31 - Rencana (2)

7.4K 668 83
                                    

Bab 31 – Rencana (2)

"Sini tangan lo," jawabnya.

"Hah?"

"Udah siniin aja tangan lo!" paksanya sambil menyambar tangan kanan Malven. Malven tak bisa berkata apa-apa. Bahunya ditepuk oleh Daren seolah menyuruhnya untuk mematuhi perkataan Rhea.

"Lo ngapain?"

Akhirnya Rhea melepas genggaman tangannya pada Malven. "Lo anak tunggal dan korban broken home. Sekarang lo tinggal di apartemen setelah orang tua lo resmi bercerai tiga tahun lalu. Right?"

Malven terheran. Tak ada satu orang lain selain ketiga sahabatnya yang tahu kalau orang tuanya sudah bercerai. Jika saja Reiki yang memberitahu Rhea, itupun mustahil karena untuk apa Reiki menceritakan tentang dirinya pada orang lain.

"Oke, gue percaya sama lo."

Mendengar keputusan Malven, akhirnya Rhea bisa tersenyum lega. "Nah, sekarang gue butuh bantuan kalian bertiga," ucapnya pada Adis, Malven, dan Daren. Sebelum ia melanjutkan perkataannya, ia melihat ke arah Pandu yang masih tak sadarkan diri. "Selama Pandu terbaring lemah di rumah sakit, kita harus mengumpulkan banyak bukti biar bisa nangkep si penculik."

"Emangnya lo tahu siapa penculiknya?" tanya Malven penasaran.

Rhea mengangguk. "Gue tahu. Tapi gue mohon, kalian pura-pura nggak tahu aja. Karena orang itu ada di sekitar kita."

Mereka bertiga mengangguk paham. "Emangnya siapa, Rhe?"

"Penculik berantai itu ... Dokter Devyn."

*****

Sebagai seorang farmasis, Daren tak hanya lihai membuat obat-obatan, vaksin, atau hal yang berbau kesehatan. Ia juga mengembangkan ilmunya itu menjadi bercabang ke mana-mana. Ia mengasah kemampuannya dengan cara bereksperimen dengan membuat racun bahkan bom. Kemampuannya memang sudah melebihi seoraang farmasis biasa. Itulah kenapa, ia selalu berada di ruang rahasianya untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Saat ini ia sedang membuat sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Rhea. Ia meracik sebuah minuman yang berkhasiat sangat menakjubkan. Minuman yang memiliki rasa nikmat namun kandungannya bisa membuat kerja otak akan berputar mengatakan semua kejujuran setiap kali otak itu diberi pertanyaan. Ia membuat minuman itu sesempurna mungkin dan menghilangkan bau rempah-rempahnya agar tak terlalu terlihat mencurigakan. Bukan hanya bau rempah-rempah saja yang ia hilangkan, ia pun juga sangat berati-hati agar minuman itu tak membunuh siapapun jadi ia menyingkirkan beberapa racun terkandung dalam adonan rempah-rempahnya.

Senyuman terukir indah di bibirnya. Eksperimennya telah membuahkan hasil yang baik. Minumannya sudah siap dalam keadaan ... sempurna.

*****

Masih terlihat samar, tapi ia tahu pasti kalau yang di hadapannya sekarang bukanlah sosok yang ia inginkan. Meskipun kecewa, namun ia menahannya dan tetap terlihat seolah tak ada apa-apa.

"Ndu? Ini gue, Adis."

"Dis, yang lain mana?" tanyanya dengan suara yang masih parau. Selama beberapa hari, vaksin penawar buatan Daren baru berfungsi. Tapi untung saja, Daren belum terlambat memberikan vaksin penawar itu. Kalau sampai terlambat sehari saja, mungkin Daren akan benar-benar menyesali kelalaiannya.

"Malven, Reiki, Daren, sama Rhea baru mau ke sini setelah gue hubungi mereka kalau lo udah sadar. Sabar ya," Pandu mengangguk. Dalam hatinya, ia sudah tak sabar ingin melihat wajah yang ia rindukan selama ia tertidur itu.

"Pandu!!" baru saja dibicarakan, ketiga sahabatnya dan seorang gadis yang ia nanti akhirnya tiba dengan menggendong seorang anak kecil.

"Rhe," ucapnya. Alhasil, ketiga sahabatnya langsung terdiam saat Pandu tiba-tiba saja menyebut nama Rhea. Begitupun dengan Adis yang terlihat sedikit cemburu.

"Apa, Ndu?"

"Tolong tutup pintunya."

"Halah! Gue kira apaan?!" sontak Malven menonjok lengan Pandu dengan pelan. Dan Adis, mulai bisa bernapas lega kembali.

Setelah Rhea menutup pintu, ia menidurkan Riko di sofa dan duduk di sampingnya untuk kembali membuat Riko nyenyak dalam tidurnya.

"Rhe, sapa Pandu dulu sana. Kayaknya dia kangen tuh sama lo," baru kali ini ia mendengar Reiki berkata halus padanya. Meskipun agak aneh, tapi Rhea tak terlalu memikirkannya. Ia menyerahkan Riko pada Reiki dan ia pun bergabung dengan Malven, Daren, dan Adis.

"Gue denger kalian bikin rencana buat nangkap Dokter Devyn ya?" celetuk Pandu yang tak sengaja terdengar oleh Reiki.

Rhea dan ketiga temannya hanya terdiam. Rhea yakin, Reiki akan langsung menyeretnya keluar dari ruangan.

"Rhe, ikut gue."

Benar. Rhea harus siap menerima konsekuensinya. Ia pun mengikui Reiki yang sudah keluar dari ruangan. Teman-temannya hanya melontarkan tatapan yang seolah berkata, "Semangat, Rhe!"

Ia menarik napas dalam dan memberanikan diri menceritakan semuanya pada Reiki. Meskipun ia yakin kalau Reiki takkan mempercayainya. Sekarang Reiki menatapnya dingin. Membuatnya semakin larut dalam kegugupan.

"Rei, gue bisa jelasin semuanya."

"Gue udah pernah bilang sama lo, Rhe. Jangan pernah lo selidiki ataupun curigai Dokter Devyn. Dia nggak bersalah! Gue tahu itu!"

"Tapi, Rei–"

"Tapi apa? Lo mau bilang kalau lo lihat semuanya dengan kemampuan khusus lo itu? Sampai kapanpun juga, kemampuan khusus lo itu nggak selalu benar! Buktinya, lo pernah salah saat nyelidiki kasusnya Daren, kan?! Lo harus mikir sejauh itu, Rhe! Nggak semua yang lo lihat itu sesuai kenyataan!"

Rhea terdiam. Membiarkan Reiki melampiaskan amarah dan kekecewaannya.

"Sekarang gue tanya, apa lo punya bukti kalau emang Dokter Devyn itu penculiknya? Punya? Lo bukan Tuhan yang bisa menghakimi seseorang! Kemampuan lo itupun punya kelemahan yang nggak harus lo percayai selalu! Pikir, Rhe! Pikir pakai otak! Jangan terus-terusan bergantung sama kemampuan konyol lo itu!"

"CUKUP, REI!"

"CUKUP APA, HAH?!"

Suasana hening sejenak. "Oke, gue tahu lo punya hutang budi sama orang yang sebenernya udah ngebunuh nyokap sama adik lo itu!"

"DIAM, RHE! Lo nggak tahu apa-apa soal keluarga gue! Yang lo tahu cuma nyalahin orang yang nggak bersalah dengan kemampuan aneh lo itu dan dengan segala kegilaan lo itu!"

"Lo harus tahu, Rei. Orang yang sangat lo percaya itu adalah pembunuh! PEMBUNUH NYOKAP DAN ADIK LO!"

"Gue MUAK sama lo, Rhe! Cewek gila yang nggak tahu malu sama semua ucapannya!"

PLAK

Tangannya dengan enteng menampar pipi seorang cowok yang sempat ia yakini adalah cowok yang berbeda. Air matanya mulai tergenang di pelupuk matanya. Hatinya sakit, entah kenapa ia sakit mendengar semua ucapan Reiki yang seolah menyudutkannya dalam rasa bersalah. Ia sakit mendengar Reiki mengatakan itu semua.

"Gue berhenti. Makasih buat kerjaannya selama ini."

Reiki terdiam di tempatnya. Pipinya perih namun hatinya pun lebih perih dirasa. Ia hanya bisa diam melihat kepergian sosok gadis yang sudah membubuhkan tamparan di pipinya.

"ARGH!"

*****

Ia terus saja menangis tanpa mempedulikan setiap mata yang melihatnya heran. Hatinya sakit. Tangannya pun sakit. Karena baru pertama kalinya ia menampar seseorang dengan begitu kerasnya. Ia menatap tangannya penuh kecewa. Bagaimana bisa Reiki yang sudah ia percayai justru tak percaya padanya.

"Sakit, Rei. Sakit!" lirihnya.

"Rhea," suara itu membuat langkahnya terhenti. Ia mengenalnya. Bahkan sangat hafal suara berat itu milik siapa. Dengan berani, ia membalikkan badannya dan melihat sosok yang sesuai dengan tebakannya.

Bugh!

Kepalanya terasa pening setelah sebuah hantaman keras di tengkuknya. Dan ia pun ... jatuh pingsan.

******

Your Magic GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang