🎹37🎹

1.7K 86 32
                                    

"Udah siap belum?"

"Dikit lagi Mas," sahutku dari dalam kamar.

Hari ini seperti rencana, aku akan menjalani liburan bersama suamiku, ke Bali. Sebelumnya memang kami memiliki rencana liburan sama- sama ke Jepang. Hanya saja, Mas lala masih harus ke Amerika minggu depan untuk mengurus beberapa hal.

Aku telah bisa menerima hubungan antara Mas Lala dan juga Miss Rania. Meski sampai saat ini belum dikenalkan secara resmi sebagai istrinya. Mungkin ia memiliki ketakutan kalau Miss Rania akan membocorkan pernikahan kami.

Setelah selesai membereskan barang bawaan, aku segera melangkahkan kaki ke depan. Melihat suamiku itu yang kini tengah duduk menungggu di ruang tengah.

"Aku udah mas."

Ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. "Ayo kita jalan."

Kami berdua dalam perjalanan menuju bandara. Rasanya menyenangkan sekali bisa berlibur seperti ini. Perjalanan menuju Bali hanya beberapa jam saja. Setelah sampai di bandara Ngurah Rai Bali, kami segera berjalan menuju mobil jemputan yang dipesan oleh Mas Lala.

Aku tak banyak bicara, menikmati keindahan sekitar. Ini adalah pertama kalinya aku berjalan-jalan ke Bali. Suasana di sini Indah sekali. Kamu kemudian sampai di sebuah hotel. Kamar sudah dipesan dan kami berdua segera masuk ke sana.

"Aku sengaja pesan yang terbaik buat bulan madu kita," katanya.

Jujur saja, aku senang. "Makasih ya Mas." Sejujurnya takut juga merasa kecewa karena aku tau dengan jelas belum bisa melayaninya secara utuh.

Aku berkeliling, dari jendela aku bisa melihat tepian pantai. Di sini terasa indah sekali. Aku mengambil gambar, andai ada bapak. Bapak pasti akan iri. Bapak dulu mengatakan ingin sekali berkeliling Indonesia termasuk pergi ke Bali.

Aku berjalan ke kamar kami dan merebahkan diri. Aku suka kasur di sini empuk. Kasur di kamar Mas Lala keras, karena kasur untuk pengobatannya. Aku memejamkan mata sedikit mengantuk setelah pagi tadi terbangun pagi sekali.

"Suka?"

Sapaan terdengar, Mas Lala merebahkan diri dengan wajah yang berada tepat di hadapanku. Aku tersenyum dan anggukan kepala.

"Seneng Mas."

Mas Lala mendekat, memelukku erat, lalu kecup keningku. Saat seperti ini aku bisa merasakan kalau ia benar-benar peduli dan sangat menyayangiku. Tatapan matanya seolah memberitahu mengenai apa yang ia rasakan. Kemudian aku tiba-tiba saja menangis. Aku ingat bapak, kangen sekali rasanya.

"Hei kenapa nangis?" tanya Mas Lala.

"Aku kangen sama bapak Mas," jawabku sambil memeluknya dengan erat.

"Jangan nangis ya, nanti setelah kamu selesai kegiatan pertukaran mahasiswa kita ke kampung. Kita ziarah ke makam bapak kamu. Kalau sekarang ke sana, kayaknya nggak mungkin karena aku masih harus banyak kegiatan di sini. Dan aku juga nggak mungkin ngebiarin kamu ke sana sendirian." Mas Lala mengatakan semua itu dan sedikit membuatku merasa lebih tenang

Aku terus menangis dan entah sudah berapa lama berada di dalam pelukannya. Jujur saja Ini adalah pertama kalinya lagi aku menangis seperti ini. Rasanya benar-benar kangen pada bapak dan ingin  ceritakan semua kejadian yang aku alami.

Setelah aku selesai menangis, Mas Lala memesan makan siang untuk kami berdua. Kamu menghabiskan waktu dengan makan siang di balkon hotel. Sebenarnya ingin ke pantai, Tapi cuacanya sedikit mendung.

"Mas, aku mau tahu deh. Sebenarnya Sejak kapan kamu tahu kalau kita itu dijodohin?"

"Aku udah tahu dari lama kok. Nenek juga selalu kirim foto kamu ke aku. Lagian, dulu waktu kecil kita kan emang dekat."

"Iya, tapi kita kan udah lama nggak ketemu karena kamu harus kuliah di luar negeri."

"Meskipun aku kuliah di luar negeri nenek tetap kirim kabar tentang kamu. Jadi, setiap kali aku ke rumah kamu sama papi, aku sebenarnya udah tahu kabar terbaru tentang kamu."

Jujur mendengarkan pengakuannya membuat aku merasa sedikit terkejut. ternyata dia sudah mengetahui banyak hal tentangku sebelumnya.

"Jadi kamu udah tahu banyak tentang aku dong?"

Dia menganggukkan kepala, kemudian menatapku Dan tersenyum. "Namanya juga laki-laki, harus tahu lebih banyak tentang perempuan dan calon istrinya."

"Apa kamu nggak pernah menolak perjodohan kita?" Aku bertanya karena penasaran sekali Apakah dia pernah menolak perjodohan di antara kami berdua.

Mas Lala terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. "Nolak? Sempat sih, tapi akhirnya aku menerima aja kok. Karena memang kan Ini udah kesepakatan lama."

"Kenapa kamu enggak menolak?"

Mas Lala menatapku, "memangnya kamu mau menolak ini?"

"Enggak, enggak gitu. Kamu kan kuliah, Kamu pasti punya teman-teman yang banyak yang pastinya juga di sana kamu ketemu dengan perempuan-perempuan yang lebih cantik. Makanya aku nanya ke kamu, kenapa kamu nggak nolak itu."

Dia menjadi sedikit serius dan agaknya terlalu sensitif dengan pertanyaan ini. Mas Lala, kemudian meletakkan sendoknya di piring ia menatapku. "Pertanyaan kamu seolah-olah nunjukin kalau kamu nggak mau sama pernikahan kita ini."

"Aku sama sekali nggak kayak gitu loh Mas. Aku cuma pengen tau aja." Jadi sedikit takut setelah mendapat jawaban seperti itu padahal niatnya hanya ingin mencari tahu saja.

"Nggak ada yang bisa aku tolak. Dan nggak ada juga yang mau aku tolak. Aku merasa keputusan ini adalah yang terbaik."

Setelah makan, aku memilih diam tak banyak bicara. Suamiku itu memang susah bahkan semua pertanyaan bisa membuatnya marah dan kesal seperti ini. Tapi justru aku malah merasa aneh sekali, Kenapa dia begitu kesalahan hanya dengan sebuah pertanyaan sederhana?

Aku duduk di tempat tidur sambil berselancar di dunia maya melalui ponsel. Dan suamiku saat ini sedang duduk di sofa menonton televisi. Aku juga sibuk berkirim pesan dengan Sena dan juga Kana. Sena membuat grup chatting hanya untuk kami bertiga.

Sena:
Gimana Kalau hari ini kita makan mie ayam? Lagian libur kayak gini enak banget makan mie ayam.

Kana:
Nggak mau. gue males kalau jalan-jalan keluar kayak gini. Lagian panas banget.

Aku:
Enggak kok, gue di sini malah mendung banget udah mulai hujan rintik-rintik malah.

Sena:
Lo di mana sih Emang? Kita emang beda dunia apa? Kenapa lo bisa mendung di tempat gue panas?

Aku:
Gue lagi nggak ada di Jakarta. Di tempat yang menyenangkan dan baru pertama kali gue datangin.

Kana:
Lagi pulang kampung ya?

Aku:
Bukan lagi sama seseorang di sini.

Sena:
Paling lagi sama tunangannya. ngapain lagi dia kok nggak lagi sama tunangannya penghianat emang.

Kana:
Enggak masalah sih, selama janur kuning belum melengkung.

Aku:
Kalian ngomongin apa sih? Nggak jelas tahu nggak.

Sena:
Lo di mana sih? Biar gue susul ke sana sekarang juga.

Aku:
Enak nggak jelas banget sumpah Sena.

Sena benar-benar menyebalkan. dia selalu marah dan kesal setiap kali ada pembahasan mengenai tunangan. Sampai kemudian ponselku berdering, panggilan dari Sena.

"Apa sih Sena?"

"Lo lagi di mana sih?"

"Bukan ur—"

Kata-kataku terhenti ketika seseorang menarik ponsel milikku. Dan tentu saja itu adalah mas Lala yang menatapku dengan kesal. Aku bisa melihatnya mematikan panggilan dan kemudian melempar kembali ponsel padaku.

"Kita ini lagi berdua, Kenapa juga sih harus hubungin temen kamu itu?"

"Sena telepon aku doang Mas."

"Aku nggak suka. Ngerti?"

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang