Sebelum membaca, harap memberi vote ⭐agar saya semangat buat ngetik. Gratis kok, santuyy. Nggak usah sok pelit, nanti kuburannya sempit wkwkwkwk.
Let's go to reading :)
***
Makanan di atas meja itu dibiarkannya dari mengepul hingga kini jika disentuh rasanya dingin. Hanya matanya saja yang menatap makanan itu, lidahnya serasa menolaknya, hanya menerima segelas susu masuk menuju lambungnya sekadar untuk mengisi energi pagi ini.
Brakk
Clarine mengalihkan pandangannya. Dilihatnya El dengan matanya yang sayu. El melipat kedua tangannya di depan dada, melihat Clarine dan bubur serta sayuran itu bergantian sambil berdiri di ambang pintu. "Nggak suka? " tanyanya ketika melihat makanan itu masih utuh, tak tersentuh.
"Hambar, " jawab Clarine sambil memasang raut muka memelas, bibirnya melengkung ke bawah.
El masuk dengan sedikit tertatih. Meski sudah terbiasa terluka seperti ini, namun kali ini jauh lebih nyeri dari biasanya. Kekuatan Bara memang tidak bisa diremehkan begitu saja. El mendudukkan dirinya di sofa mini, dekat pintu masuk dengan hati-hati. Selang infus sungguh mengganggunya bergerak bebas. "Mau mati dulu baru ketemu Ayah lo? "
Clarine tergelak. "Nggak gitu, " sambil memanyunkan bibirnya sebal. Siapa juga yang mau makan bubur tanpa bumbu kayak gitu dengan senang hati?
Pasti lebih gila darinya.
Sejenak Clarine menggaruk-garuk kepalanya seperti orang utan lalu menguap panjang. Dirinya masih ngantuk. Padahal malam ini tidurnya nyenyak.
"Jangan tidur kayak orang diabetes pagi-pagi begini, " komentar El cepat. El menggigit buah apel hijau yang entah sejak kapan dan darimana dia mendapatkannya. Suara kunyahannya terdengar jelas di rumah yang sepi seperti ini.
"Eh, kak Erick gimana? "
"Nggak tau. " sambil mengedikkan bahu santai.
"Yang penting udah diberi sarapan, kan? "
"Iya. Mungkin, " jawabnya acuh tak acuh.
Clarine mengerutkan dahinya dalam, "El, serius ini. "
"Singkirin rasa peduli lo itu, nggak guna ngerti? "
"Kan dia udah nolongin aku, "
"Selama lo nggak minta dia buat nolongin lo, nggak usah ngerasa bersalah. Itu salah dia sendiri."
"Dia baik, makanya mau rela nolongin aku. "
"Bukan baik, tapi munafik. Pasti ada maunya, "
"Berburuk sangka nggak baik, El."
"Ke realitas aja, nggak usah drama. "
"Ya udah." kata Clarine mengalah, malas mengisi pagi dengan berdebat seperti ini. Mana perutnya keroncongan lagi, ditambah banyak bicara yang semakin membuang tenaganya.
Apel hijau itu, yang kini tersisa biji dan bagian dalamnya yang tidak enak dimakan, melayang menuju tempat sampah dan mendarat dengan tepat. "Makan, nanti lo pulang diantar sopir gue. Ingat, jangan pernah bawa Ayah lo ke sini kalau nggak mau dia kenapa-napa. " El memperingatkan Clarine sebelum dirinya bangkit, berjalan dengan pelan-pelan keluar dari sini. Mengabaikan jawaban pelan berupa kata 'ya' dari mulut Clarine.
***
Jam delapan pagi.
Erick menatap tangannya yang diinfus sambil mengunyah sisa sayuran di piring. Tadi malam dia tidak pulang, siapa yang menjaga Ibunya, dan bagaimanakah kondisinya?
Pasti Ibunya sangat khawatir. Dia ingin pulang tapi, tidak dalam kondisi seperti ini. Bergerak saja rasanya sangat perih, apalagi memeluk Ibunya sambil menjelaskan semua yang terjadi. Belum lagi Ibunya belum tentu percaya dengan apa yang akan diceritakannya nanti.
Erick mengangkat pandangannya saat seorang pembantu memasuki ruangan ini dengan segelas minum air putih dan beberapa obat. "Ini obatnya Tuan, saya permisi dulu. "
Pembantu itu meletakkannya di samping gelas susu yang kini kosong. Gelas kosong itu diambilnya diganti dengan segelas air putih dan kembali keluar setelah membungkuk sopan. Erick mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Obatnya akan ia minum jam sepuluh saja, karena hanya diminum dua kali sehari. Lagipula dia sehabis minum susu.
Sayuran di piringnya sudah habis. Erick meletakkan kembali piring itu di atas meja. Ada telepon genggam di ruang tengah seingatnya, sepertinya dia harus ke sana untuk mengabari Ibunya dan memberikan alasan kenapa dia tidak akan pulang selama beberapa hari ini.
Dengan gerakan pelan dan hati-hati, Erick beranjak dari atas tempat tidur dan melangkah menuju ruang tengah.
"Mau ke mana? "
Erick menoleh, lalu tersenyum kecil. El sedang rebahan santai, menonton televisi. "Ke ruang tengah, nelpon Ibuku. " mata Erick terlihat sipit saat tersenyum karena lebam yang cukup parah.
Sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya, El berkata. "Nggak usah, udah ada kabar. " seakan tahu apa tujuan Erick.
Dahi Erick mengerut dalam, "Hah? "
"Lo dikabarkan kecelakaan."
Erick terkejut lalu merespon dengan cepat, "Lalu, bagaimana respon Ibuku? "
El mengangkat kedua bahunya, "Entah. Yang nelpon bukan gue, pokoknya kita kecelakaan gitu aja."
Bagus juga, sih. Jadi Erick tidak perlu bingung mengarang cerita kenapa dia seperti ini. "Aku... boleh pulang kapan? "
El mengangkat satu alisnya mendengar pertanyaan Erick. "Terserah, lebih cepat lebih baik. " jawabnya langsung.
"Kalau nanti sore? "
"Hmm, " El mengangguk dua kali, "bareng sama Clarine."
Di balik memarnya, Erick tersenyum lebar. Dia sangat rindu pada Ibunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Danger ✓
FanfictionENDING✓ Bagaimana jika sesuatu atau seseorang yang berbahaya berada didekatmu? Ketakutan? Oh tidak!! Tidak bagi Clarine. Dia malah begitu menyukainya bahkan mencari-carinya. Keinginannya itu terwujud ketika bertemu dengan Elvano di toko buku. Elva...