6 - Ambisi

14.7K 1.1K 77
                                    

Bab 6 – Ambisi

"Sanggup. Apapun gue lakukan, demi menyelamatkan dunia anak-anak. Ambisi gue nggak akan bikin gue takut sama apapun! Lo tau sendiri, kan? Keanehan sekaligus keajaiban yang ada dalam diri gue ini pasti bisa membantu banget!"

Pandu hanya melontarkan tatapan datar.

"Jadi, boleh ya. Please!"

Matanya mengeluarkan jurus andalan, puppy eyes. Tapi hal itu justru membuat Pandu mengalihkan pandangannya karena mungkin merasa risih. "Terserah lo deh."

"Yes!"

*****

"Ayah, makan dulu ya. Pandu udah siapin makanan di meja. Pandu ada kerjaan. Mungkin pulang malam."

Tak ada jawaban dari sosok yang sedari tadi berdiri di depan jendela. Pandu hanya menghembuskan napas pelan. Bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman yang sangat tipis. Setipis keripik yang jika diinjak langsung remuk berkeping-keping.

Ia pun menutup pintu kamar dan bergegas turun. Matanya melirik sekilas ke jam yang sudah melingkar di tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 15.45 dan membuatnya langsung menyambar kunci motornya.

Tapi langkahnya mendadak terhenti. Matanya tersorot ke sebuah figura besar yang tertempel di dinding ruang tengah. Ada seorang lelaki paruh baya duduk di sofa bersama seorang wanita paruh baya di sampingnya. Lalu di belakang keduanya terdapat seorang pemuda menggendong dua anak perempuan kembar berusia sekitar 4 tahun. Ya, itu adalah foto keluarga yang bahagia di masanya. Orang tua yang penyayang, hangat, penuh perhatian. Seorang kakak yang sangat menyayangi kedua adik kembarnya. Tapi itu dulu. Sebelum sebuah kejadian mengerikan yang dalam sekejap mampu merenggut kebahagiaan mereka.

Beberapa tahun yang lalu, saat dirinya masih duduk di bangku SMA. Kejadian mengerikan merenggut nyawa ibu dan kedua adik kembarnya. Bahkan kejadian itu membuat ayahnya terguncang hingga mengalami depresi yang sangat berat. Namun, itu semua justru membuat dirinya menjadi sosok yang ambisius. Ya, ia berambisi untuk menemukan siapa dalang yang ada di balik kejadian yang telah merenggut kebahagiaanya.

Ia bekerja keras paruh waktu saat SMA. Belajar dengan giat hingga mampu masuk dalam anggota detektif seperti sekarang. Itu semua ia lakukan hanya karena ingin memenuhi ambisinya.

"Ibu, Ayah, Jeni, Jena, Pandu akan segera tepati janji Pandu. Kalian sabar sebentar. Karena Pandu udah dapet partner yang berambisi sama kayak Pandu."

Matanya menatap nanar ke figura foto itu. Seolah hatinya kembali teiris pahitnya kenangan yang masih belum bisa ia lupakan. Mungkin ia memang takkan melupakannya. Agar apa yang seharusnya diselesaikan segera terselesaikan. Tentu saja secara hukum. Karena tak ada kriminal yang akan jera tanpa tindakan hukum yang sesuai.

Drrt

Getar ponsel membuat kenangan itu ditepis sementara olehnya.

Rhea D. : Jangan lupa hubungi gue!

Senyumnya terangkat tipis membaca pesan yang baru saja masuk. "Ayah, Ibu, Jena, Jeni, inilah orangnya ... yang berambisi kuat seperti Pandu."

*****

"Anak-anak, keistimewaan, dan keunikan. Itulah target si penculik. Atau bahkan penculik sekaligus pembunuh. Mulai dari kasus pertama, seorang bayi berumur 15 hari. Bayi ini memiliki warna mata yang indah seperti boneka menurut cerita dari perawat dan dokter yang menangani persalinan tersebut. Tapi menurut penyelidikan, bayi tersebut lahir dalam keadaan yang lemah dan sang ibu meninggal karena kehilangan banyak darah. Namun, keanehan di sini, makan sang bayi seperti dibongkar oleh seseorang hingga jasadnya menghilang tanpa jejak. Diduga si penculik itulah dalang di balik hilagnya jasad yang bayi."

Pandu mengangkat tangannya. "Siapa dokter yang menangani sang ibu tersebut?"

"Dokter Devyn."

Ia terlihat berpikir setelah mendengar jawaban sang komandan tim. "Kasus kedua, anak perempuan kembar yang berusia sekitar 4 tahun."

Ya, anak perempuan kembar itu adalah adiknya. Ia terdiam menahan sakit ketika sang komandan tim menceritakan alur kasus hilangnya kedua adiknya tersebut dan terbunuhnya sang ibu bertepatan dengan hilangnya kedua adik kembarnya itu.

Pandu terus terdiam hingga sang komandan mengakhiri rapat hari itu. Rapat yang membahas tentang kasus utama yang harus mereka selesaikan. Karena sudah enam tahun dan setiap tahunnya selalu ada anak-anak yang menghilang tanpa jejak. Mereka hanya berharap, tahun keenam ini takkan ada korban lagi.

"Rhea, lo harus bisa bantu gue menghentikan semua ini," gumamnya seorang diri seelah beberapa anggota keluar dari ruangan. Menyisakan dirinya dan sang komandan. "Dokter Devyn, kenapa selama ini gue baru tau kalau ternyata dia dokter yang menangani ibu dan adiknya Reiki. Kenapa Reiki nggak pernah cerita ke gue?"

****

Pandu menatapnya datar. Melihat sosok berjas putih yang tengah tidur santai di sofa ruangannya. Wajahnya tertutup buku yang bertuliskan '1001 Cara Mengungkap Rahasia Perempuan'. Hal itu membuat Pandu sebagai sahabatnya merasa sedikit heran. Karena ia sangat tau, sosok berjas putih ber-name tag 'Savian Altezza Reiki' itu tak pernah kepo tentang perempuan.

Ia membungkuk. Membuka buku yang menutup wajah Reiki secara perlahan. Dan ...

"Woi!"

Alhasil, si dokter tampan itu terlonjak dari tidurnya dan mendapati Pandu sudah tertawa terpingkal-pingkal. "Anjay, lu kira gue kebo!"

"Emang," jawab Pandu sembari mengerem tawanya dan mengembalikan image juteknya kembali. "Gue mau tanya sama lo tentang sesuatu."

"Ogah. Gue ngantuk."

Melihat Reiki yang kembali menutup wajahnya dengan buku. "Oh, jadi lo pengen buku-buku yang di rak itu gue obrak-abrik?" Sedikit ancaman dari Pandu pun berhasil membuatnya menyerah.

Reiki terduduk dan menatap malas pada Pandu yang sudah mencetak senyum kemenangannya. "Tanya apa?"

"Kenapa lo nggak cerita tentang Dokter Devyn?"

"Maksud lo?" Dahinya mengerut mendengar pertanyaan Pandu. "Oh, tentang persalinan mama gue?" Sambungnya setelah mengingat hal yang memang sengaja tak ia ceritakan pada siapapun.

"That's right."

"Nggak penting kali, Ndu. Buat apa gue cerita tentang itu ke kalian?"

Pandu menghela napas pendek. Ia menyenderkan dirinya ke rak buku dan memijat keningnya pelan. "Bagi kalian mungkin nggak penting. Bagi gue ini informasi yang sangat penting."

*****

Ia merebahkan dirinya di ranjang sembari melihat tempelan-tempelan bintang buatannya di langit-langit kamar. Hari yang cukup melelahkan, namun juga melegakan. Untung saja kasus penculikan yang terjadi kali ini bukanlah kasus penculikan berantai yang sedang panas-panasnya di kota itu.

Saat ia mencoba menutup mata, ia merasakan geli pada jemarinya. "Pus?"

"Meow," sahut kucing itu seolah mengetahui kalau majikannya terbangun.

Rhea pun dengan mata berat bangkit dari rebahannya dan menggendong kucing temuannya itu. Ia menemukan kucing berwarna hitam putih itu di jalanan menuju rumahnya. Mungkin karena merasa kesepian, akhirnya Rhea mengajak kucing itu pulang ke rumah. Setidaknya ia memiliki seorang, ah bukan, seekor teman yang bisa mendengarkan keluh kesahnya setiap saat.

"Pus, tau nggak? Hari ini gue dapet kesempatan buat nyelametin dunia anak-anak dan akhirnya ada satu orang yang tahu keanehan gue. Seenggaknya gue lega bisa cerita tentang kemampuan gue ini ke orang lain," ia tersenyum lega karena dengan kesepakatan siang tadi justru membuat bebannya terasa semakin berkurang.

*****

Hahahahhalooo
Dateng lagi nih tukang spam nya mwehehe..
Gimana? Capek bacanya nggak? Makasih loh udah setia ngevote. Jadinya kan semangat buat bikin story baruuu 😘

Your Magic GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang