🎹3. Rumah besar 🎹

7.8K 381 25
                                    

Aku terbangun ketika kilasan cahaya ganggu penglihatan. Perlahan membuka mata, menatap pada jam di ponsel yang sejak tadi ku genggam. Perjalanan sekitar delapan jam dan ini sudah menempuh Tujuh jam perjalanan. Bingung juga kenapa orang kaya seperti Om Jun dan Mas Lala malah memilih naik mobil dibandingkan naik pesawat.

"Sudah bangun Yu?" tanya Om Jun yang kini mengendarai mobil.

"Sudah Om, maaf, Ayu malah tidur," kataku merasa tak enak karena malah tidur saat keduanya sibuk berkendara.

"Seharusnya tadi naik pesawat saja, kenapa Papi malah naik mobil?" tanya Mas Gula pada ayahnya.

"Papi ada janji sama --" ucapan Om Jun terhenti lalu menatapku. "Ada urusan sama ayahnya Ayu. Kalau akan ajak dia jalan-jalan pakai mobil ini."

Oke pertanyaan yang bercokol di pikiranku terjawab. Terakhir kali Om Jun ke rumah, ayah memang meminta untuk diajak jalan-jalan pakai mobil kerja Om Jun. Dan ini berarti adalah mobil yang biasa dikendarainya untuk bekerja.

"Sebentar lagi sampai Yu, kalau mau tidur, tidur aja dulu." kata Om Jun.

"iya Om." Aku jawab sekenanya.

Aku memilih menatap pada jendela,  ini sepertinya sudah sampai di ibu kita. Jajaran gedung tinggi yang biasa aku lihat di televisi, kini aku bisa melihatnya langsung. Berarti di tempat kelahiranku tak ada gedung hanya saja di sini terlihat sangat tinggi.

Bapak pasti akan senang sekali, aku sama sekali tak pernah datang ke kota, seingatku. Meski bapak bilang kalau aku sering ke kota dulu. Semasa aku kecil, bahkan bermain di rumah Mas Gula. Namun banyak kenangan yang hilang dari pikiranku. Atau mungkin hanya aku saja yang seperti itu?

Kemudian,  mobil itu masuk ke sebuah perumahan. Bangunannya indah dan sangat megah, berdiri di sisi kanan dan kiri. Bisa dipastikan lingkungan ini pasti dihuni oleh orang yang tak biasa. Lalu kami memasuki sebuah rumah mewah benar-benar besar.

"Kita udah sampai," kata Om Jun memberitahu.

Ketika mobil itu terhenti tepat di depan pintu jati besar yang menjadi pintu masuk, seorang pelayan laki-laki sudah menunggu. Om Jun dan Mas Gula berjalan turun, ikuti aku yang melangkah di belakang sambil menggendong tas ransel yang kubawa.

"Kamu tidur di lantai atas, tadi saya sudah minta bi Ina buat bersihin kamar dan rapikan buat kamu." Om Jun berkata lagi.

Om Jun melangkahkan kakinya entah ke mana. Sementara aku masih berdiri di depan aula rumah? Entah apa namanya. Tak ada yang menghampiriku atau berbicara, ini memang sudah tengah malam sih. Dan aku kini merasa tersesat di sebuah rumah.

Mas Gula berjalan menghampiri, ia lalu mengambil tas tanpa bicara.

"Mau ngapain Mas Lala?" tanganku.

"Ngambil tas kamu, nggak bisa lihat?" Dia bertanya dengan nada yang benar-benar menyebalkan.

"Aku tahu, biar aku aja yang bawa sendiri," kataku Karena sejujurnya merasa tak enak sekali harus membuat ia membawa tas milikku

"Kayaknya semua udah tidur, Biar saya antar kamu ke kamar."  Mas Lala berkata, dan jujur saja aku merasa dia berbeda. Saat ini terlihat arogan, dingin dan judes.

Sebenarnya selama ini kami benar-benar saling mengenal. Meskipun Mas Gula beberapa kali main ke kampungku, kami tak banyak berbicara. Walaupun kata bapak dulu kami sangat akur dan dekat. Semua itu memang terlihat dari beberapa foto yang menunjukkan interaksi kami berdua.

Kini aku mengikuti langkahnya, menaiki sebuah tangga mewah. Aku melihat punggung Mas Gula yang berjalan di depan. Bukan tipikal orang yang suka berjalan dengan kepala yang tegak, tapi bisa menunjukkan sisi dingin khas donjuan. Lalu langkahnya berhenti di sebuah kamar yang tak jauh berada dari tangga. Ia membuka pintu lalu berjalan masuk dan meletakkan tasku di atas meja rias.

"Ini kamarnya," katanya lalu berjalan meninggalkan aku.

"Makasih ya Mas," ucapku.

Sementara saat aku mengucapkan terima kasih Mas Gula sama sekali tak menoleh. Dia memilih berjalan turun dengan cepat lalu berlalu dari pandanganku. Tak masalah, yang penting aku sudah berterima kasih.

Aku kemudian berjalan masuk ke dalam kamar ini benar-benar rapi, besar, dan mewah. Tempat tidurnya unik berbentuk lingkaran berwarna putih, di bagian bawahnya hitam kamar yang aku tempati didominasi putih, cream dan gold.

Kamar ini benar-benar besar, indah dan idaman. Hanya saja aku terlalu mengantuk untuk memerhatikan semua. Aku putuskan untuk merebahkan diri dan tidur. Sejujurnya aku berharap ketika pagi aku bangun ada bapak di sini. Aku mengeluarkan sebuah kalung dari dalam tas milikku. Bapak bilang kalung ini tak boleh hilang, karena cincin yang menjadi bandul, adalah benda yang sangat berharga untukku.

Aku terbangun ketika merasakan hawa dingin menempel di kening. Seketika aku membuka mata dan melihat seorang wanita tua yang duduk sambil tersenyum ke arahku. Aku tahu dia adalah nenek Ratih, Ibu dari Om Jun, tentu saja nenek dari Mas Gula. Segera Aku berusaha bangun untuk mencium tangan nenek Ratih.

"Udah kamu tidur aja."

"Nenek Ratih?" tanyaku karena jujur saja aku belum pernah bertemu hanya sekedar mendengar namanya.

Dia menganggukkan kepalanya sebagai sebuah jawaban. Nenek Ratih terlihat begitu anggun, menggunakan setelan kemeja lengan pendek, dengan rambut yang dipotong pendek. Nenek Ratih juga adalah teman nenekku.

"Kalau dilihat-lihat kamu benar-benar mirip sama nenekmu.  Bahkan kalian juga punya tahi lalat di kening kanan," katanya sambil melepaskan handuk dari keningku. "Kemarin kamu demam. Tengah malam nenek masuk ke kamar Kamu merancau. Udah enakan?"

"Sudah nek," jawabku.

"Jun bilang kalau kamu nggak menangis waktu Ayah mau meninggal. Kenapa kamu nggak nangis?"

Aku tersenyum, "aku cuman nggak mau Bapak sedih Nek."

"Menangislah kalau kamu mau nangis. Jangan suka menahan perasaan nanti jadi penyakit."

Aku hanya anggukan kepala. Sejujurnya aku juga ingin menangis Tetapi setelah kutahan rasanya malah jadi sulit untuk keluar. Kami kemudian berbicara mengenai Ayu banyak menceritakan tentang kisahnya bersama nenekku dulu. Mereka memang teman SMA, berempat dengan kakekku dan mendiang suami nenek Ratih.

"Dan kami bikin perjanjian kalau punya anak bakal dinikahin. Kami akan jodohin Jun dulu, tapi ternyata anaknya nenek kamu itu malah laki-laki juga."

"Nggak jadi dijodohin dong Nek?" tanyaku.

Nenek tersenyum kemudian membeli rambutku, kemudian tangannya menggenggam tanganku.  Ia lalu memegang kalung yang kukenakan. "Jadi," jawabnya.

"Jadi?" tanyaku lagi, jujur saja aku jadi bingung. Bukankah Bapak dan Om Jun sama-sama laki-laki?

"Jadi, setelah bapakmu dan Om Jun sama-sama menikah, kalau bikin perjanjian lagi. Kami ingin cucu-cucu kami dijodohkan. Tapi Jun nikah lebih dulu, lalu lahirlah Gula. Dasar lah bapakmu menikah, kamu yang lahir."

Tunggu, mendengar perkataan nenek membuat perasaanku tak enak. Jangan bilang kalau aku dijodohkan dengan Mas Gula? Bukannya nggak mau. Buat aku Mas Gula itu berkah, tapi kalau Mas Gula yang ngedapetin aku,  bukannya itu musibah.

"Kalian sudah dinikahkan sejak kecil."

"Hah?!"

Berita macam apa ini? Bukan perjodohan Tetapi malah pernikahan. Pernikahan? Kejutan macam apa ini?

****

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa komen 🤗🤗

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang