"Jihaaaan,tolongin kakak dong"
"Jihaaaan"
Jihan meletakan pulpennya kasar di atas meja. Gadis itu bahkan sudah memakai earphone, tapi suara panggilan kakaknya yang menyebalkan masih saja masuk menyapa gendang telinganya.
Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Jihan keluar dari kamarnya dan hal pertama yang dia lihat adalah kakaknya yang lagi ketawa-ketawa sambil nonton TV dengan popcorn di tangannya.
"Kenapa sih kak manggil-manggil terus dari tadi?! Jihan kan udah bilang kalau besok Jihan ada ujian jadi jangan ganggu Jihan, ngeyel aja" ujar Jihan kesal.
"Hehe maaf-maaf. Kakak cuma mau minta tolong bentar abis itu kakak janji deh nggak bakal ganggu kamu lagi. Beneran" Bagas mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membuat tanda peace.
"Minta tolong apa?!" tanya Jihan ketus.
"Bikinin kakak mie dong, hehe"
Jihan membuka mulutnya kaget, jadi dari tadi kakaknya manggil-manggil cuma buat nyuruh dia bikinin mie? Sesuatu yang bahkan bisa dia lakukan sendiri???
"Ogah amat" tolak Jihan mentah-mentah. Gadis itu membuang muka dengan tangan bersedekap di dada, kentara sekali kalau masih ngambek.
Bukannya luluh, si kakak malah menyeringai. Satu ide jahil tiba-tiba saja terlintas di kepalanya.
"Ya udah sih kalau gitu uang jajan kamu yang dititipin mama ke kakak nggak bakal kakak kasih. Mama tadi baru aja transfer ngomong-ngomong" ujarnya santai.
Jihan menghela nafas kesal, dia menatap kakaknya tajam, sebelum beranjak ke dapur kemudian membuatkan mie untuk kakaknya. Sementara Bagas tersenyum penuh kemenangan. Jihan yang melihatnya cuma bisa ngedumel sendiri.
Boleh nggak sih Jihan berharap kalau kakaknya menghilang begitu saja?
Tapi faktanya, Jihan nggak menginginkan hal itu terjadi. Buktinya setelah mendengar kabar kalau kakaknya baru saja mengalami kecelakaan, Jihan langsung meluncur ke rumah sakit tempat kakaknya dirawat. Padahal dia lagi ujian.
Bodo amat dengan usahanya buat belajar semalaman, toh nanti juga ada ujian susulan. Kakaknya jauh lebih penting sekarang.
Tapi begitu sampai di rumah sakit, dia malah disambut dengan kakaknya yang asyik bercanda dengan teman-temanya - kak Willy, Kak Senja, dan kak Juna. Kakaknya itu bahkan sampai memegangi perutnya saking semangatnya ketawa, seolah lupa kalau kaki kanannya dibalut gips dan kepalanya yang diperban.
Jihan buru-buru mendekati kakaknya. Satu pukulan di tangan yang cukup keras dia hadiahkan kepada kakaknya membuat kakaknya juga teman-temannya terkejut.
"Loh dek kok kesini? Bukannya kamu bilang hari ini ada ujian?" tanya Bagas bingung
"Menurut kakak aku masih bisa ngerjain ujian dengan tenang setelah denger kabar kalau kakak kecelakaan? Kali ini kenapa lagi heum, ngantuk lagi?? Kakak tuh kenapa sih kalau ngantuk susah banget dibilangin jangan naik motor dulu??? Padahal biasanya juga nginep di rumah kak Senja, kak Juna atau kak Willy" Bagas terkekeh mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut adiknya yang bagaikan rangkaian gerbong kereta api.
"Iya-iya maaf kakak ngaku salah. Kakak tuh buru-buru soalnya pengen jemput kamu, sekalian mau ngasih kamu kado biar kamu makin semangat ngerjain ujian. Nggak taunya malah kecelakaan. Mana kadonya rusak lagi, padahal lumayan tuh harganya" ujar Bagas.
"Dibilangin gak usah kasih-kasih kado lagi juga, aku tuh bukan anak kecil. Apalagi kalau sampai bahayain diri kakak sendiri. Aku nggak suka ngerti nggak???" omel Jihan kesal. Gadis itu hampir menangis saking kesalnya.