Chapter 18: New Goals in Our Life

987 136 32
                                    

Bagian ini saya buat setelah saya melewati masa vakum dari menulis. Jadi, saya mohon maaf sekali kalau bahasanya terkesan agak kacau dibanding yg lain 😥

Saya juga menyarankan teman-teman untuk membaca bagian ini dengan disertai lagu yg telah saya sediakan untuk menambah penghayatan teman-teman hehehe😂

Happy reading

&

Hope you enjoy

🌹❤

-----*-----

Tubuh tegap berguling di atas ranjang. Mata dipaksa untuk terpejam, menyembunyikan iris kelamnya. Embusan napas kasar terdengar beberapa kali seiring dengan tubuhnya yang terus berganti posisi.

Pada akhirnya, Levi menyerah yang diakhiri dengan desahan panjang. Telapak tangan dia gunakan untuk mengusap wajahnya dengan kasar. Iris navy melirik ke arah jendela. Tirai berkibar kala angin menyeruak ke dalam, menyingkap lukisan indah Sang Pencipta berupa langit petang dengan taburan berlian dan purnama yang mulai menampakkan diri.

Satu hari lagi, mereka akan berlabuh di tujuan utama. Tempat yang seharusnya menyambut Sang Colossus. Kini, RMS Garisson-lah yang akan menyelesaikan tugas kapal raksasa itu.

Kala kaki menginjak tanah Liberio, Levi ingin memulai segalanya dari awal. Bersama dengan kekasih baru yang jauh lebih murni hatinya, dia ingin melepaskan segala kepenatan batin ini. Membuka mata untuk menyambut asa di masa mendatang.

Ketukan pintu membawanya kembali ke dunia nyata. Dahi mengernyit sambil menatap benda persegi panjang yang menjadi satu-satunya akses keluar dan masuk di kamarnya. Belum sempat mulut melontarkan sepatah kata, pintu itu terbuka.

Awalnya, Levi mengira bahwa sosok yang akan masuk adalah kekasihnya. Namun, dugaannya meleset sangat jauh. Surai hitam yang dibiarkan tergerai mencapai punggung. Hal itulah yang pertama kali dilihat oleh sang pria dari sosok familiar itu, selain lengkungan tipis pada bibir pucatnya.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya sosok itu yang tidak lain adalah Kuchel, ibu Levi. Tanpa ragu, wanita paruh baya tersebut mengambil tempat di samping ranjang sang putra.

Sementara itu, orang yang ditanya justru segera mengalihkan pandangannya–menatap langit-langit kamar. "Baik, Bu. Senang bisa bertemu lagi denganmu," jawab Levi tanpa minat untuk menatap kembali orang yang telah melahirkannya ke dunia. Walau dirinya paham bahwa mungkin saja dia telah menjadi anak paling kurang ajar di dunia.

Kuchel menghela napas panjang kala menerima sikap acuh dari sang putra. "Kau sudah makan?" tanyanya lagi. Dia berpikir, mungkin dengan berbasa-basi semua akan lebih mudah. Namun,tampaknya kenyataan tidak berpihak pada asa.

"Sudah. Ibu tahu, kan, aku tidak suka berbasa-basi busuk. Langsung pada intinya saja," tandas Levi, masih enggan untuk menatap wanita paruh baya di sampingnya. Tubuh diangkat hingga punggung menyentuh sandaran ranjang. Rajutan kain tebal yang sempat menghangatkan tubuhnya pun tersingkap, memperlihatkan pakaian sang pria yang amat kusut.

Perempatan halus yang tampak begitu tajam pun terbit di dahi wanita usia kepala empat tersebut. Demi menjaga martabatnya, dia harus berhadapan dengan sang putra yang sangat keras kepala. "Kalau begitu aku ingin bertanya lagi. Apakah kau masih bersama anak miskin itu?" tanyanya. Suara yang semula terdengar lembut dan menyejukkan, kini naik disertai kesan sarkastik.

"Kalau iya, kenapa? Lagipula hidupku jauh lebih tentram setelah bertemu dengannya!" Pada akhirnya, Levi pun membalas tatapan berang sang ibu dengan tidak kalah tajam. Dua pasang mata dengan warna serupa saling bersitatap. Api amarah berkobar dalam netra keduanya.

A Nightmare Becomes A MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang