Entah mengapa, situasi semakin memburuk ketika suami ku di sini (rumah orang tuanya), ada saja masalah, lebih baik kami LDR saja, meskipun sakit hati karena perilaku ibu mertua yang selalu menyalahkan aku, aku bisa menahannya, kalau ada suami, rasanya aku ingin selalu melampiaskan semua amarahku kepadanya, karena aku sudah tidak betah di sini dan dia tidak mau mengerti apa yang kurasakan.
.
Malam ini suami tidak masuk ke kamarku, tidur dimana dia? Apa dia mau mengulangi kejadian tempo hari, waktu aku berlari- lari tengah malam di jalan warga dengan perut yang besar.
.
Aku segera mencari keluar kamar, ternyata dia tidur di ruang tamu, tidur berhadapan dengan adiknya Ferry, sambil bermain hape, sebenar nya aku cukup sulit membedakan mana suamiku, karena ruang tamu di padamkan lampunya, ditambah Ferry hampir mirip dengan suamiku, hanya saja dia berkulit sawo matang, sedangkan kulit suamiku lebih putih.
.
"Mas, aku gak bisa tidur," kataku pada suamiku, meskipun aku belum tau suamiku yang mana."Ia entar aku pindah," jawab nya, sudah bisa ku pastikan suamiku ada di sebelah kanan
Aku pun masuk lagi ke kamar, lama aku menunggu, akhirnya suamiku masuk, namun aku ingin menemani suamiku tidur di bawah, karena di ranjang atas ada Aqso dan hanya muat untuk ukuran bayi satu orang dan org dewasa satu orang, makanya suamiku selalu tidur di bawah beralaskan kasur dan bantal seadanya.
.
Aku pun turun ke bawah, tidur di samping suamiku, namun ia malah marah, "kamu ke atas, nanti masuk angin," ucapnya sewot.
.
"Ga mau," kataku, tetap pada pendirian"Kenapa sih, kalo di bilangin gak pernah nurut? Jangan salahin aku kalau aku pindah ke depan lagi!", kata suamiku.
Lagi- lagi aku menahan tangis, dan aku tetap memejamkan mata tidur di bawah, dia pun mendengus sebal, langsung membuka pintu.
Aku bangkit dari tidurku, lalu memegang kakinya, "jangan keluar mas," aku mengiba padanya.
"Awas!", ia menyingkirkan tanganku secara kasar.
Aku pun menangis, "liat aja, kalau kamu keluar, aku bawa kabur Aqso sekarang juga," ucapku mengancamnya.
Tapi dia tak peduli, dan tetap melangkah keluar kamar.
Aku emosi dan menangis, malam itu pukul 02.00 malam.
Aku melihat Aqso yang masih terbedong tidur dengan lelapnya, aku pun membopong Aqso perlahan, dan aku segera melarikan diri lewat pintu belakang.
Bayangan ku yang sekelebatan, membuat suamiku memanggilku, "heh! mau kemana itu!!"
Ku pikir ini juga salah satu kesempatan emas ku, untuk lari dari ibu mertua yang sudah jahat itu, aku akan bebas dari sini, meskipun aku belum tau mau kemana.
Namun aku tetap berlari dengan nafas terengah- engah, sambil sesekali melihat kebelakang, ternyata benar saja suamiku mengejarku. Larinya lebih cepat dari pada langkahku.
Sebentar lagi langkah ku sampai ke pinggir jalan raya, sebenarnya rencana ini sudah ku pikirkan jauh- jauh hari, aku akan menumpang kendaraan apapun. Asalkan aku bisa lari dari neraka itu, dan kurasa ini waktu yang tepat untuk merealisasikan rencanaku.
Ketika sampai jembatan kecil, yang di bawahnya mengalir sungai, lariku kalah cepat, suamiku sudah ada di depanku, mencegatku.
Aku hanya bisa teriak sambil menangis, "sana kamu! Ini anak aku, bukan anak kamu!", sungguh aku sangat membenci suamiku.
Melihat sungai di bawah, aku merasakan ada yang membisikan ku untuk menjatuhkan Aqso ke sungai.
Dan hampir saja aku akan melakukannya, belakangan aku sadar, aku yakin itu adalah bisikan setan yang menguasaiku dalam amarah. Mana mungkin aku tega memceburkan bayi ku sendiri yang sangat ku sayangi, aku sangat menyesal hampir melakukan hal itu
Rupanya suami ku tidak sendirian, dia mengejarku bersama ayah mertua, suamiku langsung mengambil Aqso dariku, dan memberikan nya pada Ayah mertua, "ayah, tolong bawa Aqso yah," pinta suamiku.
Aku yang masih berteriak- teriak di tengah jalan, segera di tangkap oleh suamiku. Suamiku memegangi tanganku keras sekali.
"Sana kamu, itu bukan anak kamu, bahkan pas aku ngelahirin kamu gak ada, itu anak aku, bukan anak kamu, kamu gak tau apa- apa," aku menangis sambil berteriak, namun suamiku membekap mulut ku, agar tidak ada tetangga yang dengar.
Sesampainya di rumah, anakku di ambil alih ibu Mertua, di beri banyak selimut, katanya anakku kedinginan, sungguh hatiku teriris dan merasa bersalah. Tapi semua kesalahan ini berawal dari suamiku, dari kesalahan mereka!
Sedangkan aku di dorong begitu saja oleh suamiku di depan ibu mertua, Mas Iyan memang kasar kalau dikuasai amarah.
Lalu aku masuk ke kamarku sambil meringkuk, menangisi nasibku yang malang ini, dan ibu mertua masuk ke kamarku, "kamu kenapa Sya? Cerita sama ibu," katanya.
Aku hanya bisa membatin, justru ini karenamu! Lagi- lagi aku tidak bisa mengatakannya, aku hanya mengabaikannya, dan melanjutkan menangisi diriku yang seperti narapidana gagal melarikan diri dari penjara.
Aku malam itu benar- benar sudah gila sepertinya, aku depresi, karena suamiku selalu membela ibunya dan selalu menyalahkan aku, padahal aku butuh perlindungan nya di saat orang lain tengah menginjak- injak aku, namun dia sama sekali tak mau mendengarkan aku setiap kali aku bicara kenyataan buruk tentang ibunya.
Kau berbakti pada ibumu, sampai kau buta, percuma saja kau berbakti, jika aku yang kau jadikan korban, kau dzolimi aku, karena kau sama sekali tak ingat aku yang sudah bertaruh hidup dan mati untuk melahirkan anakmu.
Harusnya kamu bisa jadi suami bijaksana, hanya itu yang aku harapkan dalam keterpurukan ini.
Setelah itu, suamiku masuk kamar, membangunkan ku yang sedang meringkuk, lalu mengajak ku tidur di atas ranjang Aqso dan memelukku, menghapus air mataku.
Saat itu aku masih saja menangis, "aku gak butuh apa- apa mas, aku cuma butuh kamu," kataku.
Diapun mengelus- elus pundakku, sedangkan wajahku menghadap dadanya yang bidang, "mana Aqso mas," tanyaku mengkhawatirkan anakku.
"Aqso lagi di jaga Ibu," katanya,
"Tapi aku mau Aqso disini mas," pintaku.
"Gapapa.. malam ini aku yang tidur deket kamu," kata suamiku.
Aku pun melanjutkan pelukan ku pada suamiku, tangisan ku perlahan mulai mereda, aku lelap tidur hingga subuh tiba.
Tidur yang nyaman di dalam pelukan, selepas derita yang aku rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wahai Ibu Mertua
Ficção GeralSelepas menikah suamiku berkata, "Jika kelak salah satu diantara kita ada masalah, jangan cerita ke masing- masing keluarga kita ya, karena hanya akan menambah masalah menjadi besar", ia mengatakannya saat kami sedang makan diluar, makan Bubur Cakwe...