🎹5. menangis 🎹

4.1K 333 53
                                    

"Temen aku Mas." jawabku.

"Kamu bilang enggak punya teman?" tanyanya.

Sejujurnya, aku lupa kapan aku pernah mengatakan kalau aku tak punya teman. Bukan aku tak punya, hanya saja aku memang membatasi diri. Sebagai gadis yang tak berpenampilan menarik dan jauh dari standar masyarakat, jelas aku memilih mundur dan menepi untuk menjaga hatiku sendiri.

Gadis gemuk itu beruntung, dosanya sering di ambil orang yang sibuk ngebully. ENtah berapa banyak cemoohan yang aku terima selama ini. Dibilang gajah bengkak, karung beras, badak dan lain sebagainya. Awalnya menangis, lama kelamaan biasa saja. Biarkan mereka dengan perkataan mereka sendiri.

"Ada teman online Mas, kebetulan dia juga tinggal di Jakarta." Aku menjawab sambil menikmati bubur milikku.

Ia mengalihkan pandangannya, menatap pada lemari yang berada di depannya. "Oh," jawabnya kemudian.

Aku sebenarnya tak bisa mengerti sikap Mas Lala yang sebenarnya. Kadang kalau sedang mengobrol dengan bapak, dia terlihat hangat dan akrab. Tapi, saat berdua seperti ini selalu kelihatan dingin dan ketus. Mungkin Mas Gula enggak suka perempuan gemuk kayak aku.

Ia lagi-lagi menatap ke arahku. "Minum obatnya, jangan nyusahin pakai sakit segala. Makannya, kalau mau nangis, ya nangis, enggak usah sok kuat. Kamu itu manusia bukan batu atau boneka yang enggak punya perasaan." Mas Lala katakan itu dengan kesal.

Entah kenapa aku malah jadi ingin menangis karena omelannya. Hanya saja aku coba menahan, meski terus menetes, Air mataku memang kurnag ajar, kenapa malah terus keluar saat seperti ini?

Mas Gula menngalihkan nampan, kini duduk lebih dekat lalu berpaling dan menepuk pundaknya. "Enggak usah ditahan. Nangis sepuas kamu, saya enggak bisa apa- apa selain ini." katanya sambil menepuk bahunya, lagi.

Aku kini menangis sambil menutupi wajah dengan kedua tanganku. Hatiku sakit sekali, semakin naik ke tenggorokan hingga sesenggukan, aku menepuk-nepuk dadaku berkali-kali berharap sakitnya berkurang.

Sekarang aku sendiri, benar-benar seorang diri. Tak ada lagi bapak yang biasa jadi tempat bersandar. Selama ini bapak yang menjadi tujuanku, apa yang aku lakukan semua untuk kebahagian bapak. Sekarang, apa aku masih punya hal yang bisa aku jadikan tujuan? Andai aku bisa meminta aku hanya ingin bapak kembali.

***

Aku membuka mataku, pagi tadi menangis sampai tertidur, rasanya lega dan sekrang mataku bengkak. Aku memutuskan segera membersihkan diri. Setelah selesai aku segera berjalan turun, rumah ini benar-benar besar dan sepi. Aku berusaha mencari keberadaan siapapun yang bisa aku kenali.

Turun tangga kemudian ada sebuah lorong pendek, sisi kanan ada pintu masuk, yang kemarin aku lewati. Aku berjalan ke sisi kiri, tak lama terlihat sebuat ruang makan dan dapur yang terbuka. Ada dua orang di sana seorang gadis yang sepertinya seusia denganku dan juga wanita lanjut usia.

"Permisi," kataku.

Keduanya kemudian menatap padaku. terlihat tersenyum dan ramah sekali.

"Udah bnagun Non?" tanya gadis itu.

Aku berjalan mednekat sambil anggukan kepala. Aku ulurkan tangan mengajak gadis itu berkenalan. Ia berniat membersihkan tangannya dengan epron, habta saja aku segera menjabatnya.

"Ayu," kataku.

"Ya ampun, Non, tangan saya kotor habis motong sayur." Ia berkata tak enak. "Saya Ani Non, ini Mbok Mar. Non kalau ada apa- apa panggil saya aja ya. Di kamar ada telepon, Non tinggal tekan 8 itu lagsung ke telepon dapur," katanya menjelaskan.

Aku anggukan kepala, di sini benar- benar luar biasa. Bahkan untuk meminta pelayan datang hanya perlu memanggil melalui telepon.

"Masak apa Mbok?" tanyaku.

Ia menoleh menatapku, "Ini Non sup ayam, Mas Gula tadi minta masak ini buat Non Ayu."

Ah sup ayam, jadi ingat bapak. Pikiran Mas Gula mirip dengan bapak. Sup ayam memang paling pas dimakan saat sakit seperti ini.

"Biar aku bantu ya Mbok?" tanyaku kemudian segera berjalan mendekati meja di mana ia tengah memotong sayuran.

"Eh, jangan Non. Kan Non lagi sakit, istirahat aja ya," larang Ani dan Mbok yang berusaha menahan ku.

"Saya kalau enggak ngapai- ngapain malam sakit Mbok," kataku coba merayu. Aku tak bisa diam saja dan rebahan, harus melakukan sesuatu karena sudah diberi tempat tinggal.

"Ya udah motong-motong aja ya," kata Mbok.

Aku anggukan kepala dengan bersemangat. Kemudian segera memotong sayuran yang sudah di siapkan. Lagipula dengan melakukan sesuatu, aku bisa melupakan rasa sedih yang aku rasakan. Kemudian membersihkan sayuran, segera memotong-motongnya dengan sedikit membentuk wortel seperti bunga. Senang juga rasanya bisa bekerja seperti ini membuat pikiranku sibuk.

"Non, ayu mirip sama mendiang ibunya Den Gula. Dulu kalau motong wortel pasti dibentuk bunga-bunga seperti ini. Kalau Mbok sih nggak bisa, sudah malas kalau motong-motong seperti itu." Mbok Mar berkata sambil membumbui kuah sup.

"Kalau Mas Lala itu senang makan sup ayam juga Mbok?" tanyaku.

"Kalau Den Gula itu, sukanya makan daging. Apapun bumbunya kalau daging dia pasti suka," jawab Mbok.

Setidaknya aku tahu satu hal ini tentang Mas Gula. Mas Gula suka daging, mungkin suatu saat nanti aku bisa memasak sesuatu yang bisa aku sajikan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani aku menangis sampai tertidur.

"Tuan putri udah bangun?" Tanya sebuah suara yang membuat aku menoleh.

Aku menunggu memberikan salam terlihat seorang wanita berusia sekitar 30 tahunan berdiri di sudut dapur. Jujur Wanita itu cantik sekali, dengan tubuh yang proporsional dan juga wajah cantik. Hanya saja panggilannya tuan putri tadi ia tunjukkan untukku?

"Maaf?"

Ia tersenyum sinis, jelas maksudnya tadi adalah aku..tapi, kenapa? Kenapa menyebut tuan putri dengan nada menyindir? Aku salah?

"Kamu nggak usah ganggu orang lain. Bukannya ke kantor, malah sibuk di rumah nyindir orang lain." Suara nenek Ratih terdengar.

Kini aku bisa melihat sosok nenek berjalan masuk melewati wanita tadi kemudian mendekat padaku. Nenek Ratih merangkulku sambil menatap ke arah wanita itu.

"Yu, kenalin, itu namanya Sisil, dia itu ibu tirinya Gula. Tapi omongannya nggak usah kamu dengerin. Karena kamu lebih berhak di sini daripada dia." Nenek Ratih berkata menekankan dan jelas penuh ancaman. Aku tak tahu apa yang terjadi diantara mereka dan semua tentang keluarga ini, hanya saja bisa terbaca kalau hubungan nenek Ratih dan tante Sisil terlihat tak baik.

Setelah kedatangan nenek Ratih tante Sisil memilih untuk meninggalkan tempat itu berjalan ke luar rumah. Sementara aku masih diam karena tak tahu apa-apa.

"Nenek mau ngomong sama kamu di ruang kerja," ajak nenek.

"Tunggu Nek, aku cuci tangan dulu." Aku kemudian segera mencuci tangan setelahnya mengikuti langkah nenek menuju ruang kerja.

Ruang kerja berada tak jauh dari dapur. Hanya melewati sebuah ruangan kemudian masuk ke ruangan lain dan itu adalah ruang kerja. Ruang kerja nenek terlihat sangat modern didominasi oleh warna putih, hitam, dan juga abu-abu. Nenek duduk di kursi besar kemudian aku duduk berhadapan dengannya.

Nenek Ratih terlihat sangat ramah dan baik, tangannya menggenggam tanganku. "Gula bilang tadi kamu nangis?"

Aku mengangguk kemudian menjawab pertanyaan nenek. "Iya Nek, mungkin karena kemarin aku nggak nangis dan hari ini nangis."

"Nenek minta maaf, tapi nenek harus bicara ini. Nenek mau kamu menikah secepatnya sama Gula. Kalau bisa besok yang penting kalian ijab kabul dulu sebelum kamu nanti masuk kuliah. Hmm?"

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang