Taka dan Bayong tengah berkumpul di depan kelas sepuluh. Seperti biasa mereka membuat keributan dengan bernyanyi.
Taka bertindak sebagai vokalis dengan gitar sapu ditangannya.
Bayong memainkan drum dari botol plastik yang ia dapatkan dari malak adik kelas.Ini adalah rutinatas setelah bel istirahat berbunyi. Kenapa mereka berkumpul didepan kelas itu? Karena kelas sepuluh banyak adik kelas yang masih polos dan imut kata bayong.
Firman yang notabennya junior mereka selalu menyediakan tempat untuk mengadakan konser dadakan.Keriuhan mulai surut saat mereka melihat Ali berjalan tergesa dengan wajah yang mungkin semua orang bisa menebaknya. Dia sedang marah kali ini.
Keadaan itu memancing rasa penasaran anak buah Ali yang tengah berkumpul."Li, lo mo kemana?"
Menghiraukan panggilan Taka, Ali terus berjalan menuju ruangan musik, diikuti oleh Rendra dibelakangnya.Saat setelah sampai, Ali memandang sebentar pintu ruangan yang dulu menyimpan banyak luka dihidupnya.
Dengan satu sentakan kaki pintu itu dengan mudah terbuka, menampilkan sosok Dinda dan juga Juna yang ada didalamnya.Mata Ali memerah menahan kekesalan.
Cukup sudah. kesabarannya telah hilang, saat mengingat Dindalah akar dari semua permasalahan dengan Prilly bahkan dengan dirinya sendiri."Lo_!!!"
Ucapan Ali tertahan dengan telunjuknya yang masih mengudara didepan wajah Dinda.
Dinda sudah pucat pasi menghadapi seorang Ali kali ini.
Dia tahu kesalahannya, tapi dia memiliki niat baik untuk itu."MAO LO APA, HAH!!!?"
Dinda masih mematung menatap Ali.
Rendra yang melihat itu hanya diam dan menyenderkan dirinya ditembok ruangan.
Dia juga melihat abangnya dengan gadis itu."Gue udah bilang sama lo jangan pernah ikut campur dan berusaha bikin gue balik ke tempat ini, tapi lo gak pernah dengerin gue!!'' Ali masih berteriak membuat juna maju selangkah namun Dinda menahannya dalam diam.
"Dan sekarang lo libatin cewek gue, otak lo dimana!!!'
"JAWAB GUE!!!"
Buukkkkk!!!.
Ali tersungkur tepat dipinggiran sofa saat dengan tiba-tiba Juna melayangkan bugemannya tepat di kepala anak itu.
Rendra melihat tajam atas tindakan abangnya.
Disana juga terdapat anak buah Ali yang mengawasi dari luar ruangan.
Mereka semua serempak akan masuk namun tangan Rendra mengisyaratkan untuk diam."Bangun lo!!"
Juna berdiri didepan Dinda yang tak mampu berkata, gadis itu menutup mulutnya menahan tangis menyaksikan apa yang terjadi.Ali merasakan pening yang luar biasa dikepalanya.
Dia menahan tubuhnya dengan satu tangan, tangan yang lainnya ia gunakan menyentuh pelipis yang sedikit nyeri.
Dia lupa kalau Juna memiliki keahlian tedo di sekolah itu.Ali bangun, dan melirik sekilas berbalik dengan cepat. Dengan gerakan memutar dia langsung menendang perut Juna.
Pemuda itu langsung terjatuh mendapat serangan balik yang tiba-tiba.Dinda berteriak melihat itu, karena Juna terpental didepan matanya.
Meskipun Ali bukan seorang petarung tapi dia memiliki keahlian dalam berkelahi.Juna bangun dengan masih meremas perutnya. Dia merasakan sakit yang amat sangat mendapat tendangan dari Ali.
"Jangan pernah ikut campur urusan gue"
Sinis Ali.Kini Juna telah berdiri tegak, dia tersenyum miring melihat Ali.
"Gue gak suka sama banci yang berteriak didepan perempuan"
Juna mendengus masih dengan senyum sinisnya.
"Apa lo lupa, kalo lo dilahirin dari seorang perempuan?!"Ali terdiam mendengar ucapan monohok Juna.
Anak itu memang terkesan dingin dan juga bermulut pedas. Tidak berbeda jauh dengan adiknya, Rendra.Setelah mengucapkan itu, Juna berlalu dengan membawa Dinda bersamanya.
Ali berdiri kaku. Dia lupa dengan tujuan awalnya.Ucapan Juna mengingatkan sesuatu yang selama ini tidak ia sadari.
Apa benar dia terlalu kasar bila berbicara dengan seorang perempuan.
Bagaimana dengan gadisnya, dia selalu berteriak bila menyangkut musik.
Oh, Ali melupakan itu.
Juna benar, tidak seharusnya dia berteriak didepan perempuan. Karena mereka adalah makhluk Tuhan yang paling sensitif.Ali merebahkan tubuhnya di sofa, mengingat kembali bagaimana dia selalu berteriak kepada Prilly setiap gadis itu membahas tentang sesuatu yang tidak ia sukai.
Rendra yang mengerti keadaan Ali meninggalkan sahabatnya itu. Dia menutup pintu dan menyuruh semua siswa untuk membubarkan diri.
Ali menekan kepalanya dengan jari, bekas tonjokan juna sangatlah sakit, seakan ada sesuatu yang terus memberontak dalam otaknya.
Menghembuskan nafas perlahan, dia menggeleng cepat. Mungkin dengan begitu rasa nyeri akan sedikit menghilang pikirnya.***
Prilly berjalan santai saat sekolah telah dipulangkan.
keisya hari ini ijin, membuat Prilly harus melakukan semuanya sendiri , entah kemana anak itu.Pikirannya mengulang saat tanpa sengaja dia mendengar beberapa siswa yang mengatakan bahwa Ali sempat berkelahi di ruang musik saat istirahat tadi. Sebenarnya dia ingin melihat keadaan Ali, namun hatinya menyuruh untuk jangan.
Dia pikir Ali masih marah padanya.
Biarlah, dia tidak mau mengganggu anak itu dulu.Royan tersenyum melihat Prilly yang berjalan tanpa melihat kedepan. Sepertinya gadis itu tengah melamun.
Tanpa sadar Prilly melewati Royan yang duduk di atas motor didepan gerbang. Membuat Royan gemas sendiri."Eh ehh!"
Prilly berjalan mundur saat tas miliknya ditarik dari belakang oleh Royan."Lo mo kemanaaa?"
Prilly refleks memukul lengan Royan saat mengetahui siapa yang melakukannya.
Roy tekekeh pelan melihat wajah kesal Prilly yang seakan menggemaskan. Pantas saja sahabatnya tergila-gila pada gadis ini pikirnya."Ihh, kak Royan kenapa sih selalu muncul tiba-tiba" Kesal Prilly
"Lo yang kenapa? Tiap kali gue liat tu muka selalu kusut" Prilly terdiam tanpa berniat untuk menjawab.
Royan yang melihat itu langsung memberikan helm yang ia ambil dari motor lalu menyerahkannya pada Prilly."Buat apaan?!"
"Buat lo pakek lah! Cepetan naik!"
"Aduh kak, aku naik taksi aja deh" Prilly menolak saat mengetahui niat Royan.
Royan menghela nafas, dia turun lagi dari motornya.
"Lo mo belajar musik kan?"
Prilly mengangguk."Dan lo butuh alat musik buat lo belajar dirumah?"
Lagi-lagi Prilly mengangguk."Makannya cepetan naik!"
Roy mulai kehilangan kesabarannya melihat respon Prilly yang sepertinya masih belum mengerti.Lagi-lagi Roy turun dari motornya.
"Sekarang lo ikut gue, gue bakal ajak lo buat beli gitar yang lo mau"Seketika senyum Prilly terbit mendengar nama gitar, alat musik kesukaannya.
Dengan segera dia berjalan meninggalkan Royan menuju motor yang terparkir didepannya."Cepetan kak, nanti tokonya keburu tutup" Teriak Prilly.
Royan yang mendengar hanya menggelengkan kepala. Sungguh, anak itu moodnya sangat cepat berubah.Royan menaiki motor sportnya disusul Prilly dibelakang.
"Udah siap?!"
Prilly mengacungkan jempolnya sebagai tanda iya.
Mereka meninggalkan sekolah menuju tempat yang mungkin sangat Prilly sukai.
Tempat dimana imajinasinya muncul saat bersentuhan dengan beberapa alat musik.***
Ali menikam kap mobilnya saat melihat Prilly pulang bersama dengan Royan.
Bukan, bukan dia cemburu Prilly jalan dengan Royan.
Dia hanya menyesali, bagaimana dia tidak disana saat pacarnya membutuhkan.Mungkin sekarang Prilly berpikir bahwa dirinya bukan orang yang tepat, orang yang selalu tempramen hanya karena sesuatu yang telah berlalu.
Untuk kesekian kalinya dia berbuat kesalahan dan untuk kesekian kalinya juga dia harus meminta maaf.
Jangan mencari siapa yang salah, tapi yang terpenting siapa yang memulai untuk mengakhiri dengan kata maaf.
Itu saja.***

KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior My Love
Fanfiction"Kenapa gak bilang" Suara itu semakin lirih disetiap katanya. Prilly tak kuasa. tangisannya tumpah di dada Ali. Membuat Ali perlahan memeluk gadis itu dengan salah satu tangannya. Mencoba menenangkan meskipun dirinya perlu di tenangkan. "Maaf" Satu...