Mate in You

Selamat Tinggal, Kamu.

Kamu tahu?
Aku sadar begitu banyak hal berharga yang aku lewatkan saat aku ada di masa mengagungkanmu. Betapa aku mengabaikan indahnya Allah, karena dihalau dirimu. Hingga aku, menjadikanmu Tuhan-bukan dalam arti yang sebenarnya.

Bodoh, ya?
Menyesali kenyataan jika kamu yang aku perjuangkan mati-matian, sampai aku lupa harga diri, lupa waktu, jadi manusia nokturnal, dan lupa keteguhan imanku, ternyata hanya awan magelhaens yang dihadirkan Allah untuk menyinggung awan lembayung-Nya.

Aku ingin marah.
Teriak.
Mengutukimu.
Atau bahkan mendoakan kerobohan masa depanmu.

Aku ingin melakukannya.
Lalu, aku tersadar lagi. Kamu tidak bersalah. Tidak pernah bersalah. Sejak awal, aku yang bertindak di luar batas. Sampai tanpa sadar, aku menutupi kebodohanku dengan menganggapmu bodoh karena menyia-nyiakan aku. Padahal, aku yang bodoh karena tidak bisa menghargai diriku sendiri.

Kamu tahu?
Sejauh ini, setelah aku sadar sepenuhnya. Hati kecilku yang murni masih tidak kuat menghapus benciku padamu. Tapi di balik itu, aku bersyukur rasa benci menjadi satu-satunya kekuatan untuk meluluhlantakkan rasa kagumku.
Benciku menguburnya hingga ke dalam lapisan terbawah jiwaku.
Benciku merontokkan tulang-tulangnya sampai kagum itu termakan sendiri tanpa sisa.
Benciku sangat berjasa.

Jadi, aku sama sekali tidak berharap bertemu denganmu lagi. Baik itu secara tidak sengaja atau terencana. Aku tidak ingin benciku bertambah besar. Sudah cukup benciku yang sekarang ini.
Benciku yang membuatmu tidak bisa menguasaiku lagi sebesar apa pun usahamu.
Benciku yang membuatku berhasil menjaga imanku dan waktu berhargaku.
Tapi, jika suatu saat nanti kita bertemu, pegang kata-kataku.

Aku. Akan. Melihatmu. Sebagai. 'Kamu.' Yang. Baru.

Tidak ada kagum.

Tidak peduli sekeras apa waktu membuatku mengingat masa lalu.

Kamu sudah hancur seutuhnya.

Aku bersumpah. Demi Allah.

-Untuk awan magelhaens (kamu)  yang sudah ditelan black hole.