mati di sini, haa ... gue nggak mau mati konyol!" ucapnya disela-sela tangisannya.
Pandu berniat membantunya berdiri, namun dengan sigap Rhea menjauhkan badannya dari bantuan Pandu. "Ayo gue bantu. Malu dilihat orang. Toh itu cuma luka kecil."
Memang benar, semua mata tertuju pada mereka. Terutama pada Rhea yang duduk bersimpuh di trotoar sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang meminta mainan pada ayahnya namun tidak dituruti.
Melihat ke arah samping kanan kirinya, akhirnya Rhea bangkit dari duduknya dan mengusap air matanya. "Sakit, gue mau lo bawa gue ke rumah sakit! Kalau enggak, gue nggak mau bantuin lo mecahin masalah ini!"
Pandu mengacak rambutnya frustasi. Ia berkacak pinggang melihat wajah kusut yang sudah sembab itu, kemudian ia berjalan meninggalkannya. "Ayo, rumah sakit deket dari sini. Kita jalan aja."
*****
Terpampang jelas di depan pintu gerbang masuk gedung itu terdapat nama rumah sakit yang cukup besar. Rumah Sakit Kasih Bunda, itulah namanya. Rumah sakit itu adalah milik seorang dokter yang merupakan ayah dari sahabat Pandu yang juga seorang dokter muda di sana.
Rhea berjalan cepat dan hampir berlari memasuki rumah sakit besar itu. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang mengikutinya hingga ia tenggelam di balik pintu masuk rumah sakit. Seseorang yang memasang sebuah senyuman penuh arti tanpa diketahui juga oleh Pandu.
Gerak-gerik gadis itu benar-benar membuatnya malu setengah mati. Ia berlari ke sana kemari hanya untuk mencari seorang dokter yang ia inginkan untuk mengobatinya. Tapi Pandu berjalan agak jauh darinya agar rasa malunya tak benar-benar kentara.
"Woi, Ndu!"
Mendengar nama Pandu dipanggil, Rhea langsung menghentikan tangisnya dan berhenti kalang kabut mencari seorang dokter. Karena ia, sudah mendapatkan seorang dokter yaitu seseorang yang tadi memanggil nama Pandu.
"Dokter!" teriaknya dari kejauhan hingga membuat beberapa pasang mata tertuju padanya. Tentu saja hal itu lagi-lagi membuat Pandu merasa sangat malu.
"Ndu, siapa tuh?"
Pandu mengangkat bahunya seolah tak mengenal Rhea yang sudah membuatnya malu untuk kesekian kalinya.
"Dokter! Obati, dok, obati! Saya nggak mau mati, dok! Nggak mau, huu," rengeknya sambil menunjukkan luka kecilnya itu. Seolah ia benar-benar akan mati jika saja luka kecilnya itu tak segera diobati. Entah sadar atau tidak, Rhea sungguh dalam keadaan memalukan sekarang.
"Iya, iya, sabar. Sus, tol–"
"Nggak mau! Maunya dokter aja. Nggak mau suster! Huu," rengeknya lagi saat si dokter muda itu memanggil seorang perawat.
"Yaelah, sama aja kok! Lo nggak bakal mati cuma karena luka kecil itu," geram si dokter muda itu. Namun, Rhea memang sudah seperti anak kecil yang harus dituruti keinginannya. Merasa frustasi dengan tangisan Rhea yang semakin kencang, akhirnya si dokter muda itu mengajak Rhea ke ruangannya.
"Lo ngapain ikut, Ndu?" tanyanya pada sahabatnya itu ketika mereka berjalan ke arah ruangan bertuliskan 'dr. Savian Altezza Reiki'.
Pandu terlihat kikuk karena pertanyaan itu. "Emm, anu, itu ... sebenernya dia itu orang berharga buat gue."
Keadaan hening seketika saat Pandu mengatakan kalimat tadi. "Orang berharga?" tanya dokter muda dan Rhea bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Magic Girl
Romance(Romance-Fantasy) ***** "Apa yang lo punya buat gabung di Misi Penculikan Anak ini?" Detektif itu menatap penuh selidik pada seorang gadis Bernama Rhea. "Tekad!" Jawaban naif itu hanya membuat seorang dokter muda terkekeh pelan. "Tekad hanya sekadar...