24 - Puzzle

9.9K 701 65
                                    

Bab 24 – Puzzle

"Jawab satu pertanyaan gue sebelum lo masuk ke dalam rumah," Reiki menahan Rhea yang terhimpir antara mobil dan tubuh kekar Reiki yang sengaja menghadangnya.

"Pertanyaan apa lagi?"

"Apa lo beneran nggak lihat apa-apa tentang gue?"

Diam. Gadis itu terdiam. Matanya yang semula menatap lantang kedua mata Reiki, berubah seketika saat hitam putih yang ia lihat itu terputar kembali. Lalu ia terpejam sesaat. "Engga!"

"Huft," napasnya terbuang berat. "Oke, gue percaya."

Sedikit demi sedikit Rhea membuka matanya. Melihat Reiki yang sedari tadi menahan tubuhnya akhirnya berjalan pergi memasuki mobil. "Hati-hati ya, Reiki," gumamnya pelan. Bahkan sangat pelan hingga mungkin telinganya saja yang bisa mendengar itu.

Mobil sport berwarna merah putih itu pun akhirnya menghilang dari pekarangan rumahnya. Ia berdiri lesu. Matanya berair seperti menahan sesuatu di sana. Setiap kali melihat bayangan hitam putih yang sebenarnya tak begitu jelas itu, dirinya merasa takut. Darah, tembakan, pisau, dan seringai menakutkan. Ia tak bisa melihat semuanya dengan jelas. Tapi satu yang pasti, ia tak ingin apa yang ia lihat itu menjadi nyata.

*****

Terik mentari mulai menyengat di kulit. Ia melirik ke jam yang sudah melingkar manis di tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul 12.45. Saat-saat dimana matahari mulai berada tepat di atas kepala dan membuat peluh keringat terus bercucuran. Namun, dengan melihat riangnya Riko bermain bersama teman-temannya, membuat teriknya matahari saat itu tak terlalu ia pedulikan. Karena tawa riang Riko adalah keteduhan yang mendamaikan harinya.

Terlihat Riko sedang berlarian membawa pesawat kertas yang tadi ia buatkan. Beberapa kali Riko terlihat jatuh bangun tapi anak kecil itu tak merengek kesakitan sekalipun. Meski dirinya terus berteriak untuk menyuruh Riko menghampirinya, tapi anak itu selalu menggeleng dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya, Riko jatuh untuk kesekian kalinya dan membuat dirinya harus menghampiri Riko.

Melihat Rhea berjalan ke arahnya, Riko langsung berdiri dan berlari menjauh. Membuat Rhea mau tak mau harus ikut berlarian mengejar lincahnya Riko.

"Riko! Kok malah lari! Kalo sampai kakak nangkep Riko, Riko siap-siap kakak gelitikin ya!" candanya yang membuat Riko tertawa dan menjulurkan lidahnya mengejek. Langkah kecil itu terus berlari dan membuat Rhea terus mengejar si anak kecil itu hingga akhirnya Riko kembali terjatuh. Untuk kali ini, Riko terjatuh karena menabrak seseorang.

"Riko!"

Rhea pun langsung membantu Riko berdiri. Tanpa mempedulikan sosok yang sudah ditabrak oleh anak asuhnya itu.

"Rhea ya?"

Akhirnya suara itu membuatnya menoleh. Karena ia merasa kenal dengan suara yang baru saja memanggil namanya. Ia pun menengok ke atas dan mendapati sosok berjas hitam, bertopi, dan memakai kacamata. Benar-benar rapat hingga orang yang melihat pakaian yang ia kenakan merasa tak nyaman. Ya, Sosok berpakaian aneh itu adalah dokter favoritnya, Dokter Devyn. Dokter Devyn adalah sosok yang ditabrak oleh Riko.

"Dokter Devyn?"

*****

Tak henti-hentinya ia berdecak kagum melihat isi rumah yang lumayan besar untuk ditinggali seorang diri itu. Di setiap dinding rumah itu terdapat pernak-pernik seperti figura lukisan, sertifikat, penghargaan, dan beberapa marionette.

"Suka sama marionette ya, dok?" celetuknya.

Tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun, Rhea juga tak mempedulikan pertanyaannya sendiri. Entah mengapa marionette-marionette itu menyita perhatiannya. Terkesan cantik, unik, namun juga memberi kesan misterius. Seperti sosok yang sekarang membawakannya secangkir teh dan sepiring kue kering untuknya.

"Nih, dimakan dulu kue keringnya. Itu kue buatan saya sendiri."

Rhea hanya mengangguk tersenyum. Riko yang masih ada digandengannya pun ia tarik untuk duduk di sampingnya. Ia mengambilkan sepotong kue kering dan diberikan pada Riko. Sebelum ia melontarkan sebuah pertanyaan yang menggantung di pikirannya.

"Dokter sendirian di sini?" ya, itulah yang sedari tadi ingin sekali ia tanyakan. Mungkin sangat mustahil jika seorang dokter seumuran Devyn belum memiliki seorang pasangan. Apalagi, dokter itu sangat menyukai anak-anak. Tentu saja, dokter tampan itu juga ingin memiliki seorang anak dari darah dagingnya sendiri.

"Ya, saya masih lajang."

What?!

Seperti tersetrum listrik yang volt-nya sangat tinggi hingga membuat seluruh organ di tubuhnyaa tersengat kaget. Bagaimana tidak, seorang dokter seperti Devyn belum memiliki pasangan. Tampan, kaya, baik, ah, perfect. "Hah? Nggak percaya, dok!" elak Rhea yang benar-benar tak mempercayai hal itu.

Devyn hanya terkekeh pelan. "Kenapa? Wajah saya sudah tua ya? Jadi, nggak pantes kalau masih dibilang jomblo?"

"Lah! Bukan gitu, dok. Dokter itu tampan, penghasilan cukup, pokoknya perfect deh! Pasti banyak lah yang mau sama dokter."

Lagi-lagi Devyn hanya terkekeh. "Saya itu mencari yang unik. Seperti kamu, Rhe."

"Hah?"

Untuk kesekian kalinya, Devyn kembali terkekeh. "Hanya bercanda kok. Oh ya, saya dengar dari Dokter Reiki, kamu bekerja sama dia ya?"

"Iya, dok. Jadi babysitter-nya Riko sekaligus jadi Maid-nya Reiki. Huft, dibanding ngurusin Riko, ngurusin Reiki malah lebih sulit, dok," gersahnya tiap kali mengingat kelakuan Reiki dan segala hal merepotkan yang selalu saja Reiki curahkan padanya. "Eh, jangan dibilangin ke Reiki ya, dok," kikuknya setelah mengingat bahwa sekarang ia tengah bercakap dengan sahabat karib bos menyebalkannya itu.

Devyn terkekeh. "Ya, itu adalah keunikannya Reiki. Dia memang banyak tingkah dan selalu menyebalkan. Tapi ... dia juga punya sisi yang berbeda, kan?"

"Emm," Rhea hanya terdiam dan tersenyum sedikit tak mengerti apa yang dimaksud oleh dokter tampan itu.

"Saya dengar, kamu juga kerja sama dengan Pandu ya? Ikut misi mencari penculik berantai itu?"

Rhea mengangguk semangat. "Iya, dok! Saya sama Pandu itu punya misi yang sama. Tapi akhir-akhir ini, kita belum ada info lagi tentang itu. Padahal saya itu udah semangat banget pengen cepet menyelesaikan misi ini dengan sentuhan ajaib!" tiba-tiba saja ia membungkam mulutnya sendiri. Ia merutuki kebodohannya dan memaki-maki mulutnya yang selalu saja kebablasan tanpa rem itu.

"Sentuhan ajaib?"

Your Magic GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang