Chapter 22: A Mercy

640 105 31
                                    

Happy reading

&

Hope you enjoy!^^

-----*-----

Nyanyian burung melantun begitu merdu, indah bak kepakan sayap merpati. Derum mesin transportasi bergema di sejumlah sudut kota. Cahaya sang surya menyinari dengan begitu cerah, menghangatkan raga di musim semi.

Semua keindahan itu bagai memanggil sosok pemuda manis yang tengah menatap ke arah jendela. Tangan menyilang di depan dada, seolah hangat sang mentari tidak dapat menyentuh raganya. Hati tergetar, berharap waktu bisa berputar balik–mengenang hangat pelukan sang kekasih dan canda tawa bersama kawan karib.

Desah napas berembus panjang. Rindu. Entah sudah berapa menit yang terlewat sejak sarapan pagi usai, Eren merenung di balik jendela. Berbagai emosi pun turut menemani kegundahan dalam hatinya.

Pun, telinga seolah tuli akan suara ketukan–memaksa orang di balik pintu itu untuk mengetuk lebih keras. Eren tersadar dari lamunannya, kaki bergegas melangkah, membukakan ruang untuk sosok di luar sana. "Boleh aku masuk?" tanya Petra dengan lembut.

Eren tentu tidak menolak. Kini, mereka pun duduk berhadapan di atas ranjang. "Bagaimana keadanmu?" Petra kembali melontarkan pertanyaan.

"Um ... tidak baik," jawab Eren, seadanya. Jemari saling bertautan satu sama lain. Surai cokelat selembut sutra berjatuhan di atas kulit porselennya, membuat raut wajah sang taruna tidak terlihat jelas.

Petra tidak terkejut dengan pernyataan Eren. Pada kenyataannya dia sudah tahu bahwa pemuda itu sedang tidak dalam kondisi baik. "Ceritakan padaku, ada apa? Aku siap mendengarmu."

Setelah itu, keheningan sempat menyergap. Eren terdiam kala penuturan Petra merasuk ke dalam telinganya. "Aku ... rindu. Ingin sekali aku bertemu lagi dengan Blake dan juga teman-temanku yang lain, Armin, Connie, Sasha." Pandangannya mulai kabur oleh genangan air mata. Sementara itu, wanita di hadapanya masih terdiam–menunggu dia untuk melanjutkan.

"Aku bertemu dengan Connie dan Sasha untuk yang terakhir kali, saat mereka menemuiku di kabin kapal penyelamat. Saat itu, aku baru tersadar dari tidur panjangku. Kemudian, mereka memberitahu bahwa ... Armin sudah meninggal. Terakhir kali, aku menemui Armin ketika hari masih sore sebelum Colossus mengalami tabrakan." Air mata sudah tidak dapat dibendung lagi dari netra sehijau giok. Namun, dengan cepat Eren menghapusnya.

"Blake ... aku tidak tahu di mana dia saat ini. Sudah hampir dua pekan dia tidak memberiku kabar sedikit pun." Kala mengingat rupa pria bersurai eboni itu, Eren seolah merasakan pukulan palu di dadanya. Perasaan berkecamuk itu kembali hadir. Pun, dia sudah tidak melanjutkan lagi.

Petra yang menyadari diamnya sang pemuda memutuskan untuk angkat suara. "Tahukah kau, bahwa dirimu sangat mirip denganku dahulu?" Pertanyaan wanita tersebut lantas membuat Eren terlonjak.

"Maksudnya?"

Lengkungan indah terbit di wajah ayu sang wanita. "Sebelum aku menikah dengan Oluo, kami hanya menjalin hubungan jarak jauh. Awalnya, kami tinggal dalam satu kota yang sama. Aku pun memiliki banyak teman dan kami berdua semakin dekat."

"Namun, saat usiaku mulai beranjak dewasa, Ayah menerima tugas baru di kota El Passo yang memaksa kami sekeluarga untuk ikut dengannya. Aku terpaksa meninggalkan teman-temanku dan Oluo. Akan tetapi, sebelum aku berangkat saat itu, dia berjanji untuk menyusul." Semu merah muda terbit di kedua belah pipi Petra–mengenang masa-masa manis itu. Sementara itu, Eren masih setia memasang telinganya.

"Delapan hari terlewati setelah kami sampai di El Passo, semua terasa membosankan dan berat bagiku. Siang dan malam, aku memikirkan Oluo. Mulai meragukan janjinya, tapi entah kenapa hatiku tetap memegang teguh janjinya. Pada akhirnya, sembilan tahun kemudian kami kembali bertemu dan dia langsung melamarku. Setelah pernikahan kami usai, dia mengajakku pindah ke kota ini." Petra pun mengakhiri dengan setitik cairan bening jatuh dari netranya.

Eren merasakan detakan lembut di dadanya semakin kuat kala mendengar kisah wanita di hadapannya. Terharu. Pastilah sangat berat jika harus berpisah dengan yang terkasih, bukan? Namun, satu hal yang mengganjal di benak pemuda blasteran tersebut.

"Bagaimana cara kau bisa yakin bahwa dia akan menemuimu? Maaf jika pertanyaanku terkesan lancang," tanya Eren, diliputi perasaan terganggu di hatinya.

Namun, sang lawan bicara justru terkekeh pelan setelah mendengar pertanyaan itu. "Entahlah. Hati kecilku seolah meyakinkan bahwa dia akan menyusulku. Selain itu, kurasa Tuhan juga merestui hubungan kami, aku yakin itu. Ah! Kau juga bisa mendoakan agar kekasihmu baik-baik saja di sana dan kalian bisa dipertemukan kembali, bukan begitu?"

Eren termenung mendengar penuturan Petra. Apa yang dikatakan oleh wanita itu ada benarnya. Entah sudah berapa tahun dia tidak memanjatkan doa kepada Sang Pencipta setelah kematian ibunya. Sang pemuda pun tidak menolak ketika wanita yang sudah seperti seorang kakak bagi dia mengajaknya berdoa bersama.

-----*-----

Lonceng gereja berkumandang kala jam menunjukkan waktu telah mencapai tengah hari. Kapel yang awalnya kosong, kini perlahan terisi hingga tidak ada lagi tempat di situ. Doa-doa mulai dirapalkan, disertai lagu-lagu untuk memuji nama-Nya.

Di barisan terbelakang, tampak kepala bersurai eboni menunduk dengan sangat dalam. Jemari terkatup di depan dada. Kelopak mata terpejam, menyembunyikan indahnya sepasang manik navy. Hati pun tidak berhenti merapalkan doa.

Permohonan ampun, harapan, dan pujian dia lantunkan dalam hati. Harapan terbesar untuk memperoleh ingatannya kembali. Tentu dalam ingatan itu, ada nama seseorang yang tanpa dia sadari tengah menunggu kepulangannya. Tidak terasa setitik kristal bening menetes dari lipatan yang menyembunyikan manik navy milik sang Ackerman.

Tuhan tentu tidak akan pernah menulikan telinga dari hamba-Nya. Levi merasa raganya disentuh oleh tangan lembut Sang Pencipta. Dia terjatuh dan meringkuk di atas lantai, sedangkan orang-orang berlari mengelilinginya. Kilat terasa menyambar dari dalam, hingga mata tidak dapat melihat jelas.

Semua pun panik dan berusaha membantu pria itu untuk duduk kembali, sambil terus merapalkan doa. Pada akhirnya, mata pria itu terbuka dengan jelas. Mukjizat benar-benar terjadi dalam dirinya.

Tuhan benar-benar mendengar doa Levi. Semua kenangan itu, bagai putaran kaset dalam memorinya. Namun, rupa sang terkasih kini dapat dia lihat dengan sangat jelas. "Puji Tuhan ...." Hanya itu yang dapat terucap dari mulutnya.

"Aku ingat. Aku ingat semuanya ...."

Semua orang yang mendengar ucapan Levi, dibuat bingung olehnya. Kendatipun begitu, hal tersebut membuat Pastor Markus bersujud sambil mengatupkan kedua tangan dan menengadah ke atas.

"Terima kasih Tuhan. Hari ini, Dia menunjukkan kekuasaan-Nya padapria ini. Puji nama-Nya."

~To be continued~

Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir di sini. Jangan lupa berikan VOTE sebagai bentuk dukungan kalian dan tuliskan COMMENT jika ada yang ingin disampaikan^_^

See you on the next part!

A Nightmare Becomes A MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang