Tak tak tak
Suara pisau yang sepertinya sedang memotong sesuatu itu terdengar nyaring di dalam rumah ini. Wajar saja, hanya ada dia, seorang diri di rumah ini.
"Mungkinkah harus ku tambahkan wortel atau sawi? " gumamnya.
"Ahh tidak usah, sehabis ini..." dia tampak berpikir, "membuat jus alpukat saja. "
Setelah semuanya selesai, dia duduk manis di bangku meja makan lalu segera memakan masakannya sendiri.
Tes
Satu air mata berhasil lolos dari kelopak matanya yang indah. Ia mengulum bibirnya.
Mengingat wanita iblis itu membuatnya marah sekaligus sedih. Kenapa ayahnya sungguh bodoh untuk mencarikan sosok ibu pengganti untuknya?
Ahh, sungguh memuakkan!!
Bahkan ia sampai terusir, diasingkan seorang diri di rumah yang sederhana ini.
Clarine membuka tutup obat di sampingnya lalu meminumnya. Obat penambah darah. Ahh, dia kehilangan banyak darah akhir-akhir ini karena terlalu stress.
Sedikit melirik sayatan di lengan kirinya yang hampir kering, Clarine berencana untuk mencari seorang psikiater. Dia sudah merasa bahwa gangguan jiwa melekat di dirinya kurang lebih dua tahun ini.
Meskipun tiada yang peduli, namun setidaknya dia merawat dirinya sendiri.
***
"Sekian materi pada hari ini, terima kasih atas perhatiannya. Jangan lupa untuk terus semangat dan berdo'a, selamat siang! "
"Siang bu! "
Setelah bu Siska keluar dari ruangan, suasana ricuh kembali. Siapa lagi kalau bukan karena gara-gara Alisty, sang primadona kelas yang suka menebar-nebar pesona. Clarine sampai merasa jengah.
Menurutnya Alisty itu memang cantik, tapi bodoh. Seharusnya kecantikannya ia jaga, bukannya diumbar-umbar seperti itu.
Membuka buku cerita bergenre gore, Clarine mulai membaca dengan lollipop kecil menyumpal mulutnya. Lagi pula tidak akan ada yang mengganggunya, kecuali untuk membully.
Terkekeh, Clarine membayangkan jika dia menjadi pemeran utama di cerita itu. Seorang yang sadis. Psycopath. Namun itu tidak mungkin terjadi. Dia hanya bisa sebatas melukai dirinya sendiri, bukan orang lain.
Saat bel pulang berbunyi, Clarine segera mengambil tasnya dan pulang.
Jalanan kali ini macet, membuat hawa panas semakin terasa. Ia memutuskan untuk pergi ke danau sebentar. Mencari udara segar nan sejuk.
Clarine duduk di bawah sebuah pohon besar dekat danau. Dia menyenderkan punggungnya dan menghela napas panjang.
"Ibu, kenapa kau meninggalkanku begitu cepat? " air matanya mulai menetes, "seharusnya ibu mengajakku waktu itu. "
Clarine membuka resleting tasnya dan mengambil sebuah pisau lipat. Saat ujung pisau baru sedikit menggores, ada yang merebut pisau itu.
Clarine terlonjak lalu menatapnya.
"Kamu? "
"Bodoh! " pria itu memasukkan pisau lipat itu ke dalam saku celananya.
"Kamu yang waktu itu di toko buku, kan? " tanya Clarine.
Tak menjawab, pria itu malah mengeluarkan plester dan menempelkannya di luka Clarine. Clarine mengerutkan keningnya.
"Kamu siapa? " tanya Clarine lagi.
Pria itu hanya menjawabnya dengan tatapan kosongnya. Sedetik kemudian dia berbalik lalu melangkah pergi. Clarine mengejarnya.
"Hey! "
"Kenapa? "
Akhirnya pria itu bersuara. Clarine melirik name tag di bajunya.
"Elvano Girofy. " gumam Clarine.
Pria itu merapatkan jaketnya. Tak suka.
"Panggil aja Elvano, " ucapnya.
Clarine mengangguk sambil tersenyum lebar. "Gue Clarine, "
Elvano hanya mengangguk singkat.
"Melukai diri sendiri adalah hal yang paling bodoh. " ucapnya tenang.
Clarine terpaku sejenak lalu tersenyum masam. Ia mengangguk dua kali membenarkan perkataan Elvano. Dia memang bodoh, dan karena bodoh itulah dia dengan mudahnya disingkirkan dari keluarganya sendiri.
"Iya gue tahu, makasih. "
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Danger ✓
FanfictionENDING✓ Bagaimana jika sesuatu atau seseorang yang berbahaya berada didekatmu? Ketakutan? Oh tidak!! Tidak bagi Clarine. Dia malah begitu menyukainya bahkan mencari-carinya. Keinginannya itu terwujud ketika bertemu dengan Elvano di toko buku. Elva...