14. Jadilah seperti Ikan di Laut

3.6K 137 3
                                    

Esoknya, aku yang mulai tenang dari insiden melarikan diri di tengah malam, aku mulai mencoba menata hatiku kembali.

Hari itu pun ibu mertua berkata padaku di suatu kesempatan, "Sya.. ga boleh kamu bawa anak bayi kaya gitu lagi, meskipun kamu ibunya, kamu bisa di tangkap polisi," katanya..

Dalam hatiku tertawa miris, dan aku hanya bisa membatin, tentu saja aku akan di tangkap polisi, karena kamu lah yang akan melaporkannya, dasar ibu mertua!

***
.
Suamiku masuk ke kamar, "kamu pakai jilbab ya, ayah mau ngomong sama kamu," kata suamiku.
.
Aku tidak merespon, hanya bersiap memakai jilbab ketika dia sudah keluar kamar.

Sebelumnya, aku sudah memohon pada suamiku berkali- kali kalau aku tidak betah, aku ingin pulang ke Tangerang, tapi suami ku tak pernah meladeni permintaanku.
.
Semenjak insiden kabur malam itu, mas Iyan mulai mempertimbangkan keinginanku untuk pulang ke Tangerang, hanya saja aku harus menyetujui opsi darinya, ya.. opsi yang sebenarnya adalah syarat.

Syarat nya adalah aku harus membiarkan Aqso lebih lama di kampung, karena Aqso masih di bawah 2 bulan, tidak mungkin untuk di ajak naik kereta api. Suami ku tidak ingin jadi bahan omongan Bi Suzy dan saudara Ayah yang lain.
.
Bimbang, satu sisi aku butuh ketenangan, aku ingin pulang, sisi lain, aku juga ingin selalu bersama buah hatiku, Aqso, tidak mungkin aku akan bertahan tanpa ada Aqso di sisiku. Bagaimana aku menjalani hari- hariku.
.
Meskipun di kampung, Aqso selalu bersamaku, tidak mungkin di sana aku bisa tenang kalau Aqso tak bersamaku, bayi mungilku, kenapa mereka tega memisahkan kita.
.
Suamiku bisa bicara begitu, karena ia tahu, Aqso bisa mengandalkan susu formula, tapi suamiku tidak tahu, kalau keluarga nya sangat sibuk. Tidak akan ada yang bisa mengurus Aqso sebaik aku, karena aku ibu kandung nya!

Tapi bagaimanapun aku dilema, aku juga ingin pulang, aku sudah tidak sanggup lagi seatap dengan ibu mertua itu.

Aku pun memilih mempacking baju ku kedalam koper sambil menangisi Aqso, "maafkan mama nak," bulir air mataku mengalir.
.
***
Dalam hati ku dag dig dug, aku takut di sidang oleh ayah mertua, selama ini ayah tidak pernah ikut campur masalah rumah tanggaku. Tidak pernah berkomentar saat aku dan mas Iyan bertengkar. Ia bersikap netral.
.
Dengan terlebih dahulu mengucap salam, ayah pun masuk ke kamar yang ku tempati, "Sya.. ayah mau nanya.. mas Iyan ngasih tau ayah, kata mas Iyan kamu mau pulang?", tanya Ayah.
.
"Iya yah.. Aku pilih pulang aja," aku udah bilang sama mas Iyan.
.
"Kalau ayah, bagaimana nyaman nya Alisya aja. Nanti mas Iyan yang menindak lanjuti, hanya saja Ayah di sini merasa tidak enak sama keluarga Alisya di sana, nanti apa kata mereka," ayah mertuaku menyampaikan pendapatnya dengan hati- hati padaku.

Setiap kata yang ia pilih adalah yang terbaik. Yang sama sekali tak akan melukai hatiku.

"Sebenarnya Alisya mau bawa pulang Aqso sekalian yah, Alisya yakin bisa merawat Aqso, di rumah Almarhum Ayah Alisya masih ada kamar, nanti bisa tinggal di sana, kalau di kontrakan Mas Iyan, mungkin agak panas yah," jawabku pada ayah mertua

"Alisya udah ga betah yah di sini, sejujurnya Alisya di sini selalu di judge yah, Alisya selalu di salahkan, Mas Iyan kalau ada apa- apa cerita ke Mawar, jadi Alisya merasa buruk sekali di mata mereka yah," untuk pertama kalinya aku berusaha jujur tentang tekanan batin yang ku rasakan.

Tapi aku tidak berani, kalau membawa nama ibu mertua terseret dalam masalah ini, aku masih akan menjaga nama baiknya di depan ayah mertua ku.

"Pertama- tama ayah minta maaf kalau ada yang gak berkenan di hati Alisya dan membuat Alisya gak nyaman, maafkan anak- anak Ayah, Mawar, dan adik- adik yang kecil, karena adik- adik suka mengganggu Aqso," kata ayah mertuaku mengakui kesalahan anak- anaknya

Bahkan ia sampai tau juga kelakuan anak- anak nya yang kecil, permintaan maaf nya membuat air mataku menetes, aku malu padanya, sudah menumpang di rumahnya, sudah di bantu olehnya, tapi masih juga ia yang minta maaf padaku

Aku masih ingat ketika ayah mertua mengantarku ke puskesmas untuk periksa kehamilan Aqso, ia mengantarku seperti ayah kandung ku yang mengantar, kasih sayang nya tidak ada bedanya dengan ayah kandung ku.

"Sya.. jadilah seperti ikan di laut, yang tidak akan ikut asin, tidak terpengaruh meskipun airnya asin,"

"Begitu juga kehidupan ini, kalau orang lain membicarakan keburukan Alisya, jangan di ambil hati, jangan terpengaruh, tetap lah berbuat baik, karena suami akan suka pada istri yang lembut," pesan ayah mertua yang akan selalu ku ingat selamanya.

"Iya yah.. ketika aku tinggal di Tangerang, bersama mas Iyan, kami jarang bertengkar seperti di sini yah, aku malu sama ayah, karena sering bertengkar sama mas Iyan di sini", kataku jujur.

"Iya Sya.. dulu awal- awal menikah ayah juga sering berantem sama ibu, apalagi masih tinggal deket saudara, ibu juga gak betah, makanya ayah sangat menjaga perasaan ibu waktu itu dan memilih pindah," jelas Ayah mertua.

Oh, rupanya dulu ibu mertua pernah ada di posisiku, tapi suami nya yang ada di hadapanku sekarang ini, begitu memperhatikan nya, mempedulikannya, berbeda sekali dengan anaknya, yaitu suamiku sendiri.

Hei ibu mertua, jika kamu tau rasanya tak enak jadi menantu, harus nya kamu belajar dari masa lalu kamu, untuk tidak bersikap jahat padaku, tapi kau malah menjadikan ku pembalasan atas sikap yang kau terima dulu dari ipar- iparmu!

Ibu mertua sungguh sangat berbeda dengan ayah mertua.

Aku jadi teringat dulu, ketika ayah mertua melamarku untuk anaknya, kata- katanya yang membuatku terpana.

Dia bilang, "proses mereka berdua sudah sangat baik, alangkah baiknya jika pernikahan nya segera di laksanakan," padahal itu adalah pertama kalinya aku melihat ayah mertua. Dan pertama kali juga ayah mertua datang ke rumahku, dan langsung memintaku untuk Mas Iyan.

Ya, sebelumnya aku pernah bertemu Mas Iyan sekali, di kawasan Tangerang City Mall, untuk nadzor (tatap muka), sekaligus membicarakan visi misi kedepan, karena kami berkenalan hanya lewat CV. Ya.. tepat sekali, kami menjalankan proses ta'aruf.

Di pertemuan kedua, mas Iyan datang membawa ayahnya langsung mengkhitbahku (melamar).

Dalam proses ta'aruf pun aku tidak ingin mas Iyan mengirimkan pesan langsung padaku sebelum tiba akad nikah, kami membicarakan teknis pernikahan selalu via Grup Chat, yang di dalamnya ada ustaadz yang menjodohkan kami.

Ya.. ayah mertua.. dia selalu membuatku kagum padanya melalui sikap dan kata- katanya, ilmu yang dia miliki, sesuai dengan sikapnya.

Aku kagum sejak pertama kali dan sampai hari ini. Dan aku yakin tidak akan berubah.

Wahai Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang