Kacamata hitam selalu bertengger di hidungnya. Tak peduli itu pagi, siang, atau malam. Bukan untuk menghindari teriknya sinar mentari. Bukan pula karena sedang sakit mata yang akan menakuti orang lain. Melainkan ada sebuah ketakutan jika kacamata itu terlepas dari wajahnya.
Langkahnya terangkat ketika melihat sebuah bus yang ia nantikan telah datang. Ia langsung menaiki bus itu dan duduk di bangku paling belakang. Lurus dengan kaca depan. Ia termenung seorang diri. Melihat isi bus sepi dan hanya tampak segelintir orang yang duduk di sana, ia mulai mengeluarkan smartphone dan memasang sebuah headset. Kemudian menyumpalkan kedua headset itu ke telinganya.
Musik mulai mengalun dengan tenang. Ia menikmati gedung-gedung pencakar langit yang berlomba-lomba untuk merenggut awan. Kemudian kedua perhatiannya teralih pada segerombol siswa lelaki dengan seragam yang sama sepertinya. Mereka berbondong-bondong menaiki bus dimana ada dirinya di dalam.
Secara otomatis, musiknya terhenti. Ia memasukkan smartphonenya kembali ke dalam tas. Kemudian menunduk dalam sembari berdoa.
"Tuhan, semoga—"
"Waw!" Salah seorang siswa itu menyeru.
Seorang siswa dari empat siswa itu menepuk bahunya.
Doanya tak sempat terucap. Dan Tuhan juga belum mengabulkan doanya kembali.
"Heh, anak aneh." Siswa yang memiliki label nama 'Kenzy Altezza' langsung menarik kerahnya. "Siapa nama lo? Gue lupa."
Dia terdiam. Sebenarnya sudah ratusan kali seingatnya, ia memperkenalkan diri pada Kenzy and the Genk. Tapi sosok yang tengah mencengkram kerahnya itu terus menanyakan hal yang sama.
"Woi! Lo bisu?!" gertak Kenzy membuat penumpang lainnya hanya melirik heran pada segerombol anak-anak SMA yang layak disebut sebagai preman jalanan.
"Jangan berantem di sini, Dek. Ini tempat umum. Kalau mengganggu ketenangan umum bisa dilaporin polisi lho." Seorang wanita paruh baya angkat bicara. Membuat Kenzy hanya menghela napas pelan.
"Kiri, Bang!" Terdengar Kenzy langsung menghentikan bus yang mereka tumpangi di pemberhentian selanjutnya. Kemudian menarik kerahnya untuk mengikuti langkah Kenzy dan gerombolannya keluar dari bus.
Mereka menyeretnya hingga ke sebuah gang kecil. Memepetkan tubuhnya ke tembok dan tak mempedulikan tatapan orang-orang yang melewati mereka.
"Mau gue tonjok sebelah mana biar lo bisa ngomong?" tanya Kenzy yang membuatnya tetap terdiam.
"Tonjok kanan kiri aja, Bos!" Seru salah seorang teman Kenzy.
Seringai tampak menghiasi bibir Kenzy dan berhasil membuat degup jantungnya berpacu lebih cepat.
BUAGH!
Tanpa basa-basi, sebuah tinjuan khas petinju kelas menengah seperti Kenzy berhasil menghantam pipi kirinya. Ia terperosok hingga mencium aspal jalanan. Akan tetapi, itu bukan satu-satunya hal yang membuatnya panik.
Kacamata.
Barang itu terpental. Bahkan terpijak oleh Kenzy dengan sengaja.
Hatinya bergemuruh. Pikirannya menggelap dan menatap Kenzy dengan iba.
Tanpa mengatakan apapun, ia bangkit. Berdiri menunduk dan menyeka tangan Kenzy yang hampir menyentuh pundaknya lagi.
"Gama Hendrawan. Itu nama gue."
Setelah mengatakan sederet nama itu, ia langsung pergi sembari menunduk. Pipinya terasa panas, perih, ditambah lagi dengan kepalanya yang pusing. Kakinya melemas, pandangan menggelap, dan akhirnya ...
Bruk.
****
"Orang tuanya nggak bisa dihubungi?" tanya seorang lelaki paruh baya namun masih tetap tampan. Lelaki yang tampak masih di rentang usia kepala empat itu memasukkan tangannya ke dalam saku jas.
"Nggak bisa, dok. Nomornya nggak aktif. Terus saya telfon nomor terkahir yang dihubungi, katanya mau ke sini, dok."
Seseorang yang dipanggil 'dok' itupun mengangguk lalu meninggalkan siswa yang masih tak sadarkan diri. Ia kemudian visit di ruangan VIP bersama dengan seorang rekam medis dan bidan.
Baru saja ia akan menuju ruang Mawar dimana ada bayi-bayi mungil yang baru saja lahir, seseorang tampak berjalan ke arahnya. Tapi ia tak mempedulikannya dan melanjutkan langkah.
"Dokter Reiki!"
Langkahnya pun terhenti kembali dan melihat seorang perawat berjalan cepat ke arannya dengan tergesa.
"Ada apa?"
"Pasien atas nama Gama Hendrawan sudah sadar tapi dia mau pergi gitu saja, dok. Nggak mau membayar administrasinya."
Reiki—dokter yang sejak tadi sibuk visit pasien itu akhirnya kembali ke ruang IGD untuk menemui anak SMA tadi.
Sesampainya di ruang IGD, seorang anak SMA bernama Gama Hendrawan itu masih duduk di brankar dengan kepala menunduk.
"Gama Hendrawan."
"Iya, dok? Dok, maaf saya tidak ada uang untuk membayar rumah sakit. Saya juga tidak meminta dibawa ke sini. Lagipula—"
"Ya."
Jawaban Reiki yang singkat itu membuat Gama terheran. "Maksudnya bagaimana, dok?"
"Ayah!"
Reiki menoleh seketika. Ia melihat seorang gadis berseragam yang sama dengan Gama tengah berlari ke arahnya.
"Sakura?"
"Ayah, dia teman Sakura. Tolong biayanya nanti tanggung ayah ya." Gadis itu menarik tangan Gama dengan cekatan dan meninggalkan sang ayah yang ber-notabene sebagai dokter di sana.
Reiki hanya terpaku diam. Baru pertama kali, ia melihat anak perempuan bungsunya bersama dengan laki-laki lain.
******
"Lo tau darimana kalau gue ada di rumah sakit?" Gama menyeka dengan kasar tangan Sakura uang sedari tadi menggenggamnya.
Sakura menyodorkan kacamata hitam untuk Gama dan tanpa basa-basi atau gengsi, Gama langsung mengambil kacamata hitam itu lalu memakainya.
Kali ini Gama bisa menatap mata Sakura dan wajah manis keturunan Indonesia-Jepang itu dengan tenang.
"Ada perawat yang nelpon aku tadi. Kan semalam kita habis telfonan. Jadi, mungkin mereka menghubungi kontak terakhir yang ada di daftar panggilan?"
Gama membuang tatapannya ke arah lain saat Sakura menampilkan senyuman dengan gigi gingsul yang membuat senyuman itu semakin manis.
"Hmm, makasih udah bantuin gue. Lain kali nggak usah. Gue nggak mau hutang budi lagi sama lo."
Baru saja Gama akan mengangkat kakinya pergi, Sakura langsung menarik ujung baju seragam Gama.
"Aku suka bantu Gama. Aku suka selalu ada buat Gama. Tapi kenapa Gama nggak suka deket-deket sama aku?"
Gama menyeka tangan Sakura dari bajunya. Tanpa mengatakan apapun, Gama pergi begitu saja.
"Karena gue nggak suka liat mata indah lo."
***
"Kakak! Pasti tadi kakak yang ngerjain Gama, kan? Sakura kan udah bilang, Kak. Jangan ganggu Gama!"
Kenzy hanya melirik adiknya yang hanya terpaut dua tahun itu dengan datar. Kemudian kembali melahap roti bakar buatan ibunya yang menjadi favorit.
"Kak! Ish, kakak kalau Sakura ngomong itu didengerin. Jangan malah makan seenaknya sendiri. Lagian itu Ibu bikin roti bakar buat aku, Kak! Bukan buat kakak!"
Tak mempedulikan ocehan Sakura, Kenzy langsung pergi begitu saja. Namun terhadang oleh seorang wanita paruh baya dengan celemek pink dan membawa sepiring roti bakar lagi.
"Kamu ngerjain adik kelas kamu itu lagi, Ken?" tanya sang ibu—Rhea Dianta.
"Nggak. Cuma iseng doang. Biar dia nggak gangguin Sakura lagi, Bu."
"Bohong! Gama nggak pernah gangguin Sakura, Bu!"
"Haduh, haduh ... Kalian kerjaannya berantem terus. Nggak bosen?"
"Paman, paman ada obat buat sembuhin Kak Ken nggak? Kayaknya Kakak butuh pengobatan mental biar nggak ngerusak mental orang lain." Sakura menjulurkan lidahnya pada Kenzy yang hanya menatapnya datar.
Sedangkan pamannya—Riko—asik melahap roti bakar yang sudah tersaji di meja makan.
"Yang penting kakakmu nggak melukai cowokmu itu, kan?"
"Bukan cowok nya Sakura kok. Kami cuma temen. Tapi kakak melukai loh, Paman! Tadi aja ditonjok sama kakak. Gama pingsan! Dibawa ke rumah sakit sama warga yang lihat."
"Dia pingsan bukan karena tonjokan gue. Lagian lo peduli amat sama dia. Masih ada Frans tuh yang cocok buat lo. Nggak tengil kayak si siapa tuh? Gandi?"
"Gama, Kak! G-A-M-A!"
"Bodo amat. Nggak peduli siapapun namanya. Pokonya dia bakal gue teror terus selama dia masih deketin lo." Kenzy pun akhirnya pergi dengan langkah gontainya menuju kamarnya yang ada di lantai bawah.
"Ish! Kakak!"
"Udah, Ra. Kakakmu cuma gertak doang. Nggak mungkin kakakmu bakal tega nyakitin orang, kan?" Rhea sebagai ibu berusaha untuk menenangkan anak bungsunya itu.
"Iya, Ra. Lagian kalau kamu marah-marah terus ke Kakakmu, rotinya bakal abis Paman makan."
Sakura melotot. "Ibuuuu, roti bakarnya abis lagiiii."
*****
Dua puluh tahun berlalu. Semua kenangan itu masih menggantung di ingatan. Seperti biasa, Rhea akan menatap langit malam yang begitu indah. Menghadirkan rembulan dengan sinarnya yang terang benderang. Merangkul bumi yang terpuruk dalam kegelapan. Memberikan kehangatan di udara yang dingin.
Suara mobil terdengar. Ia langsung melihat ke arah taman dimana ada mobil sang suami sudah terparkir dengan rapi.
Meski sudah berkepala empat, tapi Reiki masih tetap tampan seperti pertama kali bertemu dengannya. Sikap jahil dan menyebalkan nya pun masih tetap sama. Dan sekarang sudah menurun ke anak pertamanya.
Tampak Reiki berjalan menuju pintu utama. Rhea pun langsung keluar kamar untuk menyambut kedatangan sang suami seperti biasa. Dan seperti biasa pula, Reiki akan menanyakan hal yang sama.
"Kamu belum tidur?"
Rhea menggeleng. Sembari memeluk sang suami, Rhea bertanya, "Tadi Sakura ke rumah sakit?"
"Iya, temen cowoknya pingsan di jalan. Ditemu sama warga terus dibawa ke rumah sakit. Kebetulan aku yang jaga di IGD."
"Namanya Gama?"
"Iya. Kenapa?"
Rhea melepas pelukannya. "Kayaknya Gama ini spesial buat Sakura."
"Aku pikir juga gitu."
"Kamu pernah lihat orangnya?"
Reiki menggeleng. "Belum. Anehnya, tadi anak itu menunduk setiap diajak bicara."
"Ayah udah pulang?" Sakura mengintip dari dapur.
"Kamu sejak kapan ada di sana, Ra?" tanya Rhea yang sudah melepas pelukannya pada sang suami.
"Barusan sih, Bu. Tapi Sakura denger ibu sama ayah ngomongin Gama. Jadi, Gama itu punya penyakit mata katanya, Bu. Makanya Gama nggak bisa lepas dari kacamata maupun melihat ke arah sinar matahari, Bu."
Reiki mengernyit. "Sakit mata? Belekan?"
"Nggak tau, Yah."
"Ibu jadi penasaran sama Gama. Coba kamu ajak dia main ke sini."
Sakura terdiam. "Agak susah sih, Bu. Tapi nanti Sakura coba deh."
*****
"Nggak."
"Ayolah, Gama. Sekaliiii aja. Kemarin ayahku udah mau gratisin biaya periksa kamu loh. Kalau nggak mau, nanti kamu bisa dilaporin ke polisi."
Gama melirik gadis yang duduk di depannya. Gadis itu berhasil membuat perpustakaan yang seharusnya sunyi senyap menjadi gaduh karena volume suaranya yang tidak dikecilkan.
Berkali-kali penjaga perpus menegurnya tapi Sakura hanya bertahan berbicara pelan selama satu menit. Selebihnya? Kembali seperti toa.
"Lagipula ayah lo itu bayaran atas tonjokan kakak lo. Gue nggak berhutang budi apa-apa."
Gama menutup komiknya lalu bangkit dari duduk. Ia berjalan menuju rak komik dan mengembalikan komik itu ke tempatnya semula.
Sakura tak berhenti mengejar. Ia terus membuntuti Gama dan berjuang agar Gama mau ke rumahnya.
"Emh, sekali ini aja. Kalau orang tuaku bikin kamu nggak nyaman. Aku nggak akan maksa kamu buat ke rumahku lagi. Plis, Gama. Ini permintaan ibu aku. Bukan permintaanku."
Gama menghela napas pelan. Ia berpikir bahwa gadis yang ada di sisinya kini memang benar-benar terobsesi olehnya.
"Mau bayar gue berapa?"
Sakura membelalakkan matanya.
"Pulang sekolah, seharusnya gue kerja di minimarket sampai malam. Gaji gue di atas tiga juta. Kalau gue ijin demi ke rumah lo, gue bakal kehilangan gaji gue, lo ... berani bayar gue berapa?"
Sakura terdiam. "Aku ada tabungan lima juta sih. Cukup, kan?"
Gama mengernyit kaget. Bahkan candaannya dianggap serius oleh seorang Sakura. "Lo gila, Ra?"
*****
Rumah elegan dengan gaya modern dan tidak terlalu terlihat mewah itu cukup nyaman. Jika dihuni oleh orang tua dan dua anak akan sangat cukup dan longgar. Tidak seperti tempatnya di kontrakan yang hanya satu petak. Cukup diisi oleh satu orang. Bahkan jika ada tamu lebih dari dua orang pasti akan selalu ia alihkan ke warung kaki lima terdekat.
Tawaran lima juta dari Sakura memang menggiurkan. Tapi bukan karena itu ia datang ke kediaman Altezza. Tapi karena ia penasaran apa yang akan dilakukan orang tua Sakura padanya. Hanya sebatas itu. Ia berharap akan mendapat teguran bahkan ancaman dan sejumlah uang untuk menjauhi Sakura. Ia akan dengan senang hati melakukannya.
"Ibuuuu! Ini ada Gama." Dengan semangat dan gembira, Sakura masuk ke dalam rumah dan langsung meneriakkan sederet kalimat.
"Iya." Jawaban itu terdengar dari dapur. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang dengan membawa sepiring roti bakar kesukaan si bungsu.
"Wag, roti bakar!" Matanya berbinar melihat makanan favoritnya. "Gama, ini roti bakar buatan ibuku. Isinya cokelat yang meleleh. Apalagi ditambah sama topping keju. Ah, biasanya juga ibu bikin isi mozarella. Enak banget! Cobain deh."
Gama hanya terdiam. Menatap sosok wanita paruh baya yang ada di depannya. Mereka saling bertatapan. Membuat Sakura mengernyit heran.
"Ibu? Gama?"
"Jadi, kamu yang namanya Gama? Kenalkan, saya Rhea. Ibunya Sakura." Rhea menjulurkan tangannya. Membuat Gama tersadar dan mau tak mau harus menerima uluran tangan seorang wanita berusia sekitar empat puluhan itu.
"Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Gama Hendrawan. Kalau boleh tau, ada apa saya diundang ke rumah ini?"
Rhea terdiam sejenak. Genggaman kedua tangan mereka masih terpaut. Ada sebuah sengatan listrik yang membuat Rhea melihat sekilas film putih abu-abu. Sentuhan ajaibnya kembali bekerja dengan orang yang baru ia kenal ini.
"Saya turut prihatin atas meninggalnya orang tua kamu dua bulan yang lalu."
Sontak Gama menarik tangannya. Sorot matanya meredup. Ia tak mengerti mengapa Rhea tiba-tiba mengatakan itu.
"Ibu?" Sakura menyentuh pundak ibunya. Sakura mengetahui hal itu karena pihak sekolah menggalang dana untuk kematian orang tua Gama. Akan tetapi, Sakura tak pernah menceritakan apapun tentang Gama pada ibunya. Sudah pasti, ibunya akan mengetahui hal itu ketika bertemu dan bersentuhan dengan Gama.
Gama pun langsung menatap Sakura. Seolah menyalahkan Sakura yang menceritakan penderitaan itu pada orang lain.
"Bukan Sakura yang memberitahu saya tentang kedua orang tua kamu. Saya tau, karena saya melihatnya."
Lagi-lagi Gama mengernyit. "Maksudnya?"
Rhea mengangkat tangannya. "Setelah kita bersentuhan, saya bisa melihat masa depan dan masa lalu kamu."
Meski terhalang oleh kacamata hitam, Rhea melihat mata Gama membulat total.
"Saya juga tau, bahwa kita itu ... sama."
******Hallohaaa gaesss
Makasih kalian udah baca cerita gaje ini sampe usaiii. Votment kalian itu support buat aku. Lapyuu
Jangan lupaa, bulan depan aku bawa cerita baru hihiiPaipaii
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Magic Girl
Romance(Romance-Fantasy) ***** "Apa yang lo punya buat gabung di Misi Penculikan Anak ini?" Detektif itu menatap penuh selidik pada seorang gadis Bernama Rhea. "Tekad!" Jawaban naif itu hanya membuat seorang dokter muda terkekeh pelan. "Tekad hanya sekadar...