Bila Diminta Jujur

28 0 0
                                    

Aku sejak awal bertemu, memang berencana untuk jatuh cinta padamu. Karena aku butuh kamu, untuk segala hal yang membuatku tertahan di masa lalu.
Lalu, setelah jatuh cinta, alasannya jadi berubah. Menjadi, "Karena aku, sungguh menginginkan kamu."

Dan patah hati karena kamu itu, sungguh di luar kendaliku.
Maka hukuman terberat yang kuterima adalah, aku harus belajar untuk melepas seseorang yang membuatku mengucapkan "semoga" setiap saat, yang membuat setiap masalah kalah dan berganti dengan bahagia merekah.
Dan hukuman terberat yang kamu terima adalah, kamu tidak akan menemukan aku lagi sebagai "aku yang apa adanya." Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tidak bisa.
Kamu tahu, kenapa sampai di akhir kemarin, aku tidak mengendalikan emosi? Aku bisa mengendalikannya. Aku bisa tidak peduli lagi dan mengabaikan apa yang kulihat. Aku bisa. Tapi, tidak kulakukan.
Karena aku ingin kamu tahu, kalau aku sedang patah berkeping-keping ketika kamu sedang merencanakan berbagai momen penting. Aku sudah tahu hari itu akan benar-benar jadi selamat tinggal. Maka, pikirku kenapa aku harus kalem, santuy, dan diam damai jika aku bisa memilih bawel, cerewet, dan cemburu sebagai sarana mengajakmu berkomunikasi. Aku tidak ingin membuatmu tenang di hari itu dan esoknya. Karena aku tahu, aku sendirian, dan kamu tidak. Dan itu memilukan.
Aku ingin kamu tahu jika setelah itu, aku tidak melakukan setiap hal dengan baik. Semuanya berantakan. Jam tidurku, makanku, dan kegiatanku.
Jadi aku, menunjukkan tindakanku itu sebagai ungkapan lain dari, "Aku sayang banget sama kamu tahu!"
Gapapa, kan? Aku hanya ingin menjadi aku yang sebenarnya saat perpisahan.

Ya. Aku hanya terlalu sederhana. Semua yang kamu lakukan padaku, adalah yang pertama kali aku rasakan.
Pertama kali, ada yang bilang:
"Tidak ada yang akan dapat 'itu' semua, Yas. Kamu tidak akan aku lepaskan. Mengerti?"
"Aku tertarik mau ke Lombok. Tapi, diizinkan tidak oleh ayahmu?"
"InsyaAllah sama aku, Cinta."
"Kangen."
"Mau ketemu."
"Karena aku mau sama kamu. Aku butuh kamu!"
Dan lainnya.

Menurutmu, apakah aku salah menafsirkan semuanya sebagai satu kesatuan jika kamu akan bersamaku? Aku tahu, tidak semua yang direncanakan akan sesuai dengan yang diharapkan, tapi bukankah kata-katamu itu terlalu membahagiakan?
Atau, hanya aku yang berlebihan?
Semoga kamu belum menghapus semua pembicaraan kita. Karena kamu memang benar mengirimkan semuanya padaku.

Maaf ya. Aku membuatmu lelah bahkan di saat terakhir. Setidaknya "bawelku" mewarnai perjalananmu, ehehe.
Terima kasih, kamu :)
Sudah menjelaskan semuanya.
Sudah menjalani semuanya dengan sungguh-sungguh bersamaku.
Terima kasih, sudah menerangkan kesalahpahamanku.
Terima kasih, sudah berbesar hati mau menolongku dan memaafkanku.

Aku banyak introspeksi diri setelah Selasa lalu. Aku melakukan meditasi sampai pagi. Dan aku sudah berdamai dengan luka-lukaku.
Kita kenal dan pernah dekat, maka selesai pun harus dengan baik-baik.
Walau jujur, tidak ada yang baik di hatiku setelah melepasmu. Berat sekali :')
Tapi, pilihanmu memang yang terbaik.
Memang berat, memang sangat menamparku, memang menjadikan pelajaran, memang mengajariku agar semakin dewasa.

Dan setelah memutuskan untuk berdamai dan kembali menghubungimu, aku bersyukur.
Ini bukan akhir. Ini bukan selamat tinggal. Ini hanya, pelajaran. Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan selain diri-Nya.
Aku harus tetap berjalan dan cepat berdamai dengan lukaku, untuk melindungi diriku sendiri.

Aku bersyukur.
Bahwa, kehilangan kamu... adalah kemenangan terbesarku.

-04.17, tidak tahu kenapa, rasanya belum beres kalau aku belum mengucapkan kata-kata di atas.
Kalau mengirim langsung, aku yang tidak nyaman.
Setelah membaca ini, kita harus tetap berkawan. Dan btw, aku memang sungguh butuh bantuanmu 😁🙏

Mate in YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang