34 - Marionette (3)

6.8K 559 56
                                    

Bab 34 – Marionette (3)

"Aku tak sebodoh yang kamu pikirkan, Rhe."

Setelah mengucapkannya, ia berjalan menjauhi Rhea menuju ke sebuah meja yang terdapat beberapa alat yang sudah pasti alat-alat yang ia gunakan untuk mengubah anak-anak itu menjadi sebuah Marionette.

"Dulu ... sangat dulu sekali. Sepertinya aku pernah melihatmu. Di sebuah kecelakaan besar. Kamu, menangis meraung melihat kedua orang tuamu meninggal saat itu juga. Tapi aku tak peduli, aku hanya berpikir bahwa rencanaku untuk kabur telah berhasil. Karena polisi akan sibuk mengurusi kecelakaan itu dan melupakan sejenak kasusku yang hampir terbongkar. Dan ... ternyata takdir mempertemukan kita lagi."

Terkejut. Pasti. Rhea memang masih tak mampu mengingat penyebab kecelakaan itu. Tapi dengan sendirinya si penyebab kematian kedua orang tuanya itu mengaku. Membuat Rhea semakin geram dan rasa ingin menghabisi Devyn saat itu juga.

****

"Saat aku berumur 20 tahun, adikku meninggal.. Meninggal karena terjatuh dari tangga saat bermain denganku. Orang tuaku haya bersedih untuk sejenak. Lalu mereka sibuk kembali dengan urusannya masing-masing. Adikku adalah satu-satunya mainanku. Dia penghibur hatiku. Tapi kematinnya, membuatku merasa sepi. Aku bertekad ingin menjadi seorang dokter anak. Ya, akhirnya terwujud. Tapi, sisi lain yang ada di diriku. Mendorongku untuk bisa lebih lama bersama mereka. Anak-anak yang memiliki keunikan masing-masing. Sungguh menyenangkan, bisa bersama dengan mereka seperti ini. Karena aku ... tak lagi merasa kesepian."

Rhea hanya terdiam mendengar semua kisah hidup yang Devyn ceritakan. Dalam diri seseorang memang terdapat jiwa psikopat. Hanya saja, jiwa itu akan bangkit jika si pemilik jiwa mengalami trauma yang bisa mengaktifkan rasa tak manusiawi itu. Seperti sosok yang tengah berjalan ke arahnya itu. Sosok yang berubah menjadi sangat mengerikan di balik topeng sikap wibawanya.

"Mungkin ... akan lebih baik kalau kamu menjadi mainan baruku. Ya, Marionette terbaruku, Rhe," seringainya membuat Rhea terbalut rasa takut. Namun ia tak boleh diam begitu saja, sepertinya Devyn lupa menyuntikkan obat bius ke kakinya, jadi kakinya bisa bergerak leluasa. "Ya, mungkin kamu pikir aku lupa memberikan obat bius untuk kaki indahmu itu, tapi asal kamu tahu, Rhe. Aku memberikan kebebasan untukmu bergerak sebelum kamu sudah tak bisa menggerakkan kedua kaki dan tanganmu dengan kemauanmu sendiri," Devyn tertawa sekilas. "Aku memang sudah memberikan hatiku padamu. Hingga aku memberikan kebaikan hati ini padamu."

"Cih!" Rhea berdecih melihat tatapan itu.

"Bersiaplah, Rhea. Karena sebentar lagi kamu akan seperti mereka. Anak-anak yang sudah menemani hari-hari indahku."

Devyn mendekatkan dirinya ke arah Rhea. Di tangannya sudah tergenggam sebuah alat yang biasa ia gunakan untuk memotong tubuh korbannya.

"Tuhan, berikan Rhea keajaibanMu lagi," bisiknya penuh harap.

Sebelum Devyn benar-benar menggoreskan alat itu pada kaki indah Rhea, ia menyuntikkan obat bius hingga pergerakan kaki Rhea mulai melambat dan akhirnya tak bisa digerakkan. Rhea mulai menangis kali ini, badannya sudah terasa lemas dan ia sudah tak berdaya. "Pandu, Reiki, kalian di mana," rintihnya pelan.

Melihat kaki Rhea sudah tak bergerak, Devyn kembali berdiri dan menatap Rhea dengan tatapan mengerikan sebagai seorang physco. Ia mengangkat alat itu dan bersiap menggoreskannya pada lengan Rhea.

"Argh," meskipun tangannya tak bisa ia gerakkan, tapi rasa sakit itu masih ada.

Duar!

"Hentikan!" suara tembakan itu menghentikan goresannya yang hampir saja melebar. "Anda terkepung!" beberapa orang berseragam polisi mendobrak paksa pintunya hingga mereka bisa masuk ke dalam ruang rahasia di mana ada Devyn dan Rhea di sana.

"Reiki!"

Brak!

Atapnya sudah hancur sebagian. Itu adalah salah satu rencana yang sudah di susun matang-matang oleh mereka. Karena hancurnya sebagian atap rumah itu, sinar matahari bisa masuk dengan lelusa ke dalam ruangan. Membuat Devyn si Heliophobia ketakutaan hingga ia menjauhi Rhea yang sudah terpapar sinar matahari. Melihat Rhea terikat dengaan lengan kiri yang sudah berdarah, Reiki langsung berlari menuju ke arah gadis itu.

"Rhe! Lo nggak apa-apa, kan?" Reiki memotong tali-tali yang mengikat Rhea. Rhea terjatuh lemas karena obat yang disuntikkan Devyn ke tubuhnya masih bekerja.

Dengan wajahnya yang sudah pucat pasi menahan sakitnya goresan di lengan kirinya, ia tersenyum. "Gue baik-baik aja, Rei. Riko juga baik-baik aja," ucapnya dengan suara parau.

"Lepaskan, Rhea!" gertakan itu berasal dari Devyn.

"Reiki, awas!"

Rhea ingin mendorong Reiki menjauh darinya dan menghindari kegilaan Devyn yang sudah membabi buta dengan pisau di tangannya itu, namun gagal karena dirinya sudah tak bisa bergerak lagi.

Duar!

Srep

Pandu mengangkat pistolnya dan melesatkan pelurunya tepat ke jantung Devyn namun na'as pisau yang ada di tangan Devyn sudah berhasil menancap di dada kiri Reiki. Kedua lelaki itu jatuh bersamaan dengan darah yang mengucur dengan derasnya.

Bayangan itu kembali muncul, bayangan penglihatan masa depan Reiki yang sempat Rhea lihat. Ya, sebenarnya hanya itu yang ia lihat dari sosok yang sekarang ada di pelukannya. Darah ... darah yang mengucur deras karena dirinya.

"Nggak, lo nggak boleh mati karena gue, Rei. Nggak boleh, Rei!" rintihnya melihat Reiki yang sudah tak sadarkan diri dalam pelukannya. "Reiki! Tim medis, cepat tolong Reiki!"

Darahnya mengalir membasahi pakaian Rhea dan bercampur dengan darah Devyn yang sudah terkulai lemas di lantai. Rhea terus menangis dan terus berteriak di telinga Reiki memohon untuk tidak mati karenannya. Hingga tim medis, datang membawa lelaki itu ke rumah sakit.

"Please, jangan mati karena gue, Rei."

*****

Kakinya bergetar namun ia masih kuat bertahan saat melihat dua lemari kaca itu. Sedari tadi pipinya sudah basah karena air mata. Jantungnya berdetak sakit saat mengingat kebersamaannya dengan kedua adik kembarnya itu.

"Maafin kakak," rintihnya dengan suara parau. Ia tak kuasa melihat keadaan kedua adiknya yang sangat mengerikan. Memang wajah mereka sudah tak bisa dikenali, tapi nalurinya sebagai kakak mampu mengenali kedua adik tersayangnya itu. Mereka tergantung seperti Marionette di dalam lemari kaca yang berbeda. Ia melihat kedua tangannya yang sudah berhasil membalaskan dendam atas kematian sadis kedua adik dan keponakan Daren itu. Melihat Pandu bergetar hebat, Adis memeluknya dari samping. Berusaha memberikan sebuah ketenangan yang mungkin dibutuhkan oleh sosok Pandu.

Begitupun dengan Daren, ia menunduk dalam melihat keponakannya yang sudah terlambat ia selamatkan. Tangisnya pecah dalam diam melihat kematian keponakannya yang sangat sadis itu. Ia pun tak tahu harus mengatakan apa pada kedua orang tua keponakannya. Sanggupkah dia mengatakan, kalau anak mereka sudah berubah menjadi Marionette. Namun sepertinya, ia tak sanggup.

"Paman, Bibi, maafin Daren."

"Bilang sejujurnya. Gue yakin kedua orang tuanya bisa menerima meskipun mereka juga akan tersakiti sama kayak lo, Ren," Malven datang memeluk sahabatnya itu dengan erat. "Gue yakin, anak-anak ini sudah tenang di alam sana sekarang."

*****

Your Magic GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang