Kalau aku duniamu.
Maka kau adalah semestaku.Mau gak janji sama aku, setelah ini jangan pernah nangis lagi...
____ ALI
Suasana malam tidak menyurutkan niat Ali mendatangi sebuah rumah yang dulunya sering ia singgahi.
Rumah Prilly.Selepas pulang dari balapan tadi, dia berpisah dengan Royan dipersimpangan jalan.
Hatinya berkata jangan lakukan itu.
Karena akan menyakitkan. Namun logikanya berteriak, menyuruhnya untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sejak lama.Ali memarkirkan motornya dua blok dari rumah Prilly.
Dia berjalan santai, seolah dia akan pulang kerumahnya sendiri.
Tapi sesampainya didepan gerbang gadis itu, dia berubah mengendap-ngendap. Berharap sang penjaga tidak mengetahui kehadirannya.Saat merasa telah aman, Ali menaiki tembok pembatas yang tidak jauh dari gerbang tadi.
Berusaha tidak menimbulkan suara.
Dia berjalan pelan menuju arah kamar Prilly yang ada di lantai dua.Setelah sampai, Ali melihat keatas, tepatnya ke balkon kamar Prilly yang lumayan tinggi.
Mencari cara untuk sampai disana, sampai akhirnya dia melihat pohon mangga besar tepat menjulang ke balkon Prilly.
Tidak butuh waktu lama untuk Ali memanjatnya.
Keahlian itu ia dapatkan saat masih duduk di bangku sekolah putih biru.
Seringnya dia membolos, mengharuskannya mencari jalan pintas. Yaitu, tembok tinggi dibelakang sekolanya dulu.Pelan-pelan Ali berpindah dari dahan satu ke satunya lagi, agar lebih dekat dengan balkon didepannya.
"Huuuuffg"
Ali menghela nafas lega saat dua kakinya menjejaki ubin.
Dipandanginya jendela kaca tepat didepannya.
Lampu kamar itu sudah mati. Pertanda si pemilik telah terlelap.Ali berusaha membuka jendela yang terkunci.
Oh tidak, jendela itu tidak dalam terkunci, membuat Ali dengan leluasa membukanya dari luar.
Kebiasaan. Pasti anak itu lupa menguncinya, pikir Ali.Saat telah sampai didalam kamar, Ali melihat Prilly tengah berbaring dengan posisi memunggunginya.
Anak itu tertidur sangat pulas.
Ali sangat rindu gadis itu.Namun langkah Ali terhenti ketika saat itu juga matanya menangkap punggung Prilly yang tadinya diam kini seolah bergetar.
Anak itu tengah menangis rupanya.Ali masih berdiri mematung, dia berfikir sudah berapa lama Prilly menangis.
Melihat jam sudah menunjukkan jam dua pagi.
Apakah anak itu menangis semalaman?
Apakah anak itu menangisi dirinya?Ali tidak bisa menyembunyikan lagi rasa khawatirnya.
Mungkin anak itu menangis karena dirinya yang selama ini berulang kali menyakiti.
Berulang kali membuat gadis itu menangis karena ulahnya.Sadar atau tidak, Ali tidak pernah memberikan kebahagiaan pada gadis yang kini berada didepannya.
Dengan perasaan kacau, Ali menghampiri Prilly.
Dia berlutut, namun pandangannya tak pernah lepas dari punggung itu.
Terdengar tangisan yang sangat lirih, membuat dada Ali tiba-tiba perih.Ali tidak tahu harus berbuat apa, dia perlahan mengelus surai gadis itu dan menciumnya.
Mungkin dulu Ali sangat senang saat mencium rambut Prilly yang sudah menjadi candu baginya.
Namun sekarang, sepertinya dia tidak bisa lagi menikmati kebiasaan itu.Punggung yang tadinya bergetar perlahan berhenti bersamaan dengan ciuman Ali di rambut Prilly.
Prilly yang merasa kehadiran Ali hanya terdiam. Dia takut, sangat takut kalau itu hanya mimpi.
Dia takut kalau jika dia bangun nanti, perlakuan itu akan hilang. Prilly tidak mau itu.Dia hanya diam, membiarkan Ali melakukan kebiasaannya.
Hatinya menghangat, saat mengetahui Ali tidak benar-benar pergi darinya."Maaf"
Prilly tidak mengerti kenapa Ali tiba-tiba berkata maaf dengan sangat pelan didekat telinganya.
Lelaki itu seolah berbisik, membuat dirinya bertanya.
Sejak kapan suara itu berubah seperti tersirat keputusasaan.
Yang Prilly tahu, Ali selalu berteriak jika tengah berbicara.
Namun saat ini tidak ada lagi keangkuhan, tidak ada lagi ego.
Menyerah, itulah yang dapat menggambarkan seorang Ali saat ini."Maaf" Katanya lagi.
Ali mengecup lama puncak rambut Prilly, dan segera beranjak dari tempat itu.
Sesaat dia ingin melompat namun dengan tiba-tiba suara Prilly menghentikan langkahnya."Kenapa?"
Prilly sudah berdiri di dekat jendela yang memisahkan balkon dan juga kamar pribadinya."Kenapa pergi?!"
Ali yang mendengar suara Prilly bergetar, tidak sanggup menoleh dan melihat kesedihan di wajah gadis itu.
Didunia ini hanya ada dua kelemahan Ali. Saat melihat bundanya menangis dan ketika melihat seseorang yang amat dia cintai saat ini juga menangis hanya karena dirinya."Kenapa kaka selalu ninggalin aku. Kenapa?"
Ali tetap tidak bergeming ditempatnya. Seolah tidak memiliki tenaga."Kaka gak tau...gimana aku hampir gila nyariin kaka?" Suara Prilly terdengar parau.
Dia mencoba menghirup udara perlahan, mengumpulkan keberanian agar dirinya tidak menangis.
"Kaka juga gak tau, gimana khawatirnya aku saat kaka gak ada kabar dan ngilang gitu aja."
"Kenapa"
Nada bicara Prilly semakin melemah.
Dia tidak tahu apa yang terjadi, dia hanya tersiksa selama Ali tidak ada disampingnya."Aku selalu berusaha nyari tau soal kaka, aku cariin kaka kemana-mana. Bahkan aku sampai memohon sama kak Alvin biar dia ngasi tau kaka dimana"
Tanpa terasa air mata Prilly mengalir."Kaka gak mikir perasaan aku gima_"
Luruh sudah, Ali tidak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak memeluk Prilly.Semua kesedihan yang selama ini ia pendam tidak lagi bisa ia tutupi.
Mungkin dia dapat tersenyum kepada siapapun, menyembunyikan sakit dibalik tawanya. Namun tidak kepada gadisnya."Gue harus pergi Prill"
Ali dapat merasakan gelengan Prilly dalam dekapannya."Kita gak bisa sama-sama lagi"
Deg
Prilly terdiam ketika Ali tiba-tiba melepaskan pelukannya.
Sesak menjalar didada Prilly.
Seolah ada sesuatu yang ditarik paksa dari dirinya.
Meninggalkan bekas yang disebut apa itu sakit hati.Ali menatap Prilly penuh dengan rasa bersalah.
Seharusnya dia tidak melakukan ini.
Namun dia berpikir mungkin dengan ini Prilly akan mudah melepasnya, jika nantinya dia tiba-tiba pergi dari gadis itu...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior My Love
Fanfiction"Kenapa gak bilang" Suara itu semakin lirih disetiap katanya. Prilly tak kuasa. tangisannya tumpah di dada Ali. Membuat Ali perlahan memeluk gadis itu dengan salah satu tangannya. Mencoba menenangkan meskipun dirinya perlu di tenangkan. "Maaf" Satu...