Pagi ini terasa dingin, langit lumayan mendung. Secangkir kopi arabica terlihat mengepul di hadapannya, bersama laptop yang menyala.
Empat tahun berlalu dengan cepat. Kini kebahagiaannya lengkap sudah. Keluarga, teman, pendidikan dan kekasih. Setelah semua peristiwa-peristiwa yang menguras air mata dan memberikan luka, kini terhapus dengan setitik kebahagiaan yang semakin lama semakin meluas.
El, lelaki itu. Lelaki yang paling dibencinya selain Bara, mendadak menghilang begitu saja. Namun hingga kini masih saja membiayai kuliahnya.
Sebenarnya Clarine rindu hanya saja, tertutup dengan kenyataan yang menamparnya. El dan Bara, mereka hanya kebetulan menemukannya dan pura-pura melindunginya. Mereka menggunakannya sebagai perantara untuk membunuh satu sama lain.
Tidak sadar Clarine berdecih. "Cihh, dasar psikopat gila!"
Meski pesan itu sudah ia hapus, namun isinya masih teringat jelas di otaknya.
"Clarine, ini Bara you know. Hanya memberitau informasi yang sebenarnya. El dan aku hanyalah seorang psikopat, si gila haus darah. Kami kebetulan sama-sama menemukanmu. Kami sama-sama mengira bahwa kamu adalah bagian terpenting dari salah satu antara kami. Maka dari itu kami sama-sama menginginkanmu untuk memancing satu sama lain agar ada yang masuk ke dalam perangkap dan mati. Jadi, jangan pernah menganggap kami baik padamu, apalagi tulus. Kami berbuat baik hanyalah berpura-pura, not real. Ok, itu aja yang nyangkut soal kamu. Soal kejadian yang lain, tidak menyangkut kamu jadi tidak akan aku ceritakan. Soal identitas, aku yakin kamu bisa merahasiakannya. Satu lagi, soal Erick si cupu itu. Jangan terlalu percaya padanya.
Selesailah pesan ini, tetaplah hidup dan waraslah!
-Bara."
Ughh mengingatnya saja menyebalkan. "Kamu kenapa?" Seorang lelaki datang dan duduk di hadapannya, habis dari toilet.
"Gapapa, bernostalgia aja." jawab Clarine sambil tersenyum.
Lelaki itu, adalah lelaki yang menghampirinya waktu itu. Waktu dia meninggalkannya begitu saja saat lelaki itu baru saja duduk. Tempatnya di kafe ini juga, di tempat duduk yang sama pula. Kini lelaki itu menjadi kekasihnya. Mau menerimanya apa adanya. Lelaki itulah juga penyembuhnya, karena dia adalah seorang psikolog. Umur mereka terpaut tiga tahun.
"Nostalgianya yang hal senang-senang aja."
"Iya Al, "
Namanya hampir mirip juga dengan El. Elvano dan Alano. El dan Al. Siapa juga yang tidak teringat pada El jika seperti ini.
"Aku senang kamu udah sembuh. Besok terakhir kalinya kamu aku cek ya, terapi terakhir kali."
"Siap bos!" jawab Clarine sambil mengacungkan jempolnya.
Kini Clarine mengalihkan pandangannya ke arah luar. Sudah gerimis. Tiba-tiba Clarine melihat sosok yang tidak asing. Clarine tergelak dan langsung pergi keluar, menghampiri orang itu.
"Kamu mau ke mana, Clar?" tanya Al. Karena tidak dijawab, maka Al membuntutinya.
"Tunggu!" teriak Clarine. Akhirnya orang itu mau berhenti. Clarine berhenti sekitar tiga langkah darinya, jantungnya berdegup kencang.
Setelah napasnya teratur, Clarine mencoba mengeluarkan suaranya. "El?"
Saat menyebut namanya, entah kenapa mata Clarine langsung berkaca-kaca. Sosok itu berbalik, lalu menurunkan topi hoodienya.
"Kamu..." Clarine membekap mulutnya tak percaya. El yang selama ini menghilang, muncul sendiri di hadapannya. Tiba-tiba Clarine memeluk El dengan erat. El membiarkannya saja, tak membalas juga tak melepas.
Clarine memang membencinya, sangat benci. Tapi bagaimanapun juga, El sangat baik padanya walau hanya berpura-pura. "Aku benci kamu El, hikss."
"Bunuh aku aja kalau benci, kenapa nangis?" tanya El geli.
Namun Clarine masih sibuk dengan acara nangisnya, tidak menjawabnya. Clarine tidak berubah, masih rapuh dan juga cengeng. Satu yang berubah, kini dia normal dalam artian benar-benar sudah normal. El lega kini Clarine sudah waras.
"Kamu ke mana aja?" kini Clarine melepaskan pelukannya. Matanya yang sembab menatap mata El dalam-dalam.
"Ku pikir kamu sudah sembuh,"
"Hah?" tanya Clarine tak mengerti.
"Kenapa orang waras memikirkan psikopat sepertiku?"
Clarine malah tertawa. "Psikopat mana yang mempunyai sikap baik?"
Keduanya tertawa kecil.
"Clar!"
Keduanya mengalihkan pandangan. Al datang dengan napas ngos-ngosan, menghampiri mereka berdua. Al bertanya saat melihat El. "Siapa dia?"
"Dia..."
Al menyipitkan matanya saat menatap El yang juga menatapnya. "...El."
"Oh, teman kamu?" Al mengalihkan pandangannya ke arah Clarine sambil tersenyum manis. "Kamu kenapa nangis?"
"Iya, gapapa kok."
"Kamu pacarnya?" tanya El pada Al. Al mengangguk mantap. El kini menghadapkan tubuhnya ke arah Clarine, "tugas aku sebentar lagi selesai jagain kamu, mungkin sampai lulus kuliah. Kamu baik-baik ya, ini mungkin terakhir kali kita bisa ketemu." sambil tersenyum tipis.
"Kamu mau ke mana, ngapain?"
"Biasa, berburu mungkin?" lalu tertawa.
"Masih untuk Bara?" Maksudnya Clarine bertanya apakah El masih memburu Bara agar Bara mati?
"Uhm, mungkin ya mungkin tidak. Dia cupu, sembunyi. Mungkin itu buruan terakhir." Kini El menghadapkan tubuhnya ke arah mereka berdua. "See you, ya kalian!" Lalu berbalik dan melangkah pergi.
Clarine dan Al pun berbalik dan melangkah pergi. Namun baru tiga langkah, Clarine berhenti melangkah dan berbalik. "El!" panggilnya.
El menoleh. "Dada, terima kasih dan hati-hati." kata Clarine.
El mengangguk kecil dan tersenyum singkat lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Jujur, Clarine ingin El tetap tinggal di sisinya. Namun, kini sudah ada Al yang bisa menjaganya. Clarine juga tidak bisa memaksa El.
Mungkin inilah perpisahan yang sebenarnya.
Suatu saat nanti... El pasti akan sangat ia rindukan karena bisa dibilang mustahil bagi Clarine untuk bisa menemukan dimanakah keberadaannya.
"Ayo, udah mulai deras ini. Nanti aku anterin kamu pulang ya sekalian aku mau ketemu Ayah."
"Iya."
Clarine melangkah berlawanan arah dengan El. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk mengamati El terakhir kalinya. Ya, untuk terakhir kalinya.
_END_
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Danger ✓
FanfictionENDING✓ Bagaimana jika sesuatu atau seseorang yang berbahaya berada didekatmu? Ketakutan? Oh tidak!! Tidak bagi Clarine. Dia malah begitu menyukainya bahkan mencari-carinya. Keinginannya itu terwujud ketika bertemu dengan Elvano di toko buku. Elva...