Sweet Danger eps 22

517 28 0
                                    

Sebelum menuju ruang UGD, mereka membeli cemilan di kantin.

"Kamu minumnya apa?"

Bara memilih-milih minuman yang ada dalam pendingin, menyesuaikan apa yang cocok dengan lidahnya dan lidah Clarine.

"Apa aja kak, aku doyan semua kok, " Clarine meringis, menunjukkan gigi kelincinya yang imut.

Selesai, mereka berjalan menuju tempat tujuan. Mereka duduk di kursi tunggu sambil berbincang-bincang.

"Oiya, bukannya kamu punya Ibu tiri, di mana dia? "

Clarine tersenyum sambil menggeleng. "Entahlah, aku tak peduli dengannya. " jawaban yang acuh tak acuh.

"Sekarang banyak orang sakit, ya, Ayah kamu sampai belum dapat kamar inap. "

Benar. Clarine mengangguk.

Clarine bangkit dari duduknya, izin untuk masuk memeriksa Ayahnya. Bara menunggu di luar dengan tatapan gemas. Kenapa sih, Clarine harus peduli dengan orang yang selama ini jahat padanya. Bara berdiri saat Clarine berteriak. Dengan sigap Bara memanggil dokter dan menenangkannya.

"Ayah kenapa... " gumam Clarine di sela tangisannya.

Mereka menunggu di luar. Herman sedang ditangani oleh dokter dan beberapa orang perawat. Bara mengusap pundak Clarine perlahan sambil mendengus pelan. Hidup hanya untuk membuatnya menangis dan menderita, kenapa Herman tak sekalian mati saja?

Tas sekolahnya dan tas milik Clarine ia letakkan di samping kursi. Cewek ini terlalu lelah menangis sehingga tertidur. Pria berbaju putih dan beberapa perempuan yang memakai topi seperti kapal pun belum keluar, lama sekali. Jika mati ya mati saja tidak perlu repot-repot menolongnya.

"Bagaimana, dok? " tanya Bara saat sang dokter sudah keluar.

"Kondisinya semakin kritis, butuh donor darah secepatnya. Untung pihak rumah sakit masih memiliki persediaan,"

"Apa perlu biaya tambahan? "

Sang dokter menggeleng, "tidak, tidak perlu. Biaya yang dikeluarkan sudah sangat memfasilitasi seluruh kebutuhan pasien. Saya permisi dulu, "

Menghela napas jenuh. Bara terlalu mengulur waktu. Clarine pasti merasa berhutang budi pada cowok gila itu.

***

"Door! "

El menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan teman sekelasnya itu. Apakah dia mengikutinya?

"Yah, tetep aja datar! Iya, gue ngikutin lo soalnya gue penasaran." Laki-laki bernama Sean itu mengerti arti raut wajah sahabatnya. Perlahan dia mengikuti arah pandang El. Senyum mengejeknya timbul.

"Lo cemburu, ya? "

Lelaki di sampingnya ini tetap diam. Sean menepuk pundak El pelan seraya berkata. "Cewek itu keliatan rapuh banget. Gue tau lo keras tapi cewek itu suka sama cowok yang lembut. "

"Gue nggak suka sama dia! "

"Iyain aja, " Sean mengangguk sambil mengamati Clarine dan Bara, "cowok itu tulus kayaknya, "

"Lo nggak sadar kalo lo berisik?" El mencebik.

Sean terkekeh. "Ternyata lo masih gay, ya. Uhhh, bebebku... "

Mencibir dalam hati, El berlalu meninggalkannya yang malu-maluin saja. Kalau bukan sahabatnya sejak lima tahun yang lalu pasti sudah ia remukkan otaknya yang konyol itu.

***

Bermalam di rumah sakit lagi.

Bara sudah ia suruh pulang dua menit yang lalu. Takut merepotkan. Kalimat dari mulut Bara masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Emang kenapa, kan aku udah bilang buat jadi tameng kamu. Oiya, tadi pagi sarapan dan jaketnya dari aku. Nggak usah dikembaliin, buat kamu aja. "

Tidak ada yang aneh memang dari kata-katanya. Namun jika sarapan dan jaket itu dari Bara, maka suratnya?

Dengan cepat ia membuka tasnya mencari surat itu.

'Maaf. Mungkin untuk melindungimu harus menumbangkan yang lain. See you~

TD'

Butuh berulang kali untuk mencerna maksudnya.

"El... " geram Clarine.

"Hm? "

Clarine menoleh dengan terkejut. Sosok El sudah ada di sini.

"Maksud surat ini apa, El? "

El menaikkan satu alisnya. Matanya melirik tulisan dan amplop yang dipegang Clarine. Oh, dia paham.

"Lo yakin surat itu dari gue? "

"Tapi dulu lo bilang--"

"Gue bilang apa? " tukas El cepat. "Gue emang suka menyiksa dan liat orang lain tersiksa. Tapi jika mereka udah kayak Ayah lo, gue lebih milih cepetan bunuh. Gue gemes aja gitu. Nggak sudi gue biarin mangsa gue ditolong obat-obatan,"

Mendesah bingung. Ini berarti El tidak pernah berniat menyelakai Ayahnya. Clarine menghapus air matanya dengan kasar.

"Lalu siapa pengirimnya?! " seru Clarine kesal. Muak sekali dia, memangnya bermain-main dengan nyawa itu lucu apa.

El melangkah, duduk di sofa samping Clarine. "Menurut lo? "

"Kalau gue ngerti kenapa gue tanya sih, El? " suara Clarine melemah.

Senyuman tipis El terbit. Akhirnya Clarine mengerti apa arti dari semua isi surat misterius yang ia terima. Pengirimnya? Tentu El tahu. Bukan dirinya yang pasti. Namun El memilih diam agar Clarine mengetahuinya sendiri. Kalau perlu, akan El buat pengirimnya mengaku di hadapan Clarine sendiri.

"Udah makan? "

Gelengan kepala adalah jawaban yang ia terima.

"Gue beliin dulu. Meski lo nggak laper, gue nggak mau tau. Makanan itu harus masuk ke tubuh lo, "

Kepala Clarine mengangguk pasrah. Tangannya mengelus pelan tangan Herman yang tampak lemah. Ia tak menoleh saat El keluar dari sini. Pikirannya kalang kabut. Entahlah, kapan ia bisa hidup normal lagi setelah mengenal orang psikopat.

***

Sweet Danger ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang