🎹30🎹

1.8K 87 3
                                    

Aku telah sampai di kampus, koni tengah berjalan di lorong. Biasanya ada Sena yang menunggu, tapi pagi ini dia tak berdiri di depan lorong dan menungguku. Mungkin masih marah karena kejadian kemarin. Bahkan dia juga tak membalas pesan yang aku kirimkan. Kalau marah, memang butuh waktu untuk sendiri sampai benar-benar bisa meredakan amarahnya.

Langkahku di lorong itu terdengar sangat nyaring karena hari ini masih sepi. Jujur saja merasa kesepian, karena biasanya ada yang diajak bicara. Saat itu, ketika aku hampir tiba di ujung lorong, aku melihat sosok seseorang yang menunggu, Sena. Langkah aku percepat ketika melihatnya yang melirik dengan tatapan yang masih kesal.

"Sena!" Aku berteriak bahkan ketika belum sampai tempat di sampingnya.

Sena meletakkan telunjuknya di depan bibir meminta untuk diam. Kini berada tepat di hadapan, masih menatap dengan tak suka dengan satu alis yang terangkat ke atas.

"Masih marah ya? Jangan marah dong Sena. Lagian yang penting kan sekarang lo udah tahu."

"Tapi terlambat. Kenapa lo nggak ngasih tahu gue dulu sih? Perasaan gue sakit tahu." kini raut wajahnya berubah menjadi sedih.

"Kok sakit? Gara-gara kecewa berat ya karena gue nggak bilang-bilang ke elo?"

Sahabatku itu menghilangkan kepala. "Sebenarnya nggak masalah kalau lo terlambat bilang. Yang jadi masalah itu perasaan gue sendiri."

Aku tak mengerti arah pembicaraan ini. Aku tahu sih kalau Sena pasti sangat kecewa karena merasa aku mengabaikannya sebagai seorang sahabat. Tapi kenapa juga harus perasaannya yang sakit? Bukankah yang paling penting aku memberitahu apa yang sudah terjadi kepadanya?

"Jangan marah lagi ya? Gimana kalau nanti pulang kuliah kita jalan? Lo mau nemenin gue beli buku nggak?"

Sena terlihat Hela napas. "Oke boleh."

Kami kemudian berjalan menuju taman belakang. Belum sampai ke taman berpapasan dengan Mas Lala. Aku bisa melihat tatapan tak suka dan juga kecemburuan. Hmph, padahal hari masih pagi, tetapi wajahnya benar-benar muram.

"Mau ke mana kalian?" Dosen tampan yang juga suamiku itu bertanya.

"Mau taman belakang Pak," jawab ku.

"Pak, tahu nggak?" Sena bertanya tiba-tiba.

"Tau apa?"

"Ayu udah punya tunangan. Saya patah hati."

Jujur saja dengan apa yang dikatakan oleh Sena kepada Mas Lala itu membuat aku terkejut. Tentu saja dosen yang diajaknya bicara itu tahu mengenai hal ini. bahkan bukan hanya pertunangan, kami sudah menikah.

Aku bisa melihat wajah Mas Lala yang juga tak kalah terkejutnya. Tapi, aku bisa melihat perubahan wajahnya yang menjadi lebih baik. Dia melirikku kemudian tersenyum tipis.

"Oh Kamu udah tunangan yu?"

"Iy sudah Pak," jawabku dan kini aku menundukkan kepala karena malu harus berinteraksi seperti ini di depan orang lain.

"Selamat ya. Semoga langgeng sampai ke pernikahan dan cepat punya momongan."

"Uhuukkk!" Aku batuk dan Sena dengan cepat menampung-nepuk punggungku aku bisa melihat Mas Lala juga tak kalah khawatirnya. Kenapa tiba-tiba bahasa Momongan sih?

Mas Lala kemudian menggandeng tanganku dan membawa duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat itu. Dan tak tau mengapa batuk ini sulit sekali berhenti seperti cari perhatian kepada dua pria yang kini ada di sisiku.

Mas Lala membuka tas, dia tahu aku selalu membawa botol air putih. Karena memang banyak minum, jadi berpikir untuk lebih baik membawa minum sendiri. Kemudian dia memberikan kepadaku.

"Ini kamu minum dulu biar nggak batuk lagi." Katanya sambil memberikan botol minum itu.

Aku segera meneguknya, kemudian kembali memasukkan ke dalam tas setelah batukku berhenti. "Terima kasih."

"Oke Yu?" tanya Sena.

"Oke kok Na. Cuma tiba-tiba aja batuk."

Aku melirik pada suami, yang kini juga Tengah menatap dengan cemas. Aku bisa merasakan perhatiannya dan jujur saja itu membuatku merasa senang.

"Ayu!" Teriakan lain terdengar memanggilku dan itu adalah Kana. Anak itu berlari memanggil sambil mengayunkan buku.

Kana berlari ke arahku kemudian dia terdiam dan menatap ke arah kami bertiga. "Ah Pak Adi?" Dia juga dengan segera menyapa Mas Lala.

"Ngapain kamu buru-buru gitu?" tanya Mas Lala.

"Mau ke kelas Pak. Pagi ini Pak Bambang minta semua anak yang ikut pertukaran pelajar untuk kumpul di aula."

"Ya udah sana kalian bertiga."

Aku, Sena dan Kana segera berjalan menuju aula. Sempat melirik kepada Mas Lala yang memberikan senyuman tipis. Aku yakin kalau dia sedikit merasa lega karena aku sudah memberitahu kalau, sudah memiliki seorang tunangan. Meskipun itu adalah sebuah kebohongan setidaknya bisa menjaga jarak di antara kami berdua, aku dan Sena.

Kami bertiga berjalan ke aula Sena genggam tangan kananku dan Kana menggenggam tangan kiriku. Kami berjalan bergandengan seperti anak kecil.

"Kita ngapain sih jalan gandengan begini?" Aku bertanya sambil sedikit menggerakan kedua tanganku dan melepaskan genggaman mereka berdua.

"Gue sih cuman takut lo jatuh." Sena menjawab.

"Gue cuman pegangan aja, daripada nggak ada yang dipegangin." Kini Kana yang menjawab.

Keduanya buat aku geleng-geleng kepala. Masalahnya karena perlakuan keduanya, aku jadi dilihat oleh beberapa mahasiswi yang tengah berdiri disekitar kami. Aku paling tak suka keadaan seperti ini menjadi bahan perhatian. Lebih baik duduk di belakang dan tak jadi sorotan.

"Gara-gara kalian kayak gitu, gue tuh diliatin dari tadi. Males!" kesalku kemudian berjalan cepat meninggalkan keduanya untuk menuju Allah rasanya lebih baik jika berjalan sendirian tanpa ada harus ada Si kembar.

Aku masuk ke  aula di sana sudah cukup banyak mahasiswa lain. Segera mengambil tempat duduk di paling belakang dan Kana mengikuti ia duduk disampingku. Sena tidak mau kalah dia duduk di depanku.

"Kalian itu sebenarnya ngapain sih?"

"Duduk," jawab keduanya bersamaan dan aku benar-benar baru kali ini merasakan kalau mereka berdua adalah saudara kembar.

Tak bisa lagi mengatakan apapun, selain menggelengkan kepala karena terlalu kesal dengan keduanya.

"Jadi ini sudah kumpul semuanya belum?" Pak Bambang di depan kelas bertanya ketika melihat kami semua sudah duduk.

Saling menengok satu sama lain, sedangkan aku tak tahu siapa saja yang ikut. Jadi aku hanya diam dan menatap ke arah depan.

"Ayunda Kusuma Prameswari Diningtiyas Cantiyantiasih Kanaryo?"

Seketika saja kelas menjadi riuh setelah mendengar nama yang dipanggil. Seperti namaku kan? Aku coba memastikan nama yang dipanggil oleh Pak Bambang. Kemudian Sena menoleh dan mencolek tanganku.

"Dipanggil tuh."

"Gue?" tanyaku sambil menunjuk  diriku.

Kana mengangkat tanganku, segera lirikan maut ke arahnya dna buat ia nyengir menunjukkan gigi kelincinya.

"Ah kamu, ayo sini maju ke depan. Bapak mau tanya sesuatu ke kamu."

Aku berdiri dengan ragu di saat ini semua orang di kelas menatap  dengan tatapan penasaran. Tak tahu sebenarnya apa yang akan terjadi tapi ini terasa begitu menakutkan. Masih belum jelas apa tujuannya pak Bambang memanggil namaku. Tapi ini benar-benar membingungkan karena tiba-tiba sekali.

"Ayo buruan kamu maju Ayu. Nama kamu panjang banget sih Nduk."

"Ada apa ya pak?" Aku bertanya ketika sudah berdiri tepat di depan Pak Bambang.

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang