Sweet Danger eps 26

451 23 1
                                    

Gelap.
Sakit.

Bernafas saja rasanya sudah tidak sanggup lagi. Infus di tangannya seolah menambah bukti kelemahannya. Kantung matanya tebal dan berwarna hitam, suaranya sesenggukan.

"Anakku, hiks hiks... "

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, ingin melihat sesuatu meskipun yang dilihatnya hanyalah warna hitam. Dia rindu dunia luar yang bebas, yang penuh warna, yang penuh kebahagiaan. Mungkinkah ini balasan atas perbuatan buruknya selama ini? Ahh, rasanya dia ingin mengulang waktu kembali. Tunggu!

Ke manakah iblis itu?

"Ahh... " desahnya saat mengetahui kakinya masih terikat seperti biasanya. Kalau seperti ini, dia tak bisa kabur sama sekali. Mending kalau ngikatnya pakai tali, hla ini pakai rantai. Dia kan nggak punya kunci untuk membukanya meski tangannya tak terikat. Ruangan ini pun tak ada barang apapun kecuali kasur tempatnya berbaring dan infus yang menempel di tangannya.

Merasa tak ada yang bisa diusahakan, tangannya yang bebas perlahan-lahan mengelus perutnya yang kini sudah menjadi rata. Sesuatu yang selalu dijaganya, kini sudah pergi. Bahkan ia belum sempat lahir di dunia ini, belum sempat melihat indahnya dunia. "Maafkan bunda, nak." gumamnya lirih.

Krekk

Secercah cahaya masuk ke dalam ruangan ini. Nampak seorang pria bertopi masuk membawa nampan berisi makanan dan air putih. Jika tidak salah, ada yang berwarna putih. Itu... susukah?

Pintu di biarkan sedikit terbuka dan lampu dinyalakan, meski masih remang-remang. Ilma tak dapat melihat wajah pria itu karena maskernya.

"Rindu? " katanya riang. "aku membawakanmu sarapan seperti biasanya. Aku orang baik, bukan? "

Ilma diam saja. Matanya yang sayu membuat El terkekeh kecil. Ohh, ilma sedang berada di ambang batas kesadarannya. Sayang sekali. Akhirnya El menaruh nampan itu di sampingnya. "Makanlah sebelum mati. "

"Lebih baik aku mati! "

"Begitu... kah? " El memiringkan kepalanya, "baiklah, akan kubantu nanti. Sekarang makanlah dan bersiaplah menerima kejutanku nanti. Seperti biasanya, jika kamu sudah selesai makan, otomatis lampu akan mati. Itu artinya, kamu harus tidur agar cepat sehat. "

El berjalan menuju pintu, ingin keluar dari ruangan ini. Namun ia sempatkan menoleh dan berkata, "dan jika lampu hidup, itu artinya kejutanku datang! "

Setelahnya pintu benar-benar di tutup. Ilma kembali menangis. Ia sudah tidak kuat lagi menghadapi psikopat itu. Entah kapan Tuhan akan berbaik hati padanya untuk membebaskannya dari sini.

Dan kejutan itu, pasti sangatlah menyakitkan.

***

Hari libur. Clarine memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumah sakit mumpung masih pagi. Ramai sekali di sini. Sosis naga jumbo di tangannya tinggal setengah bagian.

"Hai, lo Clarine kan? "

Clarine menoleh, lalu tersenyum. "Iya, kak. Kakak ada jadwal pemotretan di sini? " tanyanya karena perempuan itu membawa kamera.

Perempuan itu, yang memanggilnya, Nandhita menggeleng. "Cuma iseng aja, hobi." jawabnya santai lalu memfoto sosnag Clarine yang tinggal setengah itu.

Clarine membiarkannya, yang penting dirinya tidak ikut terpotret. Clarine tidak terlalu suka berfoto. Setelahnya mereka mencari tempat duduk untuk mengobrol.

"Lo sendirian aja, jalan kaki? "

"Iya kak, lagian dekat kok. Aku cuma di rumah sakit sebelah, nungguin Ayah, "

Nandhita membulatkan mulutnya, "Ayah lo kenapa? "

"Kecelakaan, masih koma. "

"Gue do'ain biar cepat siuman ya, get well soon. "

"Iya kak, makasih."

"Ehh, itu bukannya Erick, teman sebangkunya Bara ya, lo kenal nggak? "

Clarine mengikuti arah pandang Nandhita, melihat seorang laki-laki dengan perawakan kurus, tubuhnya banyak memar, sedang mengantri untuk membeli bubur ayam di bagian kanan taman. Itu Erick.

"Oh, kak Erick? "

"Ternyata lo udah kenal ya? " Clarine mengangguk dua kali. "Dia manis orangnya, bikin gue penasaran. "

"Penasaran gimana, kak? "

"Dia itu orangnya alim, tapi tubuhnya banyak memar dan luka. Aneh kan, nggak mungkin dia berantem. Dia juga nggak pandai silat. " Nandhita tampak terus mengamati Erick yang kini sedang berbicara dengan sang penjual, tampaknya memesan.

"Kalau dipukuli, itu yang paling logis. "

"Dipukul? " beo Clarine.

Nandhita mengangguk mantap. "Tapi dipukul sama siapa, coba? Orangtuanya nggak mungkinlah sampai kayak gitu."

"Kok kakak perhatian banget sih sama dia?" Clarine heran. Kenapa mereka malah jadi membicarakan Erick, sih? Lagipula Clarine tidak suka mencampuri urusan orang lain.

"Kan gue udah bilang kalau gue itu penasaran, Clar. "

Handphone milik Nandhita berbunyi. Ia mengangkat panggilan itu, sedikit menjauh dari Clarine. Setelah selesai barulah ia kembali mendekati Clarine dan mengambil kameranya yang sebelumnya ia letakkan di kursi.

"Sorry Clar, kayaknya gue nggak bisa lama-lama. Gue ada urusan, see ya! "

"Oke, kak! "

Selepas Nandhita pergi, Clarine ikut beranjak dari kursinya untuk membeli makanan lalu kembali ke rumah sakit. Bara bilang, hari ini ia akan berkunjung. Jadi, dia harus bersiap-siap.

***

Sweet Danger ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang