Chapter 11: Looking Back

1K 184 64
                                    

Happy reading

&

Hope you enjoy

🌹❤

-----*-----

Tuas diputar dengan tergesa, membawa sekoci bermuatan anak-anak dan wanita turun ke permukaan air yang terasa menusuk indra peraba. Keadaan di atas geladak pun semakin kalut. Baju pelampung menjadi bahan rebutan–berserakan di lantai–padahal jumlahnya belum tentu cukup.

Suara tembakan kerap terdengar beberapa kali di sela kericuhan para penumpang. Sejumlah pria berseragam lengkap dengan pistol di tangan, berdiri di depan guna menertibkan penumpang yang saling berdesakan. Namun, tampak hal itu sia-sia karena kepanikan yang tercipta. Sang raksasa besi yang tampak paripurna pun seolah lelah menahan seluruh beban di atasnya. Anjungan yang menjadi moncong gagahnya, kini terbenam dalam pelukan sang samudra.

Kuchel berdiri di tengah-tengah kerumunan, bersama dengan calon menantunya. Kepala menoleh ke kanan dan ke kiri dengan perempatan halus timbul di dahi yang mulai berkerut. "Di mana Levi?" tanyanya pada Bella.

Bella mengedikkan bahu. "Entahlah, Bu. Aku tidak melihatnya sejak pagi tadi." Lengkungan miring terbit di wajah bak dewi. Kuharap kau menyesal telah meninggalkanku, Levi, batinnya bengis.

Tanpa diduga, netra cokelat madu justru menangkap dua sosok pengawal setianya. Bella pun berjalan ke arah Reiner dan Berthold–setelah meminta Kuchel untuk menunggunya.

"Di mana dia?" tanya Bella sambil berkacak pinggang. Aura penuh kuasa memancar dari dalam dirinya.

"Kami tidak menemukan Tuan Ackerman. Tapi, bocah itu kami tinggalkan di ruangan geladak F," jawab Reiner, disusul anggukan singkat oleh rekannya, Berthold.

Mendengar jawaban itu, lantas membuat Bella naik pitam. Tangan berayun dan mendarat dengan sangat keras di pipi kedua pria jangkung tersebut. "Kenapa kalian tidak membunuhnya sekalian? Bukankah sudah kuperintahkan untuk melenyapkan bocah jalang itu!" desisnya. Alis cokelat menukik tajam bersamaan dengan kilat amarah yang memancar dari netra cokelat madu.

"Maafkan kami, Nona." Reiner dan Berthold berujar sambil menatap ke lantai, enggan melihat wajah berang sang dewi. Pasrah dengan kemurkaan wanita jelita di hadapan mereka.

"Aku tidak mau tahu! Aku hanya ingin tunanganku kembali!"

-----*-----

Tangan saling menggenggam satu sama lain. Tubuh berdesakan di tengah kerumunan yang terus memberontak ingin dikeluarkan. Sepasang bola emerald menatap pria di sampingnya dengan binar kecemasan. Namun, genggaman tangan yang terasa sangat lembut seolah menenangkan dirinya.

"Keluarkan kami dari sini!" seru salah seorang penumpang wanita sambil menggendong anaknya yang masih balita. Eren menatap iba kepada wanita tersebut.

"Kami juga manusia yang harus kalian selamatkan! Sama seperti orang berada yang kalian utamakan!"

Suasana semakin kacau kala seorang kru kapal tidak membuka jeruji yang merupakan satu-satunya akses menuju jalan keluar. Alasan bodoh yang dia ucapkan pun tidak akan mempan meredakan emosi para penumpang di situ. Niat menyelamatkan penumpang wanita dan anak-anak kelas satu terlebih dahulu. Namun, ditutupi dengan dusta bahwa rakyat kelas tiga harus menunggu sampai suasana di luar jauh lebih kondusif. Apakah kapal ini terlalu miskin hanya untuk menyediakan perahu khusus rakyat jelata?

"Levi, kita harus bagaimana?" tanya Eren sambil meremas bahu Levi dan mengeratkan trench coat milik pria tersebut yang tersampir di tubuhnya.

A Nightmare Becomes A MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang