🎹16🎹

3K 253 31
                                    

Selesai memasak aku memutuskan untuk beristirahat. Merasa lemas dan benar apa yang dikatakan Ani tadi kalau sebaiknya beristirahat. Kenapa jadi sakit begini sih? Padahal hanya sakit karena mau 'itu' aja. Kenapa jadi berat sekali?

Kubuka mata saat hari sudah sore, langit mulai merah dan perlahan hari mulai gelap. Sore begini sepertinya Mbak Ani sudah kembali dan kini aku sendiri.Haruskah aku hubungi Mas Lala, dan bertanya kapan ia akan kembali? Apakah itu berlebihan?

Aku putuskan untuk kirimkan pesan, takut kalau ia terganggu. Siapa tau masih sibuk.

Aku:
Mas pulang jam berapa?

Tak ada jawaban secepat Sena, biasanya Sena memang paling gesit membalas pesan kalau tidak sedang tidur. Sepertinya dugaanku benar, Mas Lala tengah sibuk dengan pekerjaan. Sebaiknya aku mandi dan membersihkan tubuh.  Siapa tau akan lebih segar setelah mandi nanti.

Melangkahkan kaki menuju kamar mandi, aku siapkan air hangat di bathup. Selama ini belum pernah merasakan mandi di bathup.Rasanya pasti akan menyegarkan sekali. Aku membuka pakaian dan segera masuk ke dalam bathup.

Rasanya menyegarkan ditambah dengan busa beraroma sakura yang menyegarkan. Andai bapak tau kalau sekarang aku sudah hidup jauh lebih baik, pasti akan bahagia sekali. Jadi sering ingat bapak setiap kali punya pengalaman baru yang menyenangkan. Biasanya aku katakan semua padanya. Semua hal yang menyenangkan yang aku alami akan membuat bapak tersenyum.

"Yu!" seruan terdengar dari luar kamar.

"Mas aku di kamar mandi!" seruku.

Tak ada jawabanm, aku ingin segera bangkit sebelum pintu terbuka menunjukan sosok Mas Lala yang tersenyum padaku.

"Di sana aja. Emang udah sehat?" tanyanya padaku.

"Aku pikir kalau mandi badanku bisa lebih enak." Aku berkta seraya sedikit menenggelamkan tubuh agar tak terlalu terlihat oleh Mas Lala.  "Mas boleh ke luar?"

"Kenapa?" tanyanya sambil tetap menatap.

"Aku malu," jawabku yang seharunya tak perlu malu karena suamiku itu sudah melihat semuanya.

Ia berjalan mendekat, sambil menanggaklan pakaiannya satu persatu dalam waktu tak lebih dari dua menit tak ada kain yang tersisa di tubuhnya, semua terlihat jelas dan aku menundukkan kepala menyembunyikan wajahku yang jelas memerah karena kelakuannya itu. Langkah Mas Lala semakin mengikis jarak diantara kami berdua, ia lalu masuk ke bathup yang cukup besar itu, merentangkan tangan dan bersandar sejenak sebelum akhirnya menatap.

Jantungku berderu, berlari  tanpa bisa aku kendalikan. Aku masih terlalu abu-abu untuk mengerti mengenai cinta dan rasa. Tapi agak hal-hal sensual seperti ini memang memicu detak jantung lebih kuat. Aku meringkuk dan menunduk, andai Mas Lala tau, rasa maluku merambat hingga ubun-ubun. Untung kepalaku tak berasap karena ulahnya ini.

"Kenapa malu? Hmm? Aku udah lihat semua, kamu juga kan?"

Pertanyaan terlontar yang juga tengah aku pikirkan. Kenapa juga malu, padahal dalam hati juga menginginkan. Jujur aku suka segala prilaku Mas Lala.Segala hal yang sensual yang berkaitan dengan kegiatan seksual kami berdua. Meski belum pada intinya, hanya saja, itu menyenangkan.

"Yu," sapanya buat aku menoleh cepat.

"Ya Mas," jawabku.

"Nenek minta kita tunda punya anak dan mau kamu fokus kuliah dulu. menikmati masa muda." Mas Lala berkata, mengulang pesan nenek yang tempo hari kami dengar berdua.

"Hmm, aku setuju Mas," kataku lagi.

"Kalau aku enggak setuju gimana?" tanyanya.

"Mas mau cepat aku punya anak?" tanyaku lagi.

"Hmm, mau gitu." Ia menjawab lalu medekatkan tubuhnya. "Mau punya baby, mau anak aku ada di rahim kamu. Mau?" tanyanya.

Aku bukannya tak setuju, tapi kalau sejak awal memang  ia mau aku segera mengandung buah hati kami berdua, bukankah sebaiknya aku tak perlu kuliah? Maksudhku, aku tak mungkin tetap kuliah selama masa kehamilanku.

"Pertimbangan aku banyak, kamu mungkin heran. Aku cuma mau kamu bisa banyak menghabiskan waktu sama anak kita nanti. Jadi ibu muda, pasti cantik banget." Mas Lala memuji.

Kami sangat dekat dan saling menatap, jemari lentik menyentuh bibirku dan menyapunya, kemudian ia dekatkan wajah lalu mulai kecup dengan lembut. Tangan kokohnya memegang tengkuk belakangku, menekannya hingga ia bisa sesapi bibirku seolah ingin ia lahap habis. Tangan yang lain memilin ujung katup dadaku yang semain menegang.

Kecipak air beradu dengan suara kecup dari bibir kamu berdua. Aku mulai terbiasa, kini ikuti ritme yang ada. Menyesap, dan mengitkan lidah kami berdua. Rasanya masih kurang saja bahkan ketika Mas Lala melepas pangutan membiarkan aku hirup napas dalam-dalam.

Ia tersenyum, menatapku dengan tatapan yang seolah masih haus dan inginkan aku untuk lepas dahaganya. Jemarinya, menghapus lagi bibirku yang basah entah karena saliva atau air yang ikut naik turun karena tingkah kami tadi.

"Udah pinter ya?" ia bertanya dan buat aku merasa malu karena ingin mendominasi cumbuan bibir kami tadi.

Mas Lala segera meremas, memilin dan menyesap dadaku membusung ingin diperlakukan lebih hingga hasrat tuntas. Desahan dari bibirku menggantu suasana yang tadinya sepi tanpa kata. Tangannya menyusup ke bagian intimku mencoba mengusap bagian labia dan dengan sengaja menyentuh bagian paling sensitif dari organ intimku. Sengaja menekan dan memutar hingga tubuhku rasanya dihingapi jutaan kupu-kupu yang keluar dan berterbangan.

"Assh, mas," desahku saat rasakan sensasi yang ia berikan.

Tangannya mengarahkan tanganku pada batang ereksinya yang sudah menegang tegak. Mengerti, aku segera menaik turunkan, sesekali kubuat gerakan memutar seperti yang ia ajarkan.

"Aku coba lagi ya, hmm?" tanyanya.

Jujur aku takut dengan rasa sakit yang akan ia rasakan. Hanya saja tak ada salahnya dicoba lagi kan. Aku kemudian anggukan kepala. Napas Mas Lala terengah, ia menciumi wajahku dan juga menciumi dadaku coba buat birahi meningkat lebih lagi.

Ia coba memasukan batang ereksinya, dengan sebelumnya menggerakkan naik dan turun buat gesekan. Dan ketika ia berusaha menekan ...,

"Sa-sakit mas," rintihku. Sakitnya masih sama, lebih hebat malah karena kali ini lebih besar dari jari tangannya.

Mas Lala mencoba sekali lagi, rasa sakitnya luar biasa tak bisa aku tahan.Sehingga kudorong tubuh Mas Lala kuat-kuat. Aku menangis diantara rasa bersalah dan juga rasa sakit yang aku rasakan.

"Maafin Ayu Mas," lirihku.

Ia memeluk, katakan semua baik-baik saja dan tak masalah untuknya. Hanya saja, aku merasa bersalah tak bisa memberikan hal yang seharusnya diberikan oleh seorang istri.

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang