15. Janji Mas Iyan

3.3K 137 4
                                    

Dapet saran dari salah satu reader untuk menulis dari sudut pandang suami, ibu mertua, dan ayah mertua..

InsyaAllah di part selanjutnya (yang belum tau part ke berapa) author aplikasikan ya..

Untuk part ini masih dari sudut pandang menantu, happy reading :)

***
Malam itu adalah jadwal suamiku kembali ke Tangerang, nyatanya kesepakatan kami nihil, aku di minta lebih lama tinggal seatap dengan mertua.

Kesal dan gusar menjadi satu, karena lagi- lagi aku merasa di bohongi, karena tidak jadi di ajak pulang ke Tangerang, padahal aku sudah semenderita ini.

Waktu itu ba'da isya. Suamiku menggendong Aqso hendak pamitan pada Aqso, suami ku mencium Aqso penuh sayang, namun aku menyerobot. "Udah sini!!", karena aku marah.

Aqso aku ambil alih, dan membawanya ke kamar, ku lihat suamiku kesal karena aku mengambil Aqso dengan paksa. Ia pun menuju kamar ibunya, mungkin ia sedang mengadu, minta kekuatan menghadapi istri sepertiku, dasar suami cengeng!

Tak lama, ibu mertua datang padaku dan mengatakan, "jangan kasar sama anak", begitu katanya, apa?! Apa aku tidak salah dengar, siapa yang lebih kasar?

Justru kamu yang lebih kasar ibu mertua, memang nya aku tidak tau, kamu memukuli Dion karena kenakalannya. Kamu mengunci pintu, dan memukuli Dion seenak nya, anakmu yang baru saja genap 6 tahun, pantas saja anak- anakmu juga kasar dalam berucap, aku yakin karena efek trauma mereka yang kau asuh dengan kasar.

Kamu selalu begitu, semut di seberang lautan kelihatan, sedangkan gajah di pelupuk mata sendiri tak terlihat. Kesalahan orang lain selalu kamu cari- cari, tapi kamu gak sadar atas kesalahan yang sudah kamu perbuat.

Suami ku pun masuk kamar, dan mengelus kepalaku, pertanda dia akan pamit, biasanya aku akan memeluk nya sambil menangis, tapi kali ini tidak! Aku mendengus sebal, aku diam saja, karena aku di bohongi lagi oleh suami sendiri, ya.. wajar dia seperti itu. Karena dia menganggapku anak kecil yang mudah di bohongi.

***
Hari- hari ku lalui dengan menjaga jarak seaman mungkin dengan ibu mertua, biasanya aku akan kirim pesan pada suami ku di Whatsapp

Tapi satu bulan aku tidak menghiraukan pesan- pesan yang ia kirim padaku

Sampai suatu pagi ketika aku sedang berjemur dengan Aqso, "Sya.. ada salam dari mas Iyan," kata ibu mertua.

"Oh iya bu," hanya itu jawabku.

Untuk apa juga dia mengirim salam lewat ibunya, sungguh menyebalkan sekali!

***
"De, kamu jangan diem terus dong sama aku, maafin aku," suami ku mengirim pesan lagi

"Terus aku harus gimana?", jawabku membalas pesannya.

"Ya.. kamu cerita apa gitu," jawabnya

Ckck, cerita? Cerita apa yang bisa kau percaya dari mulut istri mu ini, bukan kah telinga mu selalu di penuhi mulut ibumu? Naif sekali! Aku semakin sebal saja, lagi- lagi aku mengabaikan pesannya dari pada aku tambah emosi dan membalas pesan yang tidak- tidak.

***
Lagi.. di suatu kesempatan..

"De, kamu maafin aku ya.. aku di sini sepi, setiap pulang gak ada orang," pesan suamiku masuk lagi.

Kamu tuh maunya apa sih? Ketahuan sepi, ya udah jemput aku di sini, bodoh banget sih jadi orang, diri kamu sendiri kok yang bikin keadaan kaya gini, sepi di buat- buat. Lagi- lagi aku mengabaikan pesannya. Karena tak mungkin aku cari masalah dengan mengirimkan kata- kata penuh amarah yang berasal dari hatiku.

***
"De.. kamu masih bisa bertahan di sana kan 2 bulan lagi? Nanti aku jemput kamu pulang bareng anak kita," tiba- tiba pesannya masuk lagi, kali ini isinya berbeda.

"Kamu serius?", aku pun membalas nya.

"Iya.. maafin aku ya.. belum bisa ajak kamu pulang secepatnya, nanti usia Aqso sudah 4 bulan, sudah bisa kita bawa pulang," balas suamiku

"Mas.. cuma itu yang aku mau dari kamu, kamu jawab dengan pasti kapan aku pulang, bukan cuma dengan harapan- harapan kosong, Bismillah, dengan senang hati aku bersabar mas, menunggu kamu, dan kita pulang," jawabku senang.

"Iya kamu sabar ya, kalau ada kata- kata yang kamu rasa gak enak untuk di dengar, tutup aja telinga kamu," kata suamiku.

Dan benar saja, aku mempraktekkan hal itu. Ku sumbat telingaku dengan kapas setiap kali ku dengar ibu mertua mengoceh.

***
Pernah suatu pagi, mesin air milik mertua rusak, ayah mertua mengangangkut air dari rumah Budhe Surti ke rumah nya, untuk memenuhi kebutuhan kamar kecil, mandi, dan mencuci pakaian.

Pakaian Aqso sudah banyak, aku pun gerah, sudah berhari- hari menahan diri dari mandi, aku ke kamar kecil hanya untuk pipis saja.

Selesai dari kamar kecil, Imah masuk ke kamarku, dia mengatakan, "mba, kalau pakai air jangan banyak- banyak," astaghfirullah, sejak kapan aku pakai air banyak. Aku saja belum mandi berhari- hari, kontan aku kesal dengan Imah, siapa yang mengajari bocah kecil itu untuk sok dewasa padaku?

Ah, andai saja ada suamiku di sini. Pasti suami ku akan mengambilkan air untuk aku mandi dan mencuci, sayang itu hanya mimpi. Ingin mengadu pada suamiku saja aku malas. Hanya cari masalah saja.

Akhirnya ketika Aqso masih terlelap, aku menyelinap ke rumah Budhe Surti untuk numpang mandi, aku memberikan uang sebagai kompensasi air yang ku pakai, namun Budhe Surti menolak.

Padahal aku tau ia butuh uang, tapi hatinya sungguh mulia, lebih mulia dari ibu mertua ku yang menyuruhku kalau mencuci selalu cepat- cepat.

"Emang nya kenapa Sya mandi di rumah," tanya Budhe Surti.

"Aku ga boleh pakai air banyak- banyak Budhe," jawabku.

"Kata siapa? Besok- besok kalau mau mandi kesini aja ya," jawab Budhe Surti heran.

Aku pun merasa tenang. Terimakasih yaa Allah. Mereka sangat baik

 Mereka sangat baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wahai Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang