Bara masih setia duduk di samping Clarine, menemani gadis itu merawat Ayahnya. Merasa hening, Bara berdehem, membuat Clarine menoleh lalu tersenyum.
"Kakak bosan, ya? "
Tepat sasaran! Bara mengerjapkan matanya lucu beberapa kali. Clarine tertawa kecil lalu mengajak Bara keluar ruangan. Mereka kini duduk di kantin rumah sakit, memesan dua gelas es teh dan beberapa cemilan.
"Sekarang, udah nggak terlalu sumpek, kan? "
Bara tersenyum, "Aku nggak bilang sumpek tadi, kayaknya. "
"Iya, tapi aku tau kakak jenuh disana. Terkadang aku pun juga kayak gitu, " terdengar helaan nafas berat di sana.
Dengan pelan, Bara mengusap rambut Clarine. Gadis itu nampaknya sudah mulai waras, tidak ada sayatan lagi di tangannya. Baguslah, Bara juga tidak mau gadisnya terluka sedikitpun walaupun luka adalah kesukaan gadisnya.
***
Cerah sekali. Jarang sekali ada awan di atas langit sana. Gadis berkuncir kuda itu nampak merapikan poninya dan mengolesi bibirnya dengan lip tint. Setelah di rasa sempurna, dia berdiri, berjalan keluar kelas. Dia ingin menemui seseorang yang sejak lama dipujanya, yang kini berada di lapangan basket memantul-mantulkan bola berwarna oranye. Tak lupa sebotol air mineral ia bawa.
Untung saja kasus teror aneh itu sudah ditutup karena tak ada teror berkelanjutan. Jadi, dia tidak perlu repot-repot meladeni para polisi dan detektif yang sok pintar itu. Lagipula luka di telapak kakinya itu sudah sembuh sejak dua hari yang lalu. Tidak berbekas juga, karena ia oleskan salep khusus. Syukurlah, kakinya kembali mulus.
Waktu yang tepat. Setibanya di lapangan, Bara dan teman-temannya menepi, mengakhiri permainan, memutuskan untuk beristirahat. Dengan sigap, Stevy menghampiri Bara dan menyodorkan air mineral yang dibawanya.
"Makasih Stev, udah mau repot-repot." Bara tersenyum dan meneguknya hingga setengah.
"Ahh, nggak repot kok. "
Mereka berdua menjadi tontonan para murid yang melintasi lapangan. Stevy pun bersikap sok cantik, seolah Bara adalah miliknya, membuat orang-orang salah paham atas hubungan mereka.
"Balik yuk ke kelas, panas. Kasian kulit kamu."
"Emangnya udah selesai mainnya? " Stevy mengedarkan pandangannya, melihat teman-teman Bara yang mulai meninggalkan lapangan.
"Udah kok, ayo! "
Stevy menurut, berjalan di samping Bara dengan anggun. Kebetulan sekali berpapasan dengan si ulat bulu--panggilannya untuk Clarine. Stevy merapatkan tubuhnya kepada Bara, tak peduli dengan keringat Bara yang bercucuran. Dengan senyuman miring, mereka melewati Clarine yang diam menatap kepergian mereka dengan sorot kecewa.
"Mereka pacaran, ya? " gumam Clarine.
***
Clarine memekik kaget saat klakson mobil terdengar nyaring di telinganya. Dia berbalik sambil mengelus-elus telinganya yang rasanya hampir pecah. Ada kepala yang menyembul di kaca, lalu mengisyaratkan Clarine untuk masuk ke dalam mobil. Masih bersungut-sungut, Clarine masuk, duduk di samping kemudi. Dua detik kemudian mobil berjalan dengan kecepatan sedang.
"Tumben nongol? " sindir Clarine. Dasar orang ini, kayak jailangkung aja. Datang nggak diundang, pulang nggak diantar. Sebentar ada, sebentar hilang. Apasih maunya?
"Gue selalu ada. Ngawasin lo dari jauh, "
"Maaf tuan, saya bukan anak kecil yang perlu diawasi, " respon Clarine dengan nada jenuh.
El diam saja. Membiarkan gadis di sampingnya ini menggumam semaunya sampai lelah dengan sendirinya. Terbukti. Setelah hampir lima belas menit menggumam tidak jelas, kini Clarine sudah duduk anteng di sampingnya sambil melihat pemandangan yang di lewati. Dia pun diam saat El tidak membawanya ke jalan menuju rumahnya atau ke rumah sakit melainkan ke mansion rahasianya. Sepertinya dia sudah tau akan dibawa ke mana.
"El? "
El hanya berdehem menanggapi.
"Lo... pernah jatuh cinta nggak? "
Dahi El mengerut. Pertanyaan semacam apa itu. Tentu saja...
Tidak!
Perasaannya saja rasanya sudah mati. El tidak tau bagaimanakah itu rasa sedih, kasihan, bahagia, apalagi jatuh cinta. Kalau rasa puas dan kesenangan sih, masih ada selama ia melakukan apa yang ia suka.
"Nggak! " jawabnya singkat.
Bahu Clarine menurun lemas. Sepertinya ia tidak puas dengan jawaban El. Clarine kembali menyenderkan punggungnya dan diam lagi. Tak peduli akan tingkah Clarine, El memarkirkan mobilnya karena sudah sampai lalu turun begitu saja tanpa menengok ke arah Clarine sedikitpun. Clarine semakin jengkel. Ia turun dari mobil lalu menutup pintu mobil dengan keras sehingga menimbulkan gema karena di sini sepi. Dekat hutan pula. Masuk ke dalam mansion pun dengan kaki yang dihentak-hentakkan sambil menyatukan alis, cemberut.
"Sini! " Perintah El sambil melambaikan tangannya.
Clarine menurut, menghampiri El. Namun langkahnya terhenti saat ia tahu El akan mengajaknya ke sini.
Oh, no! Ruangan ini...
Collection?
Nggak! Cukup sekali saja ia masuk ke ruangan itu. Memandang pintunya saja sudah membuat perut Clarine mual. Clarine mundur pelan-pelan sambil menggelengkan kepalanya. El menghela napas malas, lalu menggapai tangan Clarine. "Gue udah punya koleksi baru, baguuus banget. Masa lo nggak mau masuk, sih? "
Cukup sudah!
Salahkan rasa iba ini. Selama ini El selalu membantunya, dan ekspresi El saat ini... ugh, Clarine tak bisa menolak permintaannya. Walaupun ia akan menutup mata nantinya, tak masalah. Yang penting El senang dan tidak marah saat ini. Bisa-bisa dia sendiri jadi salah satu koleksi milik El di ruangan ini nanti. Dia kan masih ingin hidup!
Setelah ruangan terbuka, mereka masuk ke dalamnya. Tak lupa pintu di tutup kembali. Tak seperti dulu yang cahayanya mencukupi, kini cahayanya hanya remang-remang. Memperlihatkan suasana suram yang mendalam--menurut Clarine.
Tak ada yang berubah selain itu. Bau anyir seolah menyambut kedatangan mereka. Oh, tidak hanya itu. Sepasang bola mata berwarna hazel juga menatap ke arah mereka, seperti menyapa lewat tatapan.
"Mana sih, El, yang baru? " tanya Clarine tak sabaran. Jujur, dia sudah mulai mual saat ini.
El mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu, "Itu! "
Clarine menyipitkan matanya, mencoba menyesuaikan penglihatan dengan cahaya yang minim. Namun nihil. Hanyalah kegelapan pekat yang dilihatnya. "Apaan sih, gelap, nggak kelihatan."
El berdecak, lalu menghidupkan lampu cadangan. Kini Clarine bisa melihat koleksi El yang mengerikan dengan jelas. Namun Clarine bingung, apa itu?
"Itu... rambutnya siapa? "
Di dekat kuku tangan berwarna-warni itu, terdapat rambut yang sangat indah. Rambutnya lurus, berkilau, diwarnai dengan warna hitam campur ungu, diombre. Tampak sangat terawat. Clarine sampai iri melihatnya. Ingin rasanya dia menghampiri rambut itu dan membelainya. Namun sayang, El tak memperbolehkannya. Sialan El ini! Buat apa cuma menunjukkannya tanpa boleh menyentuhnya. Nggak guna!
"Nanti juga tahu, "
Clarine hanya mengangguk-angguk tak peduli. Setelahnya Clarine beralasan ingin segera makan karena dengan gilanya El ingin mengajaknya ke ruang mutilasi. Ya jelaslah Clarine tidak mau. Edan apa?
Emang iya!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Danger ✓
FanfictionENDING✓ Bagaimana jika sesuatu atau seseorang yang berbahaya berada didekatmu? Ketakutan? Oh tidak!! Tidak bagi Clarine. Dia malah begitu menyukainya bahkan mencari-carinya. Keinginannya itu terwujud ketika bertemu dengan Elvano di toko buku. Elva...