Gelap. Clarine perlahan-lahan membuka matanya. Kepalanya masih bersedut-sedut. Dimana dia sekarang?
Dia berbaring di sebuah ruangan, di atas kasur yang sebenarnya rasanya nyaman, empuk. Tangan dan kakinya terikat. Clarine mengedarkan pandangannya, menemukan lelaki itu--Erick--sedang terikat di sebuah kursi. Pandangannya menatap Clarine juga, sayu. Bibirnya mengukir senyuman tipis, meski hampir tak terlihat. Clarine tertawa lagi. "Kakak ngapain nolong aku? Percuma. " Lagi-lagi Clarine tertawa.
Erick diam. Sepertinya tenaganya sudah habis walau sekedar untuk berbicara. Hanya matanya saja yang masih kuat terbuka, berkedip menatap Clarine. Sepertinya tawa Clarine mengundang Bara untuk datang, mendekat menghampirinya. "Sudah bangun, ya? "
Tawa Clarine seketika berhenti. Dia menatap Bara malas. "Nggak tau, " jawabnya lalu memalingkan muka. Bara terkekeh melihat respon Clarine, lalu mengambil sesuatu dari atas meja di samping tempat Clarine berbaring. Seketika mata Clarine melotot, begitu juga Erick. Dengan bersiul-siul, Bara memeras benda itu--lemon--ke atas lukanya Clarine.
Clarine mendesis. Rasanya perih, sangat perih. Lukanya seperti digigit oleh semut-semut berukuran besar dan banyak. Clarine menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan perih.
Ketika lemon yang dipegangnya sudah habis kandungan airnya, Bara berjongkok, mencengkeram dagu Clarine agar wanita itu menghadap ke arahnya. Diamatinya wajah Clarine baik-baik. Pikirannya menerawang. Apa yang harus dilakukannya agar Clarine selalu menurut kepadanya? Bahkan Clarine sekarang sedang menutup matanya. Entah untuk menahan perih atau tidak mau melihat dirinya. Mungkin keduanya.
"Kamu cantik jika kayak gini, pantas psikopat itu selalu nyiksa kamu, " ucapnya lembut.
"Lo juga psikopat njing! " umpat Clarine meski masih menutup matanya. Mata Bara menegas mendengar hal itu.
"Berani nakal lagi, aku potong lho tangan kamu, "
Clarine mengalihkan pandangannya ke arah Erick berada saat Bara sudah melepaskan cengkeraman di dagunya. Dia membuka matanya perlahan. Cowok itu... lemah sekali. Sedangkan Erick juga menatapnya, sejak tadi hanya mengamatinya yang sedang merasakan perihnya lemon meresap ke dalam lukanya. Jahat sekali.
"Mata kamu, juga jangan nakal. Bolehnya cuma lihat aku aja, ya, nanti aku cemburu. " Bara memperingatkan Clarine karena mata gadis itu terus saja menatap Erick yang kini sekarat, mungkin.
"Dia nggak salah, lepasin dia. "
"No! " Bara melangkah mendekati Erick. "dia mengganggu kesenangan kita, Clar! "
Clarine ikut meringis saat Erick mendesis, menahan sakit karena Bara menjambak rambutnya kuat. "Dia pengganggu! "
Mata Bara terus menajam, seperti elang yang siap mencabik-cabik mangsanya yang lemah. Nafas Erick tidak beraturan, suaranya serak, seperti ingin berteriak namun tertahan, tidak bisa. Clarine membasahi bibirnya sebentar, lalu berkedip. Dilihatnya Bara dan Erick secara bergantian, lalu memikirkan taktik apa yang benar agar Bara mau berbaik hati melepaskan Erick, walau sepertinya mustahil.
Kring...
Suara handphone Bara yang berbunyi, menampilkan nada dering dengan lagu lullaby, lagu sedih setaunya. Baguslah, itu artinya Clarine mempunyai sedikit waktu lebih lama untuk memikirkan rencana brilian selagi Bara mengangkatnya. Akhirnya Bara sedikit menjauh dari mereka.
Clarine mengamati Bara sekali lagi. Ughh, lebih buruk ekspresinya dibanding tadi. Sedikit susah berpikir disaat-saat seperti ini, apalagi tangannya yang terikat tidak bisa diam sedari tadi karena refleks terus bergerak menahan perihnya air lemon.
"Fuck! "
Clarine hanya melirik Bara yang mengumpat, entah karena apa. Selanjutnya dia melanjutkan berpikir lagi. Tidak peduli. Bagusnya, Bara kini melangkah keluar ruangan, ditandai dengan bunyi pintu yang menutup dengan keras dan kode pintu canggih--yang entah namanya apa Clarine tak tau--berbunyi klik. Kini Clarine menatap Erick dengan sorot guyon, "Kakak belum mati, kan? "
Edan emang.
***
Perlahan demi perlahan. Tahap demi tahap. Step by step.
Menyebalkan memang. Padahal dia tidak ingin bermain belakangan ini. Dia pun memutuskan untuk cuti selama satu bulan penuh ini, namun ada saja yang mengajaknya bermain. Seru, sih tapi males aja kalau nggak bilang-bilang dulu. Kesannya sangat tidak sopan.
El sedikit mundur, menempelkan diri ke tembok, di bawah pohon mangga, di samping rumah eksekusinya Bara. Setelah menghancurkan banyak cctv dan jebakan-jebakan lucu dari sang pemilik rumah, akhirnya sang tuan rumah keluar juga. Hehe, nggak sia-sia. Lagian masang alat pengaman sama jebakan kok cupu gitu, maling pemula juga lolos kali.
Bara mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumahnya, menatap awas setiap sudut. Jika banyak alat yang rusak seperti ini, dia dapat memastikan pasti yang menyelinap di rumahnya bukan orang sembarangan. Bahkan orang itu bisa lolos dari sinar laser yang jika mengenai kulit, maka kulit itu langsung terbakar. Sinar laser dirumahnya pun jumlahnya sangat banyak dan disetiap sudut bangunan ada, siap membunuh siapapun orang asing yang tidak datang bersamanya. "Keluar pengecut! " teriak Bara sambil menggerakkan matanya kesana-kemari, mencari keberadaan sang penyelinap sinting.
"Ogah, nyuruh-nyuruh. Lu siapa?! " jawab El pelan sambil membuka bungkus permen, lalu memakan permen berwarna-warni itu.
"Woy! "
"Hm? "
"Keluar lo! "
"Males,"
"Cupu lo! "
"Ah masa? "
El terkekeh sendiri menyadari tingkahnya. Menjawab semua perkataan Bara dengan suara pelan, seperti berbicara dengan angin. Lawan bicaranya sama sekali tidak menyadarinya. Sinting emang. Orang nggak peka kayak gitu kok dapat gelar psikopat, nggak pantaslah. Nyium aroma tubuhnya aja nggak bisa, hiih. Padahal El tadi sengaja menggunakan parfum yang banyak agar Bara bisa cepat menemukannya dan segera menyelamatkan boneka kesayangannya. Tapi malah yang dikode nggak peka, uhh sakit. Cari doi lain aja deh.
Karena hanya angin yang menjawab teriakannya, Bara segera menuju ruang koleksi senjatanya. Dia harus memilih senjata yang langka kali ini, musuhnya memang spesial.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Danger ✓
FanfictionENDING✓ Bagaimana jika sesuatu atau seseorang yang berbahaya berada didekatmu? Ketakutan? Oh tidak!! Tidak bagi Clarine. Dia malah begitu menyukainya bahkan mencari-carinya. Keinginannya itu terwujud ketika bertemu dengan Elvano di toko buku. Elva...