Bab 35 – Disturbance
Terakhir kali ia melihatnya, ketika ia terbaring lemah penuh darah saat sedang dibawa ke ruang UGD bersama dengan Riko. Setelah itu, ia memutuskan untuk menghilang dari kehidupan keduanya. Ia tak mau membuat keduanya terluka lagi. Meskipun sebenarnya, hatinya sangat berat meninggalkan mereka.
Kepergiannya pun tak diketahui oleh teman-temannya yang lain. Ia sudah benar-benar tak mau bertemu dengan mereka karena ia rasa dirinya adalah beban bagi teman-temannya.
Ia pun juga terbebani dengan kemampuan khususnya itu. Menyentuh seseorang membuatnya takut jika melihat hal yang sebenarnya tak ia inginkan. Seperti saat ia menyentuh Reiki, ia selalu melihat Reiki terkulai lemas penuh darah karenanya. Ia takut. Ia tak kuasa melihat itu semua pada orang yang sebenarnya sudah membuatnya merasakan hal yang berbeda. Tapi ia lega, dengan kemampuannya Tuhan masih membuatnya menjadi sosok yang berguna karena telah mengakhiri kasus penculikan berantai itu. Sekarang ia tak perlu khawatir lagi akan ada Marionette anak-anak baru.
"Gue harap lo bisa jagain Riko, Rei."
*****
"Kuatlah, Rei. Kamu masih bisa berjuang hidup, Nak," Pandu, Malven, Daren, dan Adis hanya bisa menunduk tak kuasa melihat keadaan Reiki sekarang. Ditambah lagi dengan kehadiran papa Reiki yang baru saja selesai dari tugasnya dan disambut dengan keadaan Reiki yang masih terbaring lemah.
Operasinya pun dilakukan oleh papanya sendiri. Papanya masih bersyukur karena pisau yang menusuk Reiki tak mengenai jantung anaknya itu. Hampir saja tergores namun keajaiban Tuhan memang luar biasa. Pasca operasi Reiki belum sadarkan diri. Ia masih dipeluk oleh berbagai alat medis dan terus terbaring memejamkan mata di katil.
"Rhea mana?"
"Waktu itu, selesai gue jahit luka yang ada di lengan kirinya, dia pamit pulang. Setelah itu, dia nggak pernah muncul lagi," Adis menjawab pertanyaan Pandu dengan keheranan sendiri. "Dia ke mana ya?"
"Dis, gue pergi dulu," melihat Pandu terlihat khawatir, Adis tahu perasaan Pandu yang sebenarnya untuk siapa.
*****
"Meow!" suara kucing kesayangannya membuatnya tersadar dari lamunan. Ia kembali memakan mie cup-nya lagi. Padahal sudah dua hari berturut-turut ia menghabiskan beberapa cup tanpa mengganti menu makannya.
Matanya terus tertuju pada TV yang juga sudah menyala selama dua hari. Meskipun matanya menatap ke arah TV, tapi pikirannya pergi ke mana-mana. Jarinya terus memencet channel ke channel tanpa tahu apa yang ia tonton.
"Ish! Sial! Nggak ada acara TV yang bagus!" ucapnya kesal. "Mienya abis lagi."
Ia pun beranjak dari sofa dan berniat membuat mie lagi. Namun ia baru menyadari kalau stok mie cup-nya sudah habis. Jadi terpaksa ia harus pergi ke supermarket untuk membeli stok mie cup-nya lagi.
Setelah memakai jaketnya, ia mengunci pintu dan langsung menuju supermarket. Supermarket yang terletak lumayan jauh dari rumahnya, tak membuatnya menyerah untuk mendapatkan stok mie cup-nya.
"Rhea!" suara itu menghentikan langkah kakinya. Namun sebisa mungkin ia tak mau bertemu lagi dengan orang itu. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah mie cup dan ia harus segera mendapatkannya.
Langkah kakinya ia percepat meski akhirnya langkahnya terhalang oleh sebuah motor yang menutup jalannya. "Kenapa lo menghilang?"
Rhea menunduk tak ingin menatap kedua mata itu. Tanpa mengatakan apapun, Rhea berbalik badan dan mengurung niatnya untuk pergi ke supermarket.
Grep
Sontak lengannya ditahan oleh Pandu hingga tubuhnya terbanting menghadap Pandu dengan paksa. Hingga mau tak mau, Rhea melihat bayangan masa lalu dan masa depan Pandu. Tak dapat dipungkiri, ia pun juga mengetahui perasaan Pandu padanya.
"Sekarang lo paham, kan? Kenapa gue ngejar lo sampai kayak gini?" tanyanya.
"Lepasin," Rhea menyibakkan tangan Pandu hingga terlepas dari lengannya. "Permisi, Ndu."
Pandu hanya bisa diam melihat kepergian Rhea. Dia tahu kalau Rhea akan bersikap seperti itu. Entah karena efek philophobianya atau karena hatinya sudah digetarkan oleh hati yang lain.
*****
Rhea mengunci dirinya di kamar dan ia menangis sekeras-kerasnya di balik bantal. Entah kenapa ia merasa sakit di dalam sana. Kenapa harus ada cinta di antara persahabatan? Kenapa yang ia takutkan selalu terjadi dan membuatnya menjadi beban hidupnya? Bebannya sudah cukup berat setiap kali mengingat kejadian tragis yang menimpa kedua orang tuanya. Kali ini ia tak mau membuat hidupnya penuh dengan beban. Ia tak mau.
"Ibu, Ayah, Rhea udah nggak kuat lagi!" teriaknya dalam tangisnya.
Ia memukul dadanya sedikit keras. Perasaan yang membebaninya itu membuat pikirannya semakin kacau. Ia takut, ia tak mau merasakan hal itu. Kecemasannya masih terus membayanginya. Kejadian itu selalu membuatnya takut untuk merasakan jatuh cinta. Ya, meskipun sebenarnya ia sudah jatuh cinta dengan orang yang tepat.
"Rhea, buka pintunya, Rhe," tiba-tiba suara itu membuatnya terkejut. Bagaimana bsa Adis masuk ke dalam rumahnya. Atau itu hanya hayalannya saja kalau dia sudah benar-benar gila? Ah! Tidak. Itu benar suara Adis. Bukan hanya halusinasinya saja.
"Adis?" lirihnya.
"Iya ini gue, Rhe. Tolong bukain pintunya, gue mau ngomong sesuatu sama lo."
Hatinya pun luluh, ia tak bisa membiarkan Adis ikut kacau memikirkannya. Ia pun membukakan pintu untuk Adis yang datang bersama seorang lelaki paruh baya dan Malven di belakangnya.
"Gue tahu, beban lo sangat berat. Lo mau berbagi beban sama gue, kan?"
*****
Seorang psikolog klinis tengah memberi sebuah pengobatan untuk gadis yang sekarang duduk bersandar di kursi yang sudah disediakan. Selama satu hingga dua jam berlalu, Rhea memejamkan matanya. Tiba-tiba gadis itu menangis, seorang psikolog itu menyuruh Malven, Pandu, Adis, dan Daren untuk tetap tenang. Karena yang dilakukan oleh Rhea sekarang adalah salah satu bentuk untuk mengeluarkan segala beban yang sudah dipikulnya.
Ia mulai menggumamkan sesuatu. Terdengar sama namun mereka berempat masih bisa mendengar kalau Rhea mamanggil seseorang. "Ayah, Ibu, Rhea takut," ia terus-menerus mengulang ucapannya.
"Lebih baik kalian keluar, paman akan berusaha membuatnya bercerita. Paman rasa, Rhea adalah gadis yang tertekan akan beban-bebannya seorang diri."
Mereka berempat mengangguk paham dan kemudian keluar dari ruangan. Meninggalkan Rhea bersama paman Malven yang seorang psikolog klinis.
"Rhea, bangunlah."
Matanya terbuka dan ia langsung mengusap kedua matanya yang sudah basah air mata. "Paman, Rhea mengingat semuanya."
"Ceritakan pada paman. Paman akan merahasiakannya dar siapapun."
"Bayangan itu, aku tahu siapa yang menyebabkan kecelakaan besar yang menimpa keluargaku hingga membuat kedua orang tuaku meninggal. Semua kenangan masa kecilku hingga perginya orang tuaku, aku mengingat semuanya."
"Saya tahu itu, Rhe. Bebanmu sangatlah berat hingga membuat tubuhmu merasa lelah setiap saat. Meskipun kamu anak yang ceria, tapi paman tahu, kamu merasakan penderitaan setiap malam. Kemampuan khusus yang Tuhan berikan padamu itu bukanlah sebuah beban tambahan di hidupmu. Itu adalah sebuah keajaiban di mana kamu bisa membuat hidupmu lebih berguna untuk orang lain," Rhea terdiam menunduk. "Paman juga tahu, bahwa hatimu telah digetarkan oleh seseorang. Tapi otakmu masih menggerakkan tubuhmu untuk tak mengakui perasaan itu. Tuhan menghadiahkan rasa cinta pada setiap manusia, hadiah itu bukan beban. Jangan kamu jadikan jatuh cinta sebagai bebanmu. Jadikan rasa itu sebagai keindahan dari Tuhan untuk melengkapi hidupmu."
"Apa benar gue udah jatuh cinta?"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Magic Girl
Romance(Romance-Fantasy) ***** "Apa yang lo punya buat gabung di Misi Penculikan Anak ini?" Detektif itu menatap penuh selidik pada seorang gadis Bernama Rhea. "Tekad!" Jawaban naif itu hanya membuat seorang dokter muda terkekeh pelan. "Tekad hanya sekadar...