Welcome to this part!^^
If you still enjoy it, don't forget to write your COMMENT and give a VOTE
Hope you enjoy
&
Happy reading!
❤🌹
-----*-----
Jantung berdebar teratur di dalam dada. Bibir semerah delima terkatup rapat membentuk satu garis lurus horizontal. Ujung surai brunette bergerak lembut menggelitik wajah manis khas Jerman-Turki. Punggung tegap bertumpu dengan sandaran kursi besi. Kepala menengadah, menatap lurus ke arah langit biru dengan semburat jingga yang begitu menawan. Sinar mentari yang mulai meredup, membias ke dalam bola matanya, memberi kesan hijau keemasan dan sungguh memikat bagi siapa pun yang memandang.
Angin berdesir lembut, menyapa dengan ramah setiap benda yang dilewati. Deru air laut dan hujaman dinding berlapis besi menjadi satu-satunya melodi yang meramaikan. Setidaknya, untuk saat ini di tengah kesendirian yang menyergap. Di situlah, di atas buritan kapal dia termenung.
Entah apa yang diinginkan hati, sehingga mengirimkan sinyal kepada otak dan memerintahkan kaki untuk melangkah ke tempat itu. Rasanya, sudah lama Eren tidak seperti ini. Hanya berdua dengan bayangannya sendiri. Memori berputar membawa kenangan itu.
"Aku merindukanmu, Bu." Tidak terasa setitik cairan bening menetes dari sudut matanya, membentuk sungai kecil di atas pipi berisi. Sudah terlalu lama Eren memasang topeng di wajahnya. Biarlah kali ini dia melepaskan topeng itu sejenak.
Tenggorokan terasa sakit, menahan isak tangis yang hendak meledak. Eren merasa beruntung bahwa dia hanya seorang diri di situ. Jadi, biarlah langit, matahari, dan laut yang melihat dan mendengar keluh kesahnya. Tidak dengan Armin, Connie, Sasha, anak-anak yang baru dia temui kemarin, tidak dengan siapa pun.
"Seharusnya Ibu tidak perlu melakukan itu hanya karena aku. Tapi, apalah diriku yang hanya bisa melihat Ibu dari balik pintu kamarku tanpa bisa melakukan apa pun?" gumam Eren. Suara serak dan bahu bergetar, menahan gejolak emosi yang semakin membuncah.
Namun, Eren sadar sekuat apa pun dirinya, dia tidak akan bisa kembali ke masa itu. Nasi sudah menjadi bubur dan tidak akan bisa kembali dalam wujudnya yang semula. Dia hanya bisa membiarkan waktu terus berjalan, membawa dirinya pada masa depan yang tidak diketahui akan seperti apa.
-----*-----
"Levi, kau mau ke mana?" tanya Bella ketika melihat sang tunangan membawa sebuah buku dan hendak melangkah keluar.
Pria tersebut berhenti melangkah. Tangan menggenggam erat buku bersampul kulit itu. "Cari angin," jawab Levi dengan singkat tanpa menoleh ke arah sang wanita. Dia hendak membuka pintu sebelum sepasang tangan lembut menahannya.
"Boleh aku ikut denganmu?" tawar Bella, masih setia menggenggam tangan Levi. Bibir mungil dengan polesan lipstick tersungging ke atas.
Levi menghela napas pelan. Dia tidak ingin berdebat, untuk saat ini saja. Perlahan, tangannya yang tidak memegang apa pun bergerak membalas genggaman sang wanita. Namun, detik berikutnya lengannya pun terbebas dari cengkraman Bella.
"Levi ...." Bella mendesah kecewa. Iris cokelat madu terbuka lebar, menatap sang pria dengan tatapan memohon. Dia hendak bersuara lagi, tetapi mengurungkan niatnya ketika tatapannya dibalas oleh sepasang mata segelap malam yang menatapnya tajam. Bagai dihujam tombak hingga ke relung hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Nightmare Becomes A Memory
RomanceThe Colossus, kapal terbesar yang pernah dibangun oleh tangan-tangan manusia pada masa itu. Kapal yang menjadi impian umat manusia dengan semboyannya sebagai kapal yang tidak akan pernah tenggelam. Baik tua maupun muda, kaya maupun miskin, semuanya...