Chapter 6: Go to The First Class Dinner

1.4K 214 173
                                    

Hello friends! ^_^

Welcome back with me, Grey Ackerman 😘

So, to keep my promise last week. This is the FIRST LONGEST PART of my story!🤩

YAAYYY!!!

I hope you like it and don't forget to VOTE and COMMENT✌😜😘

Happy reading

&

Hope you enjoy!

❤🌹

-----*-----

Kedua tungkai dalam balutan celana kain cokelat melangkah lebar, menapak cepat pada lantai kayu jati. Beberapa pasang mata menatap heran ke arahnya, bingung akan persoalan yang terjadi terhadap pemuda bersurai brunette itu. Eren mempercepat langkahnya, tidak peduli dengan paru-paru yang meronta untuk meminta pasokan oksigen lebih banyak dan jantung berdendang keras di dalam dada.

"Armin!" Eren mengulurkan tangan dan membuka paksa pintu berbahan aluminium yang menjaga privasi kamarnya. Pemuda yang disebut namanya pun terlonjak dari posisi duduknya, terlebih saat melihat sang sahabat tampak seperti orang yang baru saja kabur dari hewan buas.

"Ada apa, Eren? Tenangkan dirimu." Pemuda bersurai pirang turun dari ranjang susunnya. Lalu, dia menuntun Eren untuk duduk di ranjang bawah. Armin membiarkan pemuda tersebut untuk mengatur napasnya terlebih dahulu.

"Armin, ini gawat!" Eren mencengkram bahu Armin, menyebabkan pemuda itu terkejut bukan main.

"Baiklah, jelaskan padaku secara perlahan, Eren," tutur Armin, berusaha menenangkan Eren yang terlihat sangat panik. Bagaikan maling yang baru saja ketahuan mencuri.

Eren berusaha mengingat kata-kata pria jangkung yang membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. "Pria itu ... yang kita temui di anjungan kemarin malam. Dia mengajakku makan malam bersamanya di ruang makan kelas satu," terangnya.

Armin membulatkan matanya–kaget. Dia tidak salah dengar, bukan? Bagaikan ada sengatan listrik yang menjalar di dalam tubuhnya, pemuda itu tampak tidak percaya dengan perkataan sang sahabat.

"B-bagaimana bisa?" tanya Armin dengan tergagap.

"Aku tidak tahu! Bagaimana ini, Armin? Mana mungkin aku hadir di tengah-tengah manusia berkantung tebal itu, sedangkan diriku hanya seorang anak pinggiran?" Eren semakin panik. Detak jantung di dalam dadanya berdendang dengan sangat cepat bagaikan orchestra.

Armin menghela napas singkat. Otak kembali bekerja untuk memberikan solusi terbaik kepada sang sahabat. Akhirnya, suatu sinyal yang dikirimkan oleh otak jeniusnya membuat pemuda pirang tersebut menyunggingkan bibirnya ke atas.

"Kurasa tidak ada salahnya jika kau menuruti ajakan pria itu, Eren." Perkataan Armin yang demikian lantas membuat Eren semakin gelisah.

"Demi Tuhan, Armin. Aku tidak siap!" keluh Eren. Butiran cairan asin terus mengucur deras dari pori-porinya. Tubuh dibangting ke atas ranjang kapuk, berusaha menenangkan debaran keras di dalam dada.

"Sudahlah, Eren. Siapa tahu pria itu memang berniat baik. Terima–"

Tiba-tiba, suara ketukan pintu menginterupsi interaksi keduanya. Eren segera menegakkan tubuhnya di atas ranjang. Jantung kembali berdebar melantunkan irama yang begitu cepat. Dia memandang Armin, memberi isyarat untuk membuka pintu.

A Nightmare Becomes A MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang