Chapter 21: Gone

727 111 54
                                    

Uap tipis mengepul di atas cangkir berisi cairan cokelat berasa manis. Aroma khas yang memanjakan hidung pun dihirup pelan. Gesekan biola melantun elok membuat siapa pun yang mendengar akan terbius oleh iramanya.

Kuchel memandang sendu kepada wanita di hadapannya. Paras elok sang calon menantu yang tampak mendung membuat hati wanita usia kepala lima itu luluh. Hati pun bertanya-tanya pada diri sendiri soal keberadaan sang putra yang sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya sejak mereka menginjak tanah Liberio. "Bella ...."

Sementara itu, sang belia yang tengah menundukkan kepala tampak enggan menampakkan wajahnya. "Aku sudah meminta Ayahku untuk mengerahkan anak buahnya, tapi mereka belum menemukan titik terang sedikit pun. Bahkan soal keberadaan anak jalanan itu," ujar Bella, masih betah memandang cangkir berisi cokelat hangat yang belum tersentuh, bahkan seujung kuku pun.

Napas berembus diselingi raut wajah suram pada rupa jelita Kuchel yang mulai dimakan usia. Dalam hati, seluruh caci maki dia lontarkan kepada sang putra yang entah di mana dirinya berada. Andai Levi ada di hadapannya, mungkin dia sudah mendaratkan telapak tangan di wajah pria usia kepala dua itu.

-----*-----

Sang mentari menyebrang dari Timur ke Barat, melintasi cakrawala, bergantian bersama indahnya rembulan. Bumi terus berputar, menandakan bahwa waktu terus bergulir. Hari berganti menjadi pekan. Seluruh selebaran pun telah sampai di berbagai tangan, memperlihatkan kecelakaan maritim terbesar pada masa itu. Seluruh dunia pun berduka, mengiringi kepergian ribuan nyawa bersama karamnya Collosus sang impian.

Namun, meski begitu tidak ada selembar pun amplop yang diterima oleh tangan lentik pemetik gitar. Siang dan malam hatinya menunggu kehadiran sang belahan jiwa. Raga mendamba akan sentuhan lembut dan menenangkan yang diberikan oleh sang terkasih. Takut, cemas, khawatir, marah, kecewa, semua menjadi satu dalam hati yang begitu polos.

Wajah yang dahulu secerah mentari, kini mendung tertutup awan. Manik sehijau giok menatap kosong hidangan yang tersedia di hadapannya. Sesekali, bibir semerah delima terbuka dengan enggan demi menerima suapan makanan di hari baru.

Nyanyian gramaphone dengan alunan merdu seolah ditolak oleh telinganya. Eren merasa sebentar lagi kepalanya akan meledak. Berbagai macam pikiran negatif mulai menghantuinya.

"Dona ...." Suara lembut Petra pun menariknya kembali ke dunia nyata. Manik cokelat madu menatap sang pemuda secara intens–khawatir.

"Kau sakit?" tanya sang wanita. Namun, Eren justru menggelengkan kepala cokelatnya–enggan menjawab.

Sendok dan garpu terlepas dari genggaman jemari lentik sang wanita. Benda dengan empat kaki dia geser, mendekat dengan pemuda blasteran itu. "Katakan padaku, apa yang terjadi padamu? Akhir-akhir ini kau terlihat aneh," ujar Petra, sambil memiringkan kepalanya untuk menatap Eren lebih lekat.

Sejenak, sang pemuda membisu. Pandangan mulai buram oleh kristal bening yang menggenang di sudut mata. "Aku takut ...," kata itulah yang dapat terucap dari bibir ranumnya. Isak tangis pun tidak dapat dibendung.

Petra pun membatu saat melihat reaksi pemuda di hadapannya itu–masih menunggu Eren kembali bercakap. "Aku takut ... dia pergi meninggalkanku. Dia sudah berjanji untuk mengabariku. Tapi, sudah hampir sebulan penuh aku tidak menerima kabar sedikit pun darinya. Bagaimana jika dia kabur meninggalkanku? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk dengannya?" Pada akhirnya, semua yang dia pendam di hati dapat diungkapkan.

Manik cokelat memandang nanar pemuda di sampingnya. Hati tergetar, turut merasakan yang terjadi pada Eren. "Kita tidak bisa berbuat banyak, Dona. Apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendoakan yang terbaik untuk kekasihmu. Ataukah kita perlu meminta bantuan untuk mencari orang hilang?" tawar Petra.

A Nightmare Becomes A MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang