14. Membujuk

1.8K 151 0
                                    








Ada hari dimana orang sangat mengharapkan jangan cepat berlalu.
Yah, hari minggu.
Karena setelahnya adalah hari kebanyakan orang sangat membenci bahkan menghindari.
Hari Senin yang melelahkan.

Namun bagi Prilly, hari senin adalah hari spesial.
Apalagi saat ini. Dia tengah berada di ruangan musik, dimana banyak sekali alat-alat yang mendukung dan membuatnya semangat untuk berlatih.

Disana telah ada Dinda yang juga akan berlatih dengannya.
Senior itu duduk di balik piano kesayangannya,
Hari ini dia ditemani oleh Juna, yang Prilly ketahui adalah saudara dari seorang Rendra.
Dia melihat name tag nama belakang yang sama saat pria itu melintas di depannya.

Tidak berbeda jauh dengan Rendra, Juna memiliki wajah yang sangat tampan namun terkesan dingin.
Dia jauh lebih dingin dari adiknya itu.
Kenapa semua keluarga Mosco mempunyai wajah datar seperti mereka pikirnya.

Tidak lama kemudian ada Taka yang baru saja datang.
Prilly tahu anak itu saat kemarin berkumpul dirumah Alvin.
Anaknya asyik, dia sama seperti Royan yang tingkahnya tidak bisa diam.

Namun saat diruangan itu, Taka tidak bertingkah seperti biasanya, dia hanya duduk sambil memainka gitar melihat Dinda yang duduk bersama Juna.
Prilly melihat ada rasa kesal diwajah anak itu.
Entahlah, dia tidak mau tahu lebih jauh tentang itu.

"Prill,sepertinya kita punya masalah deh"
Dinda sedikit berteriak sambil melihat Prilly.

"Kenapa kak?"

"Kita masih kekurangan personil"

"Maksud kaka? Tanya Prilly kurang mengerti.

"Iya, kita masih butuh gitaris satu lagi, dan juga drumer"
Dinda berjalan menghampiri Prilly yang duduk di sofa ruangan itu.

"Ya udah, kita cari aja kak?"

"Di sekolah kita pasti banyak yang bisa main musik, iya kan?" Prilly menambahkan

"Lo bener, tapi mereka gak ada satupun yang mau!"
Dinda menghela napas saat mengingat Ali selalu menggagalkan rencananya.
Diamnya Dinda membuat Prilly tidak bisa memahami.

"Lo tau kan, kebanyakan anak cowok disini itu anak buahnya Ali. Mereka bukan gak ada yang bisa, mereka cuma mengikuti apa kata Ali"

"Lo juga tahu, cowok lo itu gak suka sama hal yang berbau musik, satu tahun gue berusaha tapi cowok lo selalu gagalin usaha gue buat ngidupin lagi band sekolah kita"

Prilly meletakkan buku chord yang sedari tadi dibacanya.
"Terus kita harus gimana kak, bukannya prom night tiga minggu lagi?!"

"Cuma ada satu cara!"
Prilly kembali antusias mendengarkan ujaran Dinda.

"Tapi gue butuh ello biar cara ini berhasil, kita cuma punya waktu sedikit, dan kita butuh seseorang yang memang sangat mahir di dunia musik"

Prilly terus mengangguk saat Dinda menceritakan maksudnya.
Meskipun ragu, dia akan berusaha.
Demi cita-citanya dan juga sekolah yang dia tempati.

***


"Enggak!!!"

Ali dan Rendra kompak berteriak saat Prilly mengajak keduanya untuk bergabung di grup musik yang sedang ia ikuti.

"Tapi kak...ini buat sekolah kita???"
Prilly terus memohon pada Ali yang bersedekap, sedangkan Rendra berdiri dengan tangan yang ia masukkan ke saku celana abu-abunya.
Mereka menatap Prilly yang sedari tadi meminta lebih tepatnya memaksa mereka untuk bergabung di band sekolah.

"Kita gak mao!!!"
Itu suara dingin Ali.

"Kak, aku gak tau apa masalah kalian dengan musik, apapun itu aku pengen kalian gabung seenggaknya sekali doang"
Prilly melihat Ali dan Rendra bergantian.

Rendra menggeleng dalam diam, sedangkan Ali tanpa menjawab langsung meninggalkan tempat dimana Prilly berdiri.

"Sorry Prill...lo jangan mancing egonya Ali lagi, dia udah cukup lelah.
Dia ngijinin lo buat gabung di band sekolah kita, karna dia sayang sama lo, tapi bukan berarti lo bisa dengan mudahnya nyuruh dia ikut sesuatu yang tidak ia sukai"
Rendra berucap sebelum meninggalkan Prilly seorang diri.

Prilly menghembus napas dengan kasar.
Sepertinya ini tidak mudah baginya.
Dia sadar, menghadapi Ali sangatlah sulit, kata Dinda selama ini yang menjadi pawang Ali cuma Syilla.
Ternyata kakaknya itu berpengaruh besar dalam diri Ali dan juga sahabatnya.

Namun dia tidak akan menyerah.
Batu saja bisa pecah hanya karena tetesan air yang terus menerus. Dan ini, ini hanyalah hati. Dia bisa menghadapi semua ini.

Gadis itu berlari menyusul Rendra dan juga Ali.
Mudah-mudahan kali ini dia bisa membujuk mereka berdua.

"Kak, tunggu dulu dong" Gadis itu berteriak setelah berhasil menyusul Ali dan juga Rendra.
Dia berlari kecil mencoba mensejajarkan langkahnya denga pria itu.

Ali berhenti, dia melihat Prilly malas.

"Kak, dengerin aku dulu. Kali ini aja kaka kabulin permintaan aku" Prilly terus memohon dengan memegang tangan Ali.
Rendra yang melihat itu memilih untuk pergi.

"Gue udah bilang gue gak mao!"

"Tapi kak__?"

"CUKUP!!!"
Ali menarik tangannya yang sempat digenggam Prilly, membuat gadis itu berhenti memohon.

"Gue udah ijinin lo buat ikut kayak begituan, bukan berarti lo seenaknya nyuruh gue buat balik ketempat dimana semua trauma selalu muncul dan buat gue terpuruk lagi"

Prilly hanya terdiam mendengar Ali berteriak.
"Dan satu lagi, gue mohon sama lo tolong, tolong berhenti memohon untuk hal ini"

"Selesai, kita gak perlu bahas ini lagi, oke"
Ali meninggalkan Prilly yang masih mematung.
Tanpa berniat menyusul Ali lagi, Prilly menunduk mencerna semua perkataaan pacarnya itu.
Mungkin benar, dia terlalu memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Tapi apa? Dia hanya ingin agar Ali menghilangkan pemikiran dan rasa takutnya terhadap musik.

"Woy kentang!! Ngapain lo ngelamun disitu!"
Roy berteriak dari tengah lapangan basket.
Anak itu menghampiri Prilly yang tengah berdiri tanpa semangat.

"Muka lo gak jauh-jauh dari kata ngelamun ame kusut yah"

"Udah jelek, dijelek-jelekin pula!" Tambah Roy

"Ihhh...kak Royan, aku tuh sedih tauk??!"

"Kenape lagi?"
Tanya Royan dengan masih memegang bola basket ditangannya.

"Tadi aku ngajak kak Ali sama Rendra buat gabung di band sekolah kita, tapi mereka nolak dan marah. Padahal niat aku kan biar mereka gak liat musik sesuatu yang menyerankan. Salah aku juga sih terlalu memaksakan kehendak. Mestinya aku bersyukur, dikasik ijin aja ama kak Ali aku udah seneng."

Royan tertegun saat mendengar Prilly bercerita.
Dia tidak melihat kesedihan di wajah gadis itu, malah Royan melihat Prilly sangat menggemaskan saat tanpa sengaja dia melihat Prilly dengan wajah kesal dan merasa bersalah diwaktu bersamaan.

Royan membuang bolanya asal.
"Lo mau apa dari mereka?"
Tanya Roy dengan mengulurkan kedua tangannya di bahu Prilly.
Dia menatap lurus gadis bersurai gelombang itu dengan lekat.

"Aku pengen mereka gabung dan juga ngajarin aku alat musik, terutama gitar"
Tanpa sadar Prilly berceletuk

Royan menegakkan tubuhnya, menarik kedua tangan dan bersedekap tanpa mengalihkan pandangannya.

"Gue bisa ngelakuin keduanya"

"Maksud kaka?"

"Gue bisa gabung dan ngajarin Lo" Royan tersenyum membuat Prilly mengangkat kedua alisnya.

"Se_serius?"
Tanya Prilly antusias yang dijawab anggukan oleh Roy.

"Tapi_?'
Prilly menggantungkan kalimatnya.

"Soal mereka gue yang urus"
Final Royan, membuat Prilly semakin tersenyum bahagia.






***

My Senior My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang