30 - Rencana (1)

7.7K 710 99
                                    

Bab 30 - Rencana (1)

PRANG!

"Suara apaan tuh?" gumamnya ketika mendengar sesuatu terjatuh di dapurnya. Rasa penasaran membuat rasa malasnya untuk berdiri hilang. Ia pun menaruh snack yang menjadi temannya berpikir dan langsung beranjak dari ranjang.

Meskipun ada rasa takut di hatinya, namun rasa penasarannya jauh lebih kuat dibanding rasa takut. "Jangan takut, Rhe!" semangatnya untuk dirinya sendiri.

Langkah pelannya terus tertuju ke dapur. Jantungnya sudah berpacu cepat seolah ingin melompat keluar melarikan diri. Pompaan jantung yang terlalu cepat itu akhirnya membuat keringatnya jatuh bercucuran di malam yang dingin.

"Hah! Sialan, kenapa gue jadi penakut gini sih?!" gumamnya sambil menghantikan langkahnya sejenak. Ia menghirup napas dalam-dalam dan menguatkan tekad untuk terus maju. "Apa jangan-jangan ada maling ya?" ia baru teringat dengan hal itu. Sebuah payung yang saat itu berada di sampingnya langsung ia sambar. "Awas aja lo pencuri!" langkahnya pun kembali terangkat menuju dapur.

Saat ia sampai di ambang pintu dapur, payung yang ia genggam jatuh dengan bebas. Matanya membulat total. Detak jantung yang tadi bergetar hebat, sekarang rasanya tercekik oleh udara yang tak bisa keluar. lututnya melemas dan hampir saja ia jatuh bersimpuh. Namun dengan segera, ia menahan dirinya dengan bertumpu meja di sebelahnya.

"Aaarrrrrkkkhhh!!"

Dadanya sudah tak tahan. Ia berteriak menumpahkan segala ketakutannya. Rasa takut yang teramat sangat itu membuatnya mengucurkan air mata. Sesuatu menjijikkan yang sekarang ia pandangi membuat dadanya sakit. Ya, matanya menangkap seekor kucing yang sudah dimutilasi bagian tubuhnya dan disatukan dengan tali seolah membentuk Marionette. Kucing malang itu tergantung di sebelah peralatan masaknya. Bukan hanya itu, lantai dapurnya pun tertulis kalimat yang mengerikan. Kalimat yang sengaja ditulis dengan darah kucing malang itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Siapa sosok yang sudah melakukan hal itu.

"Biadab!" geramnya melihat kata, Kuharap, kucing itu adalah kamu.

Meskipun ia tak kuasa melihat kucing malang itu, namun ia ingin memastikan bahwa kucing itu bukanlah kucingnya. "Pus?" suaranya sedikit bergetar. Ia berharap, kucingnya masih terselamatkan.

"Meow," terdengar jawaban seekor kucing yang sepertinya terjebak di kamar mandi. Sontak Rhea langsung menghampirinya.

"Terima kasih, Tuhan. Pus masih selamat," ia langsung menggendong kucing itu dan keluar dari kamar mandi. "Tapi ... siapa yang berhasil masuk ke rumah gue?"

*****

Semalamam suntuk Rhea menyusun rencana sekaligus mengumpulkan keberanian untuk melakukan rencananya setelah melihat kejadian mengerikan di dapurnya itu. Ia berharap rencananya kali ini akan berhasil menguak siapa Dokter Devyn sebenarnya. Ya, ia yakin, kalau sosok di balik aksi teror semalam adalah si dokter itu. Yang ia lakukan hanya mengikuti rencana awal, yaitu mendekati Dokter Devyn.

Sekarang ia sedang berdiri di depan ruangan Devyn tanpa membawa Riko untuk berjaga-jaga jika terjadi apa-apa dengannya. Ia menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Hampir saja ia mengetuk pintu, seseorang sudah membukanya dari dalam.

"Rhea? Lo mau ngapain di sini?" tanya sosok itu yang ternyata adalah Reiki. Dengan usaha keras, Rhea menutupi kegugupannya. "Jangan bilang kalau lo masih curiga sama Dokter Devyn."

"Ah apaan sih lo! Gue mau pedekate sama Dokter Devyn. Awas!" tanpa menunggu respon dari Reiki, ia langsung menerobos masuk ke dalam dan bertemulah ia dengan dokter itu.

Terlihat senyuman manisnya selalu tersungging di bibirnya dengan sempurna. Senyuman yang mampu menghipnotis setiap pasang mata yang melihat. Tak dapat dipungkiri, bahwa Rhea juga sempat terpesona melihat senyuman manis itu.

"Hai, Dok!" sapanya gugup.

Devyn terkekeh melihat kegugupan Rhea. "Silakan duduk, Rhe. Ada apa?" Rhea menurui perintah Devyn dengan duduk di depannya. Mereka terhalang meja yang bisa menyembunyikan tangannya yang sudah berkeringat.

"Emh, saya mau minta maaf, Dok. Kemarin saya udah menelusup ke rumahnya dokter. Maaf ya, Dok," suaranya bergetar karena kegugupan yang tak dapat ia hindari.

"Lupakan saja masalah itu, Rhe. Saya juga nggak terlalu mikirin kok."

Rhea menghembuskan napas lega dengan jawaban Devyn. Sekarang ia berani menatap kedua mata dokter itu sambil menampilkan sebuah senyuman yang sangat manis.

"Kamu mau minum, Rhe?"

Tepat! Perkiraannya sangat tepat. Dengan menawarkan minuman, pastinya Devyn akan mengambilkan minuman untuknya. Dengan itu, ia bisa melihat segala sesuatu tentang Devyn lewat benda terakhir yang Devyn sentuh.

"Boleh, Dok. Haus, udara siang ini agak beda dari biasanya. Panas!" keluhnya sambil melihat seisi ruangan Devyn yang tampak sedikit berbeda. Ia baru menyadari sesuatu, tak ada jendela di ruangan Devyn. "Dok, kok nggak ada jendelanya?" tanyanya dengan polos. Devyn yang sedang mengambil sebuah minuman untuknya hanya terdiam dan tak menjawab.

"Ini, silakan diminum. Nggak ada racunnya kok," canda Devyn yang terdengar sedikit garing dan menyeramkan.

Rhea terkekeh. "Ah, dokter bisa aja. Mana mungkin seorang dokter nyakitin saya," kekehnya lagi. Namun Devyn hanya tersenyum. Saat ia mengambil minuman itu, tangannya mulai merasakan hal yang aneh. Bayangan itu mulai muncul. Sepertiya ia tepat menyentuh bagian yang tadi di sentuh oleh Devyn.

Keringatnya mulai bercucuran padahal ruangan Devyn berAC dan sangat dingin. kakinya melemas melihat semua itu. Bayangan hitam putih yang sangat jelas. Rasanya ia ingin memuntahkan saja minumaan yang sekarang ia teguk. Namun, ia tak bisa. Ia harus mentaati rencananya sendiri.

Setelah menghabiskan minumannya, ia tersenyum sekilas ke arah Devyn yang sedari tadi menatapnya penuh arti. "Makasih ya, Dok. Minumannya seger."

Devyn mengangguk dan terus menyunggingkan senyumannya.

"Dok, saya permisi ya. Saya lupa kalau Adis nungguin saya. Permisi, Dok."

"Saya tahu kalau kamu tahu, Rhea. Hati-hati di jalan ya," celetuk Devyn saat Rhea hampir saja keluar dari ruangan Devyn. Namun, Rhea sudah tak kuasa berada di ruangan itu. Ia hanya diam dan kemudian keluar dari ruangan Devyn.

Jantungnya berdetak serasa ingin melompat keluar. Ia menarik napas lalu membuangnya, terus menerus melakukan hal itu agar dirinya bisa terkontrol sempurna. Sebelum ia mengatakan semuanya pada tim bala bantuan yang ia susun, ia harus memberitahu tim bala bantuannya itu mengenai kemampuan khususnya. Ia berharap, semua akan berjalan dengan lancar.

*****

"Hah? Ah, ngaco lo, Rhe. Mana mungkin ada kemampuan kayak gitu?"

Malven masih taak percaya dengan kemampuan yang dimiliki oleh Rhea. Adis pun begitu, ia masih kurang yakin jika memang Rhea bisa melakukannya. Namun berbeda dengan Daren yang sudah percaya-percaya saja dengan Rhea.

"Gue percaya sama lo kok, Rhe," kata Daren sambil menunjukkan senyuman termanisnya pada Rhea. Rhea mengacungkan jempolnya pada Daren dan membalas senyuman manis cowok berkacamata itu.

"Sejak kapan lo jadi genit, Ren?" bisik Malven ketika melihat sikap Daren yang sedikit berubah. Tapi Daren tak meresponnya. "Eh, Rhe, emang lo punya bukti apa kalau lo bisa lihat masa lalu dan masa depan?"

****

Your Magic GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang