Happy reading
&
Hope you enjoy!
❤🌹
-----*-----
"K-kumohon Nona ... kau tidak perlu melakukan hal ini," mohon Eren, menatap manik cokelat madu di hadapannya dengan sorot mata penuh rasa takut.
Namun, hanya lengkungan miring yang terbit di bibir semerah darah menjadi balasan bagi permohonan sang pemuda. Satu telapak tangan pun mendarat dengan sempurna di pipi, menimbulkan suara lantang yang begitu menyayat. Bella kembali menjepit dagu tirus pemuda malang tersebut, membuat netra mereka saling bersitatap.
"Kenapa? Selama kau dan sampah yang ada dalam perutmu masih bernapas di sini, nasib kalian ada di tanganku!" Bella mengayunkan bilah rotan ke lengan kanan sang pemuda. Lolong penuh lara menggaung di ruangan hampa itu.
Belum selesai dengan rasa sakit di lengan kanannya, Eren kembali merasakan sengatan bengis itu pada dada bawah–dekat dengan perut. "K-kumohon ... ampuni aku, Nona. Kau boleh membunuhku, asalkan jangan anakku," mohon sang pemuda. Suatu gejolak menyakitkan dapat dia rasakan dalam pusat tubuhnya. Seolah sang janin dapat merasakan sakit yang diterima oleh ibunya.
"Membunuhmu? Tidak semudah itu, jalang. Bahkan ini belum lewat satu hari kita bermain." Gelak penuh kepuasan melantun nyaring dari mulut wanita bersurai sepinggang itu. Tanpa mempedulikan lelehan air mata yang membasahi wajah penuh luka, Bella kembali mengayunkan rotan ke beberapa bagian tubuh Eren.
Kulit eksotis bak porselen, kini dihiasi oleh garis-garis merah, bahkan menghitam. Tubuh dalam belenggu simpul tali digerakan dengan brutal–berusaha melepaskan diri. Namun, sekeras apa pun usaha Eren, ikatan itu terlalu kuat untuk tubuhnya yang semakin lemah dalam rangkulan penuh derita.
"Kumohon ... ampuni aku. Kau tidak perlu seperti ini ... Nona. Aku ingin kita berdamai saja," tawar Eren, berusaha memadamkan kobaran amarah dalam diri Bella. Kepala bersurai cokelat menunduk ke bawah–tidak berani menatap tampang berang wanita yang tengah menderanya. Namun, saat itu juga sang pemuda menerima rasa sakit yang teramat sangat akibat helaian selembut sutra menjadi sasaran penyiksaan.
Seringai bengis terukir di wajah terawat sang wanita. Bibir menyemburkan saliva, hingga mendarat pada wajah Eren yang begitu menyedihkan. "Jangan mimpi kau, jalang. Setelah kau merusak pertunanganku dengan Levi, mudah sekali mulut busukmu mengucapkan kata-kata semanis itu. Jangan salahkan aku kenapa kau berakhir seperti sekarang ini. Kaulah yang pertama kali mengibarkan bendera perang kepadaku!"
Rasa empati mungkin sudah lenyap dari hati sang dara. Tangan lentik kembali mengayunkan bilah rotan pada tubuh ringkih sang pemuda. Telinga seolah dia tulikan terhadap jerit penuh lara yang melantun dari mulut Eren.
Rasa sakit itu pun tidak hanya dirasakan di tubuh sang pemuda, tetapi hatinya juga ikut tersayat oleh kata-kata bak bilah pedang. Tidak hanya mulutnya yang menjeritkan permohonan ampun, tetapi juga hati turut menyuarakan nama seseorang. Seseorang yang Eren harapkan dapat menolongnya, walau dia yakin jeritan hati tidak akan sampai ke telinga pria bersurai hitam itu.
Levi ... sakit. Kau di mana? Levi ... Levi ....
-----*-----
Sang mentari bertengger penuh wibawa di puncak cakrawala. Debu tanah berbaur dengan udara kala pasukan itu melintas. Hari yang cerah sekaligus menjadi jawaban akan nasib di masa mendatang.
Pasukan kuda besi meluncur di jalanan lenggang dengan kecepatan penuh. Suara bising melantun dari mesin berbahan bakar bensin, terdengar begitu nyaring, membelah kesunyian yang menyergap tepi kota. Ban karet menggelinding di atas tanah berpasir. Sirine yang kerap mengumandangkan melodi nyaring, kini tidak menjalankan tugasnya dalam perintah seorang komandan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Nightmare Becomes A Memory
RomansaThe Colossus, kapal terbesar yang pernah dibangun oleh tangan-tangan manusia pada masa itu. Kapal yang menjadi impian umat manusia dengan semboyannya sebagai kapal yang tidak akan pernah tenggelam. Baik tua maupun muda, kaya maupun miskin, semuanya...