Bab 16 - Sentuhan
Rhea dan Reiki mempersilakan dokter tampan itu untuk meninggalkan mereka berdua. Benar-benar terlihat berwibawa dan tetap tampan di usianya yang sudah berkepala tiga. Tak salah kalau banyak staff dan tim medis rumah sakit menyebutnya sebagai dokter tampan saingan Dokter Reiki.
Kepergian Dokter Devyn membuat Rhea kembali terdiam sebelum Reiki duduk di sisinya. "Kenapa lo? Galau mulu. Gara-gara Pandu?"
"Idih! Sotoy!" ketusnya.
"Nih minum," Reiki menyodorkan sekaleng minuman yang ia bawa tadi.
"Makasih," ucap Rhea sekilas lalu membuka sarung tangan kanannya untuk membuka minuman itu.
"Kenapa di lepas?" tanya Reiki saat melihatnya melepas sarung tangan.
"Susah kalo buka kaleng pakai sarung tangan." Reiki hanya meng'oh'kan jawaban Rhea.
Suasana hening beberapa saat. Reiki sibuk melihat tingkah laku anak-anak yang sedang berlarian dengan girangnya bersama perawat-perawat mereka sedangkan Rhea sibuk meneguk minuman itu hingga tetes terakhir.
"Kakak, ayo pulang. Liko ngantuk," rengek Riko sambil berjalan tertatih menuju Rhea dan Reiki berada.
BUGH
"Aduh, kakak ... cakit."
"Ya Tuhan, Riko!" pekik Rhea dan Reiki bersamaan. Mereka berdiri dan langsung berlari menuju Riko yang sudah bersimpuh di tanah karena kakinya tersandung oleh batu. Rhea mencoba membantunya tanpa tahu kalau ternyata Reiki juga ingin membantu keponakannya itu.
Deg!
Tangan lembutnya tak sengaja tersentuh oleh tangan kekar Reiki ketika membantu Riko berdiri.
"Astaga!" sotak Rhea menjauhkan dirinya dari Reiki. Dia menyembunyikan tangannya dan memakai sarung tangannya kembali yang tadi sempat terlupakan setelah membantu Riko bangun. Matanya membulat menatap Reiki seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat tadi.
"Kenapa, Rhe?"
Rhea menggeleng dengan napas yang masih tak beraturan. Ia tak ingin mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Sekilas bayangan hitam putih yang sangat sulit untuk ia percaya.
"Riko, ayo pulang. Rei, gue pamit."
Reiki hanya mengangguk bingung melihat kelakuan Rhea yang mendadak berubah menjadi aneh.
*****
Matanya fokus melihat bintang, tangannya fokus mengelus kucing kesayangan. Tapi pikirannya fokus pada bayangan hitam putih yang tadi siang sempat membuatnya khawatir. sudah kesekian kalinya ia menghembuskan napas berat dan berusaha menyakinkan diri kalau hal itu takkan terjadi. Selama ada usaha, maka semua pasti akan berubah.
"Jangan percaya, Rhe. Jangan," lirihnya penuh harap.
Setiap kali ia merasakan hal yang baginya menakutkan, bayangan mengerikan itu terus bermunculan. Karena itulah ia selalu berusaha menghindari apapun yang bisa membuatnya bersentuhan dengan orang lain. Kecuali anak-anak kecil yang masih belum mengerti akan kejamnya dunia. Anak-anak yang masih bersih dari masa-masa yang mengerikan. Mungkin itu sebabnya, ia lebih memilih pekerjaan sebagai babysitter selama beberapa tahun terakhir.
KLING
Getaran ponselnya membuat lamunannya buyar. Ia pun merogoh ponselnya yang ada di saku jaketnya itu.
"Reiki?"
Bos Rei : Kenapa?
Rhea : Maksud?
Bos Rei : Td siang, On Oon
"Anjay, ngatain gue oon nih anak," kesalnya setelah membaca pesan terbaru dari Reiki.
Bos Rei : Woi
Rhea : bawel. Berisik. Gue mau tidur
Bos Rei : alesan
Rhea sedikit kesal dengan setiap jawaban dari bos besarnya itu. Ingin rasanya ia memaki dan menyuruhnya untuk tidak menganggunya kali ini. Tapi yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memaki dan menyuruh ponselnya untuk diam seolah membayangkan kalau ponselnya itu si Reiki yang begitu menyebalkan.
Rhea : bye
Bos Rei : sialan lu!
Rhea terkekeh kali ini. Pasti bukan hanya dia yang kesal dengan setiap jawaban Reiki tapi Reiki pasti juga merasakan hal yang sama.
"Makan tuh cuek!"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Magic Girl
Romance(Romance-Fantasy) ***** "Apa yang lo punya buat gabung di Misi Penculikan Anak ini?" Detektif itu menatap penuh selidik pada seorang gadis Bernama Rhea. "Tekad!" Jawaban naif itu hanya membuat seorang dokter muda terkekeh pelan. "Tekad hanya sekadar...