Hari yang Paling Berarti

344 27 5
                                    

"Abang pulang" sapa Johan ketika baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.

"Lah udah pulang bang? Tumben" sahut Robin tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Jarinya sedari tadi sibuk memencet-mencet layar ponsel dan Johan yakin adiknya ini lagi main game.

"Lo ini gimana sih? Abang pulang cepet dibilang tumben, abang pulang telat lo-nya marah-marah. Aneh"

"Ya abisnya kalau abang pulang telat kan ujungnya nggak ada yang bikin makanan buat Robin" Johan hanya memutar bola matanya malas mendengar jawaban adiknya.

Badannya udah terlalu lelah untuk diajak berdebat dengan adiknya.

"Kok sepi? Mama sama papa kemana?" Robin tiba-tiba saja meletakan ponselnya.

Cowok yang hanya berselisih umur satu tahun dengan Johan itu menghela nafas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Lagi semedi di kamar kali merenungi perbuatan masing-masing" jawab Robin membuat kening Johan berkerut.

"Mama sama papa berantem lagi?" Robin mengangguk menghasilkan satu helaan nafas panjang dari Johan.

"Kenapa?" Robin mengangkat kedua bahunya.

"Robin nggak mau ikut campur. Toh Robin juga masih kecil, nggak baik ikut campur urusan orang dewasa"

Ingin rasanya Johan berkata pada Robin, 'kecil apanya sih bin? Udah kuliah semester satu juga'. Tapi dia mengurungkan niatnya, karna dia tau sekarang bukan waktu yang tepat untuk becanda.

"Yang jelas sih tadi kata cerai sempet keluar dari mulut mama" jawab Robin, "Robin nggak tau jelasnya gimana. Kayaknya mama ngasih ultimatum gitu ke papa"

"Trus papa gimana?"

"Diem aja" Johan mengusap wajahnya kasar. Dia tau papanya itu memang orang yang cuek, dan minim ekspresi. Tapi setidaknya ketika sudah seperti ini seharusnya papa juga melakukan sesuatu.

Kadang Johan merasa kasihan sama mamanya. Selama ini terkesan hanya mama yang mempertahankan kelangsungan rumah tangganya, sedangkan papa bersikap biasa saja.

"Bang. Kalau kali ini mama sama papa cerai beneran, abang mau ikut siapa?"

Nafas Johan tercekat mendengar pertanyaan Robin. Johan memang yang paling tua diantara mereka bertiga, tapi bukan berarti kalau Johan nggak memiliki kekhawatiran yang sama seperti kedua adiknya, dia hanya nggak mau menunjukkannya saja.

"Kalau gue disuruh milih, jujur bang gue nggak bisa" ujar Robin lagi, "mendingan gue lenyap aja daripada disuruh milih ikut mama atau papa"

"Hush. Jangan ngomong gitu" ujar Johan tegas. "Mama sama papa nggak akan pernah pisah. Mendingan sekarang lo tidur biar ntar malem kita bisa jemput Lintang di bandara. Hari ini, Lintang pulang kan?"

Robin mengangguk. "Tadi katanya udah mau ke bandara tapi kaya ada upacara pelepasan gitu. Sekitar satu jam lagi berangkat katanya"

"Nah benerkan, kalau nggak molor dia bakalan sampai sekitar jam dua belas. Pokoknya lo harus nemenin abang buat jemput Lintang dan abang nggak mau ya lo cuma molor doang ntar di mobil"

Robin tertawa pelan, "ck. Iya-iya"





Johan terbangun ketika alarmnya berbunyi. Cowok itu bangkit, cuci muka lalu memakai jaketnya. Dia sempat mengecek  kamar mama dan papanya, tapi sepertinya mama dan papanya pergi lagi.

Johan menghela nafas, lalu melenggang menuju kamar Robin dan membangunkan adik nomor duanya itu. Mereka harus segera menjemput Lintang.

"Bin, buruan bangun kita jemput lintang sekarang" Robin mengerang pelan lalu bangun.

Siblings Goals °k-idolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang