Kita pernah berjalan beriringan.
Kamu tahu aku tahu, kita berpisah di persimpangan jalan. Bukan, bukan mauku. Namun takdir memaksaku untuk berhenti.
Dan menyuruhmu melanjutkan perjalanan.
Bukankah hidup selalu seperti itu._ALI
***
"Kurangin begok lo, biar Rendra gak selalu marahin lo" Royan menggeleng.
Bahkan saat seperti ini Ali masih saja terlihat tenang.Royan masih menangis sesenggukan.
Padahal biasanya, Roy paling heboh tidak bisa diam dan paling rame sendiri.
Keadaan Ali membuatnya kehilangan kesempatan bahkan hanya untuk tersenyum.Sebagai penutup, Ali bermaksud mengambil sebuah kunci motor yang sempat Alvin letakkan di atas nakas.
Melihat Ali yang kesulitan, tanpa berkata, Royan mengambil alih mengambil benda kecil dengan gantungan huruf A sebagai aksesorisnya. Ali menerimanya sambil sesekali memainkan kunci motor itu."Bertaun-taun dia nemenin gue" ucapnya sambil melihat kunci yang kini tengah berada ditangannya.
"Lo tau motor itu selalu menjadi kesayangan gue"
Roy mengangguk samar di sela-sela isakan tangisnya, meskipun dia tidak mengerti arah pembicaraan sahabatnya itu.
"Dan sekarang ini jadi milik lo"
Ali mengulurkan tangannya menyerahkan kunci motor yang sedikit lecet karena kecelakaan yang Ali alami."Lo bisa gantiin gue di jalanan"
Royan menggeleng mendengar pernyataan yang lebih ke perintah dan permintaan."Gue capek Roy....gue pengen brenti dari acara balapan kayak gitu"
Prilly yang samar-samar mendengar penuturan Ali menahan tangisannya.
Benar kata Alvin. Ali hanya menunggu waktu.Royan meninggalkan ruangan itu, seperti Alvin dia tidak dapat berkata apapun.
Dan pada akhirnya, kita dipaksa untuk menyerah kepada takdir.
Bahkan tangisan, rasa kecewa dan amarah sekalipun tidak akan merubah apapun yang digariskan.
Sebagai insan. Mengikhlaskan adalah jalan yang harus digenggam. Meskipun dalam genggamannya kita dapat merasakan luka oleh duri ketetepan sang ilahi.Beberapa detik kemudian, pandangan Rendra beralih pada gadis yang sedari tadi meminjam bahunya untuk sekedar menangis.
Mungkin rasa itu sudah tidak ada lagi. Namun melihat orang yang pernah dicintainya menangisi orang yang mencintai dan dicintai oleh orang yang dicintainya hati seorang Rendra ikut merasakan luka.Prilly mengangguk ketika Rendra menyuruhnya untuk menemui Ali terlebih dahulu.
Bunyi monitor peralatan medis menggema memenuhi ruangan itu. Mengiringi setiap langkah yang Prilly lakukan.
Seperti detik, Prilly dapat merasakan waktunya semakin berkurang.Saat mendekati bangkar Ali, Prilly tidak kuasa lagi menahan isakannya.
Sambil terus memandangi Ali yang sekujur tubuhnya dipenuhi luka.
Salah satu tangannya yang Prilly ketahui sepertinya patah.
Tidak lupa, perban yang melilit kepala Ali membuat kesan bahwa anak itu seolah telah mati.
Dan membuat siapapun yang melihatnya mengira jika raga anak itu telah hancur.Prilly membekap mulutnya melihat Ali. Bahkan dalam keadaannnya sekarang, Ali masih saja tersenyum ketika dirinya mendekat.
Hening beberapa saat, mereka hanya berkata lewat mata. Seolah dengan begitu mereka sanggup mengungkapkan semua yang mereka ingin ungkapkan.
Ada banyak hal yang harus mereka berdua ketahui. Namun sekali lagi, waktu menjadi penghalang.
Menyuruh dan memaksa mereka mengatakan beberapa kalimat saja."Hai...."
Suara Ali terdengar bergetar. Sambil sesekali tersenyum dia mengulurkan tangannya ingin meraih lengan Prilly.Tangan mungil didepannya ia genggam. Menarik perlahan sang pemilik supaya mendekat.
Irama monitor mengiringi setiap detik pertemuan mereka. Berseru mengatakan bahwa waktunya telah tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior My Love
Fanfic"Kenapa gak bilang" Suara itu semakin lirih disetiap katanya. Prilly tak kuasa. tangisannya tumpah di dada Ali. Membuat Ali perlahan memeluk gadis itu dengan salah satu tangannya. Mencoba menenangkan meskipun dirinya perlu di tenangkan. "Maaf" Satu...