Karena cinta yang tulus akan membutuhkan sebuah perjuangan
Happy reading
&
Hope you enjoy!
🌹💖
-----*-----
Iris emerald menerawang di balik lapisan kaca yang menghubungkan pandangannya dengan dunia luar. Bising suara deruman mesin berbahan bakar bensin terus menyeruak ke dalam indra pendengaran. Bibir ranum terkatup rapat membentuk satu garis lurus.
Kuda besi yang Eren tumpangi melaju dengan anggun, membawanya bersama beberapa daun muda melintasi kota Liberio–tujuan akhir mereka setelah terjebak di tengah samudra bersama kapal impian. Atap sederhana, jalanan senggang dengan sejumlah pedagang kaki lima sedang menepi, dan anak-anak berlarian di sekitar rumah minimalis adalah hal yang menghiasi pandangan sang pemuda dalam menempuh perjalanannya. Senyum simpul terukir membentuk lengkungan indah di bibir ranum nan memikat hati. Memori berputar, mengenang tempat tinggalnya yang sangat kumuh di pinggiran kota Eldia.
Namun, semua itu perlahan menghilang kala kuda besi beroda sepuluh mulai menginjakkan karet di area pusat kota Liberio. Jalanan padat oleh sepeda ontel, kereta kuda, mobil, dan pejalan kaki. Gedung maupun rumah elegan bergaya Victoria dan Renaisans adalah hal yang mendominasi penglihatan Eren. Mulut membentul gua mungil, takjub akan semua hal yang dia lihat. Baru kali ini dia memasuki area pusat kota yang tampak begitu rapi dan bersih. Sangat berbanding terbalik dengan kompleks pedalaman tempat tinggalnya sebelum menginjak tanah ini.
Tubuh ramping terlonjak ketika sebuah pergerakan mengusik di sampingnya. Eren menatap seorang pemuda yang tampak sebaya dengan dia tengah menyantap roti di sampingnya. Pakaiannya cukup rapi, sehingga sang pemuda berasumsi bahwa orang yang duduk di sampingnya berasal dari kalangan kelas satu atau dua.
"Hai ... namaku, Er–Dona Davidson. Tapi kau bisa memanggilku Dona. Namamu siapa?" sapa pemuda blasteran tersebut. Pemuda itu menghentikan kunyahannya sejenak kala mendengar pernyataan Eren yang masih dalam pakaian wanita usia uzur. Iris biru cerah menelusuri dari helaian surai cokelat hingga ujung kaki secara detail, membuat yang ditatap merasa tidak nyaman.
"Colt," ujar pemuda tersebut tampang cuek. Dia kembali memakan rotinya, tidak peduli dengan raut wajah Eren yang tampak menekuk di sampingnya.
Tidak tahu tata krama! Cuek sekali dia! gerutu Eren. Kepala cokelat kembali menoleh ke arah jendela. Alis masih saling bertautan–kesal dengan sikap pemuda bernama Colt yang masih mengunyah di sampingnya.
Kini, bus mulai bergerak ke area pondok yang terletak di pinggir ibukota Liberio. Jalanan pun sudah tidak terlalu padat seperti di tengah kota. Hanya ada beberapa kereta kuda, pejalan kaki, beberapa toko maupun caffe, dan sangat sedikit kendaraan yang berlalu-lalang.
"Halo! Saya Petra Ral, pemilik pondok A1. Sebentar lagi kita akan sampai. Jadi, untuk yang bernama Colt Grice dan Dona Davidson akan tinggal bersamaku. Senang bertemu dengan kalian," sapa seorang wanita yang duduk di belakang bangku kemudi.
Eren yang merasa nama samarannya disebut pun menoleh ke arah wanita bernama Petra itu. Sejenak dia memperhatikan penampilannya. Wanita itu tampak sangat ramah dengan senyum manis terpatri di wajah ayunya. Namun, sang pemuda justru merasa semakin kesal, mengingat dia akan satu pondok dengan Colt–orang menyebalkan yang sedang duduk di sampingnya.
Benda beroda sepuluh berhenti di depan sebuah rumah. Mereka semua menoleh ke arah sebuah rumah dengan dominasi cat putih serta tampak minimalis, tetapi tetap elegan dan cozy. "Bagi yang bernama Colt Grice dan Dona Davidson, silakan ikut dengan saya." Petra kembali bersuara yang membangunkan Eren dari lamunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Nightmare Becomes A Memory
RomanceThe Colossus, kapal terbesar yang pernah dibangun oleh tangan-tangan manusia pada masa itu. Kapal yang menjadi impian umat manusia dengan semboyannya sebagai kapal yang tidak akan pernah tenggelam. Baik tua maupun muda, kaya maupun miskin, semuanya...