Dua Matahari

21 0 0
                                    

Dalam perjalanan berangkat ke Kebumen pekan lalu, pemandangan malam membuatku menjadi super melankolis.

Malam dengan aku bersinar di langit. Aku, Sang Bulan.
Bersinar dari cahayamu, Matahari.
Namun aku, juga punya Milkyway di sepanjang malam.

Saat dengan Matahari, rasanya seperti mencoba mendengarkan musik klasik di radio tanpa antena. Aku bisa menekan tombol itu bolak-balik dengan semua lagu yg dia inginkan, tetapi cuma aku yang statis. Cuma aku yg tidak merasakan lagunya dan sibuk mengatur pola detak jantung yang berantakan.
Tapi, saat aku bersama Milkyway, aku hanya duduk, mulai berbicara, dan Sonata Beethoven akan mulai dimainkan. Dengan sinyal paling kuat dan antena terbaik di dunia.

Hanya saja dengan Milkyway, aku tidak berdebar. Sedikit pun tidak.

Keduanya benar-benar tidak realistis.
Milkyway yang membuat nyenyak sepanjang malam, adalah perasaan sepihaknya dengan Bulan. Begitu pula dengan perasaan sepihak Bulan kepada Matahari.
Waktu istirahat Bulan setelah ujian panjangnya, membuatnya teralihkan oleh cinta. Bulan yakin bahwa yang membuat hatinya berdebar bukanlah sosok yang akan bersamanya. Namun, Milkyway tidak mampu menepis jika Bulan yang paling yakin sekali pun tetaplah berputar pada porosnya. Tidak mampu memutarbalikkan siang dan malam menjadi satu waktu, termasuk tidak bisa memutarbalikkan cintanya.

Bulan sudah yakin.
Seandainya dia tidak membuat perumpamaan benda-benda luar angkasa sekali pun,
pasti ada dua matahari di dunia ini.



- 05.27, ini sudah menjelang pagi. Bulan kembali menjadi manusia.

Mate in YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang